Friday, December 28, 2007

LEGENDA SANG PEJUANG

.

Benarkah manusia adalah mahluk ciptaan yang paling cerdas? Yang memiliki akal budi terbaik di antara mahluk-mahluk lain sehingga paling mampu bertahan di muka bumi ini? Film "I am legend" mengingatkan kembali pertempuran panjang sepanjang sejarah antara manusia dengan sejenis mahluk lain yang tak kalah hebat dalam mempertahankan kelangsungan spesiesnya di dunia -- virus. Sampai saat ini virus cacar air dan virus HIV belum juga bisa dikalahkan. Virus rabies telah bermutasi dan kebal terhadap vaksin lama. Syahdan, virus influenza telah membunuh 50 juta jiwa di awal abad ke-20. Jutaan lagi manusia mati demi para virus tersebut berkembang biak dan mencegah kepunahan. Belum lagi virus jenis baru hasil mutasi yang lebih dahsyat.

Kecerdasan - jika kata milik manusia ini boleh diterapkan - adalah salah satu kunci para virus tersebut bertahan. Mulai dari mengatur perilaku host-nya termasuk manusia dengan menyerang susunan syaraf sampai dengan bermutasi untuk beradaptasi dengan lingkungan yang lebih keras. Penderita rabies akan menjauhi cahaya dan air untuk lingkungan tumbuh kembang virus yang lebih nyaman. Air liurnya menetes untuk memudahkan virus generasi baru pindah ke host lain. Penderita cacar air dibuat gatal agar virus yang tersimpan di balik kulit yang melepuh bisa pecah dan menyebar. Bersin adalah salah satu mekanisme yang dirancang oleh para virus supaya bisa terbang dengan kecepatan tinggi ke calon korban yang lain.

Dengan segala kemungkinan yang ada, sangat menarik untuk berfantasi dimana di suatu masa peradaban manusia modern, 90% umat manusia mati terkalahkan oleh virus. 90% dari sisanya berubah menjadi budak virus yang agresif, takut cahaya, dan hanya punya satu tujuan yaitu menyerang mahluk lain untuk menularkan virusnya. Sementara beberapa juta manusia yang imun secara alamiah atau yang belum terserang bersembunyi dan bertahan menanti perubahan. Dan romantisme mesias, agaknya bukan hanya bagian dari sejarah manusia, namun juga pemuas angan-angan dan harapan. Di antara segelintir manusia yang selamat, tersisa 1 orang yang bertahan di ground zero dan berjuang menemukan vaksin yang mampu menyelamatkan umat manusia dari kepunahan.

Di tengah serbuan "virus" dewasa ini -- baik virus penyakit maupun virus-virus kerakusan, kebencian, keserakahan, bahkan virus-virus berbaju putih ideologi, agama, atau atas nama tuhan sekalipun -- dengan kecerdasan yang luar biasa dalam menularkan ke masyarakat, dan dengan gejala yang sama yaitu agresif menyerang dan memusnahkan kelompok lain, takut cahaya, dan menyebar ketakutan, film ini berusaha menggambarkan bahwa orang-orang yang sanggup menghindar dari serbuannya, berkewajiban beradu cerdas dengan sang virus, memperjuangkan dan mempertahankan kebaikan untuk bisa memenangkan perang, meski hasil perjuangan mungkin tidak bisa dinikmati oleh si pejuang melainkan untuk generasi mendatang.

Seperti kata sang legenda Bob Marley, "Orang-orang yang berupaya memperburuk dunia tidak pernah beristirahat satu haripun, maka kita pun jangan pernah berhenti.. untuk terus menerus menerangi kegelapan.."

Tuesday, December 25, 2007

SYUKUR NATAL

.
Syukur alhamdulilah pada hari ini telah lahir dengan selamat TUHAN kami tercinta YESUS KRISTUS. Mohon doa restu semoga kehadiranNya di dunia dapat menjadi teladan bagi kami sekeluarga untuk senantiasa menyebarkan damai dan cinta. Amin.

Kami yang berbahagia,
DANIEL! dan keluarga.


Tautan : Natal

Sunday, December 16, 2007

DOA MOHON PASRAH

.
Tuhan yang bertahta dan meraja di atas segala keberadaan

Aku percaya Engkaulah sang pagi
Yang mempertemukan embun dengan pucuk-pucuk daun

Aku percaya Engkaulah matahari
Yang bersinar mengantar butir-butir air mata pada iringan awan

Aku berserah kepada Engkau sang kilat bersahutan
Yang menebar denting hujan di halaman dan menyebar wangi pepohonan

Aku memuja Engkau malam yang memendar bintang
Cahayanya indah menguak gelap menerobos celah jendela kamar

Tuhan,
Aku pasrahkan takutku kepada Engkau yang menggurat takdir
Karna bukan kehendakku melainkan kehendakMulah yang berjalan

Friday, December 14, 2007

BERTINDAK UNTUK BANGSA

.
Indonesia sedang bersedih. Banyak pejabat tak mampu berhenti korupsi dan memikirkan diri sendiri. Sementara proses pemiskinan terus berjalan. Belum lagi fenomena alam yang menjadi bencana karena pemerintah dan masyarakat tak punya rencana dan kewaspadaan. Lalu rakyat mulai mencari solusi sendiri. Dari mengais rejeki di negeri orang, sampai nekat mengambil jalan pintas meski menentang hati nurani. Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang menjatuhkan harga diri..

Indonesia sedang bersedih. Siapa peduli? Bangsa lain justru melihat kesempatan untuk mengambil keuntungan. Pejabat yang korup dijadikan boneka untuk menguasai kekayaan alam. Produk-produk lokal yang kalah bersaing ditinggalkan pembeli, lalu daya beli lari ke negara-negara yang lebih kreatif dan kompetitif. Larangan terbang maskapai Indonesia ke luar negeri adalah ceruk pasar yang segera diserobot maskapai asing. Budaya yang tak dijaga dibalik nama oleh negara yang lebih bisa melihat potensi. Dan masih banyak lagi..

Indonesia sedang bersedih. Lalu marah dan menyalahkan pihak lain adalah proses yang alamiah. Tetapi apakah tepat sebagai solusi? Bisa jadi. Kalau kemarahan itu membangkitkan harga diri dan harapan. Bahwa kita bersedih karena kita masih merasa utuh sebagai bangsa. Ada saudara yang disakiti membangkitkan empati seluruh keluarga. Ada ketidakadilan di sekitar, kita peduli sebagai sesama warga. Dan jika ada yang dicuri, kita bersama-sama merasa kehilangan. Kemarahan yang disalurkan dengan benar semoga menjadi api kesadaran yang terus membakar dan membesar. Menjadi harapan yang menyemangati untuk menyelesaikan setiap persoalan.

Indonesia sedang bersedih. Dan kesedihan seharusnya menggugah kesadaran. Bangsa-bangsa lain mungkin punya persepsi buruk tentang negeri ini. Sebagian memang karena tingkah kita sendiri, sebagian mungkin direncanakan sebagai bagian dari persaingan. Dan kita tak bisa tidak harus memperbaiki diri. Sambil tak berhenti melawan persepsi yang merugikan. Tentu dengan cara yang elegan. Karena salah cara malah bisa semakin menenggelamkan. Saat negara tetangga memanfaatkan budaya kita untuk promosi pariwisata mereka, kita lawan dengan menumbuhkan kembali rasa memiliki, sambil memperingatkan bahwa cara mereka melawan etika. Saat negara-negara lain menyebarkan ketakutan yang berlebihan, kita lawan dengan mengkampanyekan keindahan yang menggetarkan.

Indonesia sedang bersedih. Akan semakin menyedihkan jika kita hanya diam meratapi. Banyak tindakan nyata yang bisa dilakukan untuk perbaikan. Indonesia bertindak adalah salah satu yang saya acungi jempol.

Tuesday, December 11, 2007

KURBAN

.

Ibrahim mengangkat tangannya yang memegang pisau menganga. Anak yang terikat dihadapannya mungkin tak jelas terproses citra dan jeritnya oleh mata dan telinga. Karena rasa dan pikiran ditutup dan dikosongkan kecuali untuk dengung suara-suara yang terus bergaung sejak beberapa hari silam dan tegas diyakini tanpa tanya itulah Tuhan yang bersabda..

Sepersekian detik kemudian, di sela kilat pisau yang bersiap menghunjam, suara itu datang lagi menggema memukau menghentikan! Hanya kali ini terasa lebih damai dan lembut. "Hentikan Ibrahim.. Sekarang Aku tahu kau mencintai Aku melebihi segala yang kau cinta.. Lepaskan anakmu dan gantilah dengan seekor domba yang sudah Kupersiapkan.."



Cerita keberanian dan pengorbanan yang mencengangkan. Tersebar ke penjuru daerah dan jaman, dari mulut ke mulut lalu diabadikan dalam tulisan. Di loh batu dan kertas-kertas generasi awal.

Kemudian kubayangkan kejadian imaginer beberapa ribu tahun berselang..

"Daniel, sembelih anak sulungmu sebagai tanda kesetiaanmu padaKu"
"Hei.. Suara apa ini? Mendengung serasa memecahkan gendang entah dari mana.. Oh sungguh mengagumkan.. Akan tetapi betapa permintaan tak masuk akal dan mengerikan.."

"Akulah Tuhan yang menuntut kesetiaan iman.."
"Hahaha.. Kuakui kau punya keajaiban.. Menggemakan permintaan di telinga tanpa terlihat mulut yang mengucapkan. Tapi kau bukan Tuhan! Atau mungkin saja, meski jelas bukan Tuhan yang selama ini aku takjubkan"

"Menyembelih anak sendiri untuk membuktikan kesetiaan? Hahaha.. Sudah sering kudengar keanehan atas nama iman kepadaMu. Dan kali ini adalah yang paling bodoh dan menggelikan! Jika Kau memang Tuhan, mengapa Kau tak juga mengenal aku si secuil ciptaan? Atau mengapa tak Kau cabut sendiri nyawanya lalu Kau tersenyum puas melihat aku menderita sementara hanya pasrah yang kubisa karena aku bukanlah tandingan? O ya, mengapa tak Kau cabut nyawaku saja sekalian?
Silakan Kau cari orang lain yang cukup naif untuk menuruti permintaanMu menyembelih anak kandungnya sendiri. Dan Kau juga harus melumpuhkan aku, karena aku akan sekuat tenaga mencegahnya menurutiMu. Kegilaan yang tak akan kuat kutahan.."


Kisah Abraham -- atau Ibrahim -- yang berniat menyembelih anaknya atas permintaan Tuhan, sampai hari ini masih mengguncangkan pikiran dan hatiku. Tuhan beribu tahun yang lalu seharusnya tak perlu beradaptasi dengan waktu untuk tetap sama dengan Tuhan di hari ini. Namun agaknya Dia harus tunduk pada persepsi manusia di masing-masing jamannya. Apa yang hari ini bisa dianggap kelainan jiwa yang sesat, dahulu ternyata adalah bukti kekuatan iman. Meski keduanya dalam namaNya. Aku tak hendak mempertanyakan kebenaran. Dongengkah atau sejarah beratus abad silam. Pencarian kepastian yang absurd kecuali dari kacamata kepercayaan. Aku hanya tertarik pada pembenaran. Bahwa kisah tersebut pantas untuk diabadikan.

Beberapa hari lagi, beribu-ribu kilo daging kambing dan sapi akan dicincang lalu dibagi-bagi. Terutama kepada jutaan saudara-saudara yang bisa dibilang sangat jarang menikmati. Semua orang berpesta. Bergembira dalam suasana ikhlas berbagi menyambut janji Tuhan yang indah membalas kesetiaan. Ingatan menayang rekaman masa kecil, berkumpul bersama teman tertawa mengelilingi api membakar potongan-potongan daging yang bumbunya tak karuan tapi entah mengapa daging yang alot masih saja bisa terasa nikmat dan nyaman. Mendadak aku menjadi malu dan sendirian merasa terkucil. Mengapa keindahan dan kemesraan harus dipertanyakan? Adakah yang perlu diluruskan dari empati dan keikhlasan?

Orang bijak menyimpulkan bahwa ayat tidak berdiri sendiri. Gunakan nurani untuk menafsir teks-teks suci. Lalu kutinggalkan Tuhan sendiri, dan kunikmati misteriNya memberkahi bumi.

Sunday, December 9, 2007

KESEWENANGAN

.
Kesewenangan tampaknya bukan hanya karena kekuatan dan ketakutan. Misi suci yang diyakini, cukup sekali telan lalu berefek mengangkat derajat beberapa level dibanding orang-orang di sekitar, kuat mendasari hingga semua polah menjadi seolah normal dan wajar. Tak perlu dibicarakan tak perlu didiskusikan, semua kebenaran terang benderang tinggal bagaimana memenangkan pertempuran.

Setelah melalui jaman kediktatoran tunggal, dimana kesewenangan mengatasnamakan stabilitas dan pembangunan, sekarang jamannya kesewenangan yang lebih beraroma spiritual namun kemudian terasa lebih miris menakutkan: atas nama Tuhan. Di televisi ditayangkan, serombongan massa berwajah keras berulang-ulang meneriakkan nama Tuhan, berjalan bergegas dengan satu tujuan: mempertobatkan kaum sesat. Pilihannya adalah patuh atau hancur! Jangan lupa, Tuhan sendiri yang berdiri di belakang semua ini.

Tuhan sang dalang, seharusnya adalah Tuhan yang sama dengan sang pencipta segala hal. Diantaranya adalah kemegahan alam semesta dan manusia-manusia penghuninya dengan berbagai macam jalan pikiran termasuk lingkungan yang membentuknya. Namun apa perlunya memikirkan itu semua? Kekaguman, penghargaan, penghormatan, rendah hati, mawas diri, dan kelembutan budi, apakah hari ini masih menjanjikan sebagai jalan utama menuju kenikmatan setelah kematian? Di era instan dimana teknologi mampu membuat segala hal bisa dijangkau dan diseleksi sesuai keinginan, manusia tak lagi perlu beradaptasi dan bertenggang rasa dengan lingkungan. Tinggal pilih golongan yang sesuai maka itulah makna identitas. Dan sang liyan jangan sampai menyentuh dan menyinggung ego kelompok. Karena ini adalah kunci ketuhanan jaman sekarang.

Dan Tuhan sang dalang agaknya membiarkan semua ini kecuali dengan hukum alamNya yang gamblang tak peduli ideologi. Manusia-manusia yang menjadikan Tuhan sebagai pembenar utama tak pernah mampu membuatNya bersuara. Sedangkan klaim bahwa tindakan mereka mencontoh sang nabi, juga tak bisa bulat diterima karena jelas tak ada saksi mata yang masih hidup hingga di jaman ini dan bisa dimintai klarifikasi. Maka semua adalah kepercayaan. Adalah interpretasi. Oleh karenanya relatif. Sayangnya relativitas hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menyadari bahwa pendapatnya setara dengan pendapat orang lain sebagai sesama mahluk ciptaan pencari kesejatian. Tidak melebihi. Di lain pihak, kenyamanan kemutlakan selalu takut kepada perbedaan. Dan ketakutan menghalalkan kesewenangan.

Kembali di televisi. Rombongan massa yang hanya bisa merusak pagar akhirnya menginjak-injak kitab yang dianggap suci oleh kelompok lain, mungkin tahu persis bagaimana rasanya jika sesuatu yang dianggap suci dihinakan sedemikian rupa. Hal itu nampak dari kepuasan yang terpancar dari wajah-wajah mereka hingga sejenak emosi mereda lalu meninggalkan tempat sembari menitipkan beberapa ancaman disertai yel-yel kemenangan. Penonton terdiam. Sebagian mungkin diam-diam membenarkan. Sebagian besar lainnya mungkin tak setuju namun kejadian yang terus berulang menjadikannya hal biasa hingga yang peduli hanya sedikit tersisa. Lalu orang lebih asyik berdebat panjang mengenai perbedaan tafsir untuk memenangkan pendapatnya dan mulai melupakan para korban yang terus berjatuhan.

Rombongan massa yang resah karena keyakinan orang lain, merasa berhak menebar keresahan dengan tindakan brutal. Demokrasi yang sering dimaki sebagai sistem yang muncul dari orang-orang yang menolak Tuhan, diterapkan mentah-mentah sebagai yang merasa berjumlah lebih banyak hingga berhak untuk membungkam yang sedikit. Meski hakekat demokrasi yang dilandasi penghormatan pada hak-hak asasi masing-masing pribadi justru diabaikan.

Kesewenangan tampaknya bukan hanya karena kekuatan dan ketakutan. Namun juga kepicikan. Karena perbedaan tak terhindarkan, maka semua orang pada akhirnya akan merasakan dampaknya. Oleh karenanya harus segera kita lawan. Mulai sekarang.

Thursday, December 6, 2007

PERSEPSI

.
Dokter. Apa yang terlintas di benak saat kata itu terdengar atau terbaca? Bagi saya, segera tergambar kekaguman atas kepandaian dan kemuliaan seorang manusia untuk menjadi penolong tulus bagi sesama yang sedang sakit lemah menderita. Lalu satu lagi : Pemuka agama. Manusia pilihan berbudi pekerti menakjubkan dengan kesadaran dan kebijaksanaan melebihi orang awam. Kepadanya kebimbangan ditanyakan untuk mendapat jawaban mencerahkan tentang kemauan Tuhan. Sedangkan manusia? Untuk yang ini selalu melekat idiom lama yang masih segar bermakna. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

Dan hari-hari ini, setelah berdiskusi panjang dan mengasyikkan dengan seorang sahabat lama, ada hal yang begitu nyata namun diperlukan waktu sejenak, bahkan beberapa, untuk menyadarinya. Bahwa label tidak selamanya mampu menyatukan predikat dengan si pembawa label. Meski kadang kita terlupa. Meski sang pelaku pun kadang tak merasa.

Sulit sekali dicerna, mendengar cerita tentang seorang dokter yang marah-marah kepada dokter muda karena merasa direbut pasiennya. Lalu menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya agar si dokter muda terhalang untuk bekerja. Bahkan sang dokter jumawa juga merasa berhak mendapatkan honor dari hasil kerja si dokter muda. Atau ini yang lebih mengerikan: seorang pemuka agama panutan menikahi siri seorang istri yang bahkan belum resmi bercerai! Terperangah.. Untuk segera mengulang makna itu lagi: manusia adalah tempatnya salah dan lupa..

Tetapi persepsi bukanlah kata-kata kosong belaka. Ia menguasai. Meski pada awalnya kita merasa memperalatnya, namun perjalanan yang tak terduga ternyata menuju kekalahan akal yang memang tak mampu untuk selalu siap berlelah-lelah mempertimbangkan seluruh kemungkinan. Kebenaran menjadi kabur, bahkan kemudian menyatu dengan sang persepsi yang meraja. Karena cerita berikutnya adalah bukti bahwa sistem pun tak mampu mengatasi. Lalu kebenaran adalah fitnah dilihat dari seberang sisi. Sisi mana? persepsi kitalah -- yang biasanya sama dengan presepsi mayoritas -- yang menentukan.

Karena persepsi juga tidak turun dari langit. Ia dibentuk. Melalui proses panjang, melalui atribut dan dandanan, dengan kesadaran maupun tidak. Dan manusia, baginya ketidakpastian dan ketidaktentuan adalah kebodohan. Tak sabar untuk bergegas pada kesimpulan yang digiring oleh refleksi dan asumsi sementara yang segera mengkristal. Meski untuk itu berarti menciptakan kurungan pikiran dengan mencukupkan diri pada informasi yang tak perlu diperbaharui kecuali sejalan dengan alur persepsi yang telah keras mengendap.

Kali ini saya tak mampu mengelak dari kebenaran. Karena ia datang dari seorang sahabat yang berpuluh tahun saya kenal. Namun bagaimana kebenaran yang sejatinya sangat penting ini bisa disebarluaskan? Untuk waspada terhadap kemutlakan persepsi, atau sekedar mengingatkan bahwa semua adalah manusia yang sah untuk sekali-sekali salah dan lupa yang berada di balik semua label? Meski jika label itu adalah tentang dokter, pahlawan, atau pemuka agama sekalipun? Saya berharap untuk dapat selalu percaya pada kalimat bijaksana yang menenangkan bahwa kebohongan mungkin bisa berkuasa, namun hanya atas sementara orang dan tak akan selamanya. Semoga.

Monday, December 3, 2007

SANG PEJABAT

.
Laporan kekayaan seorang pejabat di awal masa tugasnya : Rp 5,3 miliar.

Enam tahun kemudian sejak berikrar untuk menjadi pejabat yang bersih dari korupsi, berikut temuan sementara tentang kekayaannya:
Rumah mewah di Jakarta Selatan dengan nilai sekitar 10 miliar. Rumah mewah di lokasi tak berjauhan masih di Jakarta Selatan, diperkirakan nilai setara. Di dalamnya ditemukan seember uang ditutupi pakaian basah. Lalu sejumlah aset berupa tanah, rumah, dan sejumlah perusahaan (yang tentu saja bergerak di bidang yang sesuai dengan lembaga negara yang dipimpinnya). Sebuah pom bensin di pinggir tol, tanah super luas di Bekasi senilai Rp 20 miliar, sebuah gedung pertemuan di kawasan asri Bogor.
Kemudian di kota kelahiran sang pejabat, rumah dan tanahnya tersebar dengan total luas mencapai 11 ribu meter persegi, dimana salah satunya adalah rumah kuno tradisional yang belum selesai dipugar senilai sekitar Rp 17 miliar. Konon, dipajang kereta kencana seharga Rp 2 miliar..


Bahkan seekor ular pun tahu arti kenyang dan kapan saatnya berhenti makan (Emha Ainun Najib).


Aku membayangkan jika keajaiban memberiku kesempatan untuk bertukar tempat dengan sang pejabat. Mampukah aku tampil beda dengan penuh idealisme menjalankan ikrar jabatan? Atau malah lebih licin mengalahkan segala belut dan tak mampu menghentikan nafsu bagai kecanduan akut? Mungkin pada awalnya terjadi pertempuran nurani yang menarik. Segunung beban moral setara dengan segenggam korupsi. Lalu neraca terus menerus bergeser setelah kenikmatan mulai menyodok menjadi penimbang rasa peringkat pertama. Dan gunungan moral terlalu cepat menjadi rata sementara kenikmatan berlipat-lipat tak juga membuahkan kepuasan. Ketagihan yang meningkatkan kadar kerakusan entah sampai kapan.


Manusia berubah. Dengan pola yang bisa dibaca dari sejarah.


Terdengar kabar sang pejabat mendadak pingsan di persidangan setelah tuntutan 20 tahun hukuman dibacakan. Pengacara mewah teramat mahal namun terkenal banyak akal tergopoh-gopoh menghampiri cemas. Kecemasan tulus atau profesional? Entahlah..

Dan keajaiban tak juga datang. Aku masih tetap tak bertukar tempat menjadi pejabat. Aku yang dididik untuk mencintai negeri ini tetap menjadi aku yang masih berhak marah namun hanya bisa mencemaskan kelakuan para pengambil keputusan. Dan aku tidak pingsan. Hanya baru bangun tidur karena mendengar istri dan anakku bercanda tertawa dan bernyanyi lalu aku ditarik-tarik untuk segera mandi. Pak pejabat, menurut ukuran anda, berapa miliar rupiah yang harus anda bayar untuk membeli sepenggal keriangan hati di pagi hari?

Sunday, December 2, 2007

SALAH PAHAM

.
Seorang pria dengan rambut panjang dikuncir memasuki ruangan. Di pintu masuk dia menengok ke kanan melihat tumpukan makalah lalu diambilnya satu sebelum menuju deretan tempat duduk yang masih lengang. Dipilihnya satu kursi di sudut depan, lalu ditaruh makalah di kursi sebelahnya yang masih kosong.

Selang beberapa waktu saat peserta semakin memenuh, seorang pria setengah baya agak gemuk hitam cepak ikal berjalan agak tergesa menuju tempat duduk di dekat si pria berkuncir segera setelah ia mengambil seberkas makalah di dekat pintu masuk. Lalu sejarak sekitar satu meter dari tempat duduk, pria gemuk itu sejenak berhenti. Sepersekian detik, lalu memutar balik kembali ke arah pintu masuk.

Pria berkuncir menggerakkan tangan tampak spontan mengambil berkas makalahnya yang tergeletak di kursi sebelahnya, untuk ditaruh di atas pangkuannya.

Pria gemuk kembali lagi ke deretan tempat duduk tersebut setelah mengembalikan berkas makalah di tumpukan dekat pintu masuk. Setelah mendekat di kursi sebelah pria berkuncir, pria gemuk itu terlihat tersentak, lalu memandang pria berkuncir, yang ternyata menampakkan kekagetan juga. Keduanya beradu pandang..


#Pria berkuncir.
Masih kurang 15 menit. Aku datang terlalu awal. Tapi tak apa. Sekali-sekali datang lebih awal sambil mengisi waktu dengan bermain game di HP. Makalah dibaca nanti saja..
Wah, bapak gemuk itu kayaknya mau duduk di sebelahku. Bisa gerah nih.. Tapi kalo memang mau ya silakan.. Sebentar aku ambil dulu berkasku ya pak.. jangan didudukin nanti penyet..
Eh, kok malah balik lagi? ya sudah terserah..
Lho kok dateng lagi? Lho kok melotot?

#Pria gemuk.
Untung pas sekali belum terlambat aku.. Nah itu masih ada tempat duduk di depan. Ya sudah situ saja.. Eh, ternyata makalah sudah dibagi di setiap kursi ya.. Ngapain aku ngambil di pintu masuk tadi.. Ya udah aku kembalikan lagi sebentar baru balik lagi..
Eh, kurang ajar! Malah diambil sama si gondrong sialan!


Pria gemuk dan pria kuncir masih berpandangan..
Lalu tiba-tiba tanpa aba-aba keduanya tertawa bersama.
"Hahahaha.. Hahahaha.."
"Maaf Pak, kirain Bapak mau langsung duduk jadi saya ambil makalah saya."
"Hahahaha.. nggak papa nggak papa.. Saya pikir itu makalah buat saya jadi saya balikin lagi yang sudah saya ambil."
"Hahahaha.. "
"Hahahaha.."


----------
Salah paham. Tak terduga namun mudah terjadi. Untungnya mudah pula diklarifikasi. Asal diberi kesempatan. Dan mau memberi.

Saturday, December 1, 2007

NATAL

.
Kelahiran dan munculnya seorang anak manusia -- benar manusia biasa, yang keberadaannya di panggung dunia terikat pada sepotong babak kecil pada lintasan panjang waktu sejarah dan seremah ruang di antero alam semesta -- bulan Desember ini mulai diperingati banyak orang yang masih saja terpesona.

Saat manusia menikmati hubungan yang gampang dan sederhana antara dirinya dengan sesuatu yang mereka beri nama Tuhan Sang Maha Segala, seorang anak manusia menebarkan kesadaran baru bahwa Dia ternyata bahkan jauh lebih sederhana. Allah bisa jadi memang raja atau panglima sedangkan manusia adalah bala tentara perangnya. Atau bisa juga Dia adalah majikan atau mandor yang mengamati polah hamba dan anak buahnya dengan perhitungan ketat dan njlimet sesuai kitab aturan untuk membayar upah maupun hukuman. Namun ketika Allah digambarkannya sebagai raja yang welas asih, orang tua yang berlimpah kasih dan ampunan, gembala yang sungguh bekerja dengan cinta untuk seluruh ternaknya, bahkan Allah adalah pelayan yang mencuci kaki manusia sang tuan, juga Dialah sesungguhnya orang-orang hina musafir kelaparan di sekitar keseharian, maka meresapinya membuat ada yang berdesir di dada. Mengguncang kemapanan dogma yang beku mengendap di kepala.

Lalu awal kesadaran itu semakin menerang saat kematian diri sendiri tidak lagi ketakutan yang harus dihindari demi tujuan pengorbanan untuk kehidupan semua sesama dan sama sekali bukanlah kekalahan. Manusia yang biasa mengukur Tuhan dan kekuasaanNya dari kekuatan dan kejayaan duniawi, perlahan mulai berpaling pada sang korban. Simpati dan empati kian lama makin mewujud menjadi kekaguman dan pencerahan. Bahwa bukan orang lain yang menjadi lawan yang harus dikalahkan, melainkan kesombongan diri dan ego yang sebenarnya sering tak disadari dituhankan.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh para pengikut di awal jaman, saat mereka menyimpulkan bahwa manusia bernama Yesus dari Nasaret adalah Anak Tuhan bahkan Tuhan sendiri yang hadir di dunia. Mereka mungkin tak menyiapkan diri untuk beradu logika ala matematika yang digemari manusia masa kini. Atau juga mungkin tak peduli toh Tuhan juga tidak serta merta bisa dilogika kalaupun Dia tak beranak dan tak berwujud di alam fana ini. Saya hanya bisa memperkirakan bahwa pengalaman dan pencerahan yang membuat mereka berani mengambil kesimpulan dan menjadi dorongan untuk menyebarluaskan.

Lalu ketika kesadaran harus diceritakan dan diargumentasikan melintasi generasi dan jaman, tak ada cara lain yang termudah selain harus disusun menjadi kata perkata. Maka kesadaran berubah menjadi kata dan kata berubah lagi menjadi pengertian baru yang bisa jadi tidak sama atau bahkan sama sekali berbeda makna. Sejarah mencatat bagaimana iman tentang cinta dan pengorbanan yang didogmakan menjadi kata-kata keramat bisa ditafsir menjadi alasan untuk menebarkan kebencian, darah, dan pemaksaan.

Namun manusia mungkin memang tercipta dilengkapi dengan kehausan untuk mencari pencerahan. Selalu ada pergerakan untuk mencari makna kesejatian yang terus mengayun dari satu ujung ke ujung lainnya tanpa menyadari bahwa sejarah terus berulang. Maka momen peringatan memang diperlukan. Untuk sejenak berhenti dan merenungkan kembali arah perjalanan pencarian. Siapakah Tuhan sebenarnya? Atau siapakah kita? Mahluk ciptaan yang terpisah secara eksistensi dari penciptanya? Punya potensi untuk mengingkari dan menyaingiNya meski takdir menentukan selalu kalah? Atau seperti yang diisyaratkan oleh sang pembawa kabar gembira, bahwa segala hal termasuk diri kita berhak memancarkan sinar Tuhan?

Selamat mempersiapkan perayaan Natal bagi yang akan merayakan, memperingati kelahiran Yesus Kristus yang sebenarnya entah kapan karena mungkin waktu itu belum ada kesepakatan penanggalan. Selamat merenungi dan menikmati pengalaman pencerahan di hati kita masing-masing.

Bagi saudara-saudara yang tidak merayakan, semoga tak juga lelah senantiasa mencari dan merenungkan kesejatian, dengan sepenuh penghormatan dari saya. Salam persaudaraan!