Thursday, January 31, 2008

TUHAN DAN CINTA

.
Tuhan mungkin memang hanya satu
Tapi selalu tersedia cukup Tuhan untuk semua
Setiap manusia boleh memiliki Tuhannya sendiri-sendiri
Dan Tuhan tetap satu utuh meski dibagi-bagi

Cintamu mungkin hanya satu
Tapi selalu tersedia cinta yang utuh untuk kau bagi
Yang bisa kau berikan kepada siapapun
Tak perlu mengurangi cintamu pada orang lain sedikitpun

Waktu kecil aku sepenuhnya mencintai orang tuaku
Lalu kemudian sepenuhnya kucintai istriku
Kini bertambah lagi cintaku pada anakku
Dan tak berkurang secuilpun cintaku pada bapak ibu

Waktu dan perhatian mungkin bisa terbagi tapi tidak cinta
Cinta begitu indah tak terjelaskan namun bisa dirasa
Seperti Tuhan
Yang tak akan pernah mampu kucerna



[ hasil diskusi dengan raras, thanks ya! ;) ]

BISAKAH INDONESIA?


.
Korea adalah keajaiban. Seoul adalah kota-kota besar Eropa di Asia. Bahkan mungkin lebih riuh dengan layar-layar monitor di segala penjuru, menggambarkan kemajuan dan inovasi teknologi informasi di sana. Denyut nadi warganya -- yang kebanyakan gemar berdandan rapi dan fancy -- menunjukkan level kesejahteraan dan produktivitas negeri itu. Tetapi tetap saja Korea adalah Asia. Bukan Eropa atau Amerika. Kebanggaan pada budaya leluhur, pola hubungan kerja, etika dalam berkawan dan bersahabat, kesantunan dalam bertamu dan perjamuan, lebih terasa nilai Indonesia. Walau mungkin nilai Indonesia lama.

Bangsa Indonesia telah bertahun merdeka, di saat Korea sedang terlibat perang saudara. Meski hanya berlangsung beberapa lama, kerusakan yang ditimbulkan begitu luar biasa. Bangsa Korea kembali ke titik nol. Tapi dengan visi yang kuat dan niat keras untuk mengubah nasib, penguasa saat itu berhasil memacu rakyatnya untuk bekerja keras dengan kesungguhan dan dengan apa saja kemampuan dan sumber daya yang ada, untuk bersaing di pasar dunia. Dan Korea melesat menjadi keajaiban yang nyata, bukan sekedar yang nampak mata namun rapuh di dalamnya.

Cerita sukses yang disampaikan dengan penuh bangga oleh seorang teman Korea beberapa bulan lalu, kembali teringat setelah membaca artikel berjudul 'Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia" yang ditulis oleh Prof. Koh Young Hun, seorang Indonesianis dan profesor di program studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. Sebuah tulisan yang tajam menyindir, namun disampaikan dengan penuh simpati, menginspirasi, dan menggugah. Ketika tulisan tersebut saya sampaikan kepada teman saya di Korea, berikut jawabannya:

---------------------------
From: Tee K. Chong
To: Daniel
Sent: Tuesday, January 29, 2008 8:18 AM
Subject: Re: Intermezzo - An essay by Prof. Koh Young Hun

Dear Mr. Daniel,

Thanks for your impressive essay. This reminds Koreans as well of our real value which we might have forgotten these days...

Thanks again!

Tee K. Chong
---------------------------

Mungkin jawaban basa-basi. Tapi mungkin pula jujur, sebagai tanda pribadi yang rendah hati dan mawas diri. Yang jelas, artikel tersebut saya simpan untuk sesekali kembali saya baca. Karena kebiasaan saya yang memang gampang lupa..

Sunday, January 27, 2008

WAFATNYA PRESIDEN INDONESIA

.
Mantan presiden Soeharto wafat.

Bukan kabar yang terlalu mengejutkan, meski tetap membuat terdiam sejenak. Dan kemudian, dari berita liputan dan tayangan penghormatan yang tak kunjung henti, tak lagi terasa bahwa Beliau adalah mantan presiden. Mungkin rasa di hati dan ingatan saya (dan mungkin pula banyak pejabat serta sebagian anak bangsa), Soeharto memang masih presiden. Boleh saja gelar legalnya adalah mantan. Tapi ini bukan masalah legal, ini soal perasaan.

Ada seseorang mengatakan kepada saya, bahwa Soeharto menderita di penghujung perjalanan hidupnya. Dan kematian akan mengantarnya pada siksa. Mulai dari 7 langkah pelayat terakhir yang meninggalkan kuburnya, sejak itu ia harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Saya terdiam. Tidak mengiyakan karena saya tidak mau bersepakat, namun tidak pula membantah karena tak merasa ada manfaatnya untuk berbantah tentang sesuatu yang jelas tak akan ada ujungnya. Saya lebih suka terdiam dan membayangkan versi personal saya sendiri. Betapa beruntung Soeharto bahwa di hari-hari terakhirnya, setelah menjalani umur panjang dan menyenangkan, semua orang begitu tampak mencintai dia, mengupayakan sekuat tenaga dan doa agar yang terbaiklah yang diterimanya. Ketika akhirnya nyawa benar terpisah dari raga, Soeharto melihat jasadnya dikerubungi anak cucu dan sanak saudara yang menangis. Dan tampak cahaya putih terang bersinar dari satu sudut yang hanya bisa dilihatnya, dari sana muncul malaikat yang tak kalah terang siap menjemput. Suharto minta waktu sejenak. Ia berusaha menjelaskan pada anak-anaknya, bahwa ia tak perlu ditangisi karena telah terbebas dari penderitaan raga. Meski akhirnya dia sadar bahwa lain dunia membuatnya tak lagi bisa berkomunikasi dengan mereka. Dia tersenyum kepada sang malaikat dan meraih uluran tangannya, terbang menuju ke suatu tempat antah berantah yang sangat indah dengan nuansa cerah warna bunga beraneka, gemericik sungai anggur beraroma. Puluhan bidadari cantik menyambut, namun Soeharto segera menemukan istrinya, dan berpelukan erat bahagia untuk beberapa lama. Kemudian ia tertawa bersalam-salaman dengan para sahabat yang terlebih dahulu disana. Lalu datang sesosok gagah berwibawa, yang membuatnya sedikit terkejut. Sosok Soekarno. Tetapi senyum hangat membuatnya segera berlari mendekat dan mencium tangannya dan dibalas dengan tepukan lembut dipundaknya..

Baiklah sekarang lupakan sejenak masalah kehidupan setelah kematian. Di dunia fana ini, masih ada pertanyaan-pertanyaan yang tertinggal. Bagaimana bangsa ini akan mencatat Soeharto? Bagaimana perkara-perkara yang ditudingkan kepadanya bisa dibuka terang-benderang dan menjadi pelajaran kita bersama? Bukankah sejarah yang ditutupi cenderung terulang kembali?

Mendadak entah apa sebabnya saya memikirkan kembali tentang kematian yang membuat saya ketakutan. Bagaimana kalau ternyata kehidupan setelah kematian jauh dari yang saya bayangkan? Bagaimana kalau ternyata nanti roh saya hanya bertemu sepasang mata yang menyorot tajam memandang penuh duka dan tanya hingga menusuk jantung hati saya yang terdalam dan memburai seluruh penyesalan hidup? Dan saya hanya bisa menangis tersedu-sedu tanpa henti di hadapan sepasang mata itu sambil membenamkan wajah di lautan sesal yang sangat luas...


(PS. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik bagi Pak Harto di sisi-Nya)

Wednesday, January 23, 2008

SELANCAR

.
Kematian adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana dengan asa? Apakah ia harus dan niscaya ada hingga kematian tiba? Seseorang memutuskan untuk mempercepat pertemuannya dengan sang ajal, saat tiba kandasnya harapan yang habis terkikis seiring deraan dan hempasan gelombang bertubi-tubi yang tak lagi mampu ditaklukkan. Dan cerita kali ini adalah tentang seorang penjual gorengan yang terlilit hutang karena harga-harga bahan baku yang melonjak dahsyat menghantam secuil asanya yang tersisa. Bisa jadi ia tahu bahwa tidak semua adalah kesalahannya. Tidak semua keputusan ada di tangannya. Bisa jadi iapun menyadari dan memaki keadaan terkutuk yang bergerak sendiri tak memperdulikannya. Namun ini bukan tentang salah benar. Ini tentang bobolnya benteng pertahanan bernama harapan. Dan ini membalik – atau setidaknya membutakan – kesadaran wajar yang dahulunya begitu gampang ditelan, bahwa persoalan adalah bagian dari penggerak anugerah hidup yang selalu harus dirayakan.

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah: apakah dia manusia lemah yang harus kalah melawan alam yang terus menyeleksi? Ataukah ia adalah wajah kita, jika kita berada di situasi yang sama? Mungkin pikiran untuk bunuh diri tidak akan pernah (atau pernah?) terlintas dalam diri kita. Mungkin situasi dan kondisi pak Slamet – demikian ia bernama yang sekali lagi menambah ironi – terasa begitu absurd dibanding kenyataan kita yang nikmat-nikmat saja melakoni hidup di sekelilingnya. Tetapi kematiannya tak seharusnya hanya menghentak sekilas lalu berlalu begitu saja tanpa makna. Seharusnya kematiannya menggugah kesadaran para pemimpin bangsa yang diserahi kewajiban paling tinggi akan kesejahteraan rakyat. Dan kitapun harus segera tersadar sebagai bagian dari sistem yang mengantarnya pada keputusan kematian. Dan satu lagi, akankah kita setabah pak Slamet dalam mengulur takdirnya jika kita berada dalam posisinya?

Seorang pemusik dan penyair besar namun rendah hati pernah mengingatkan saya dengan lagunya. Dan peristiwa ini kembali mengiangkan dendangnya di kepala. Terus berselancar di atas ombak kehidupan. Atau tenggelam.


"Persoalan hidup kalau diikuti tak ada habisnya
Soal lama pergi soal baru datang
Bagai ombak bergulung sepanjang waktu
Kita mesti berselancar diatasnya atau tenggelam

Tak bisakah kita menerimanya
Sebagai satu kenyataan yang harus dihadapi
Tak bisakah kita bergembira karenanya
Agar hidup yang singkat ini jadi berarti

..
Selancari hidup sepanjang hari
Tarian maut bermahkota matahari
Menuju pantai kebahagiaan
Bersama hati yang suci
Kita rindukan ini semua
Lantas kenapa kita mesti bersedih
Bukankah ini yang kita cari
Semenjak purba hingga kini"

(Iwan Fals – Selancar)

Monday, January 21, 2008

KEBIJAKAN PANGAN

.
Di dunia yang semakin modern, diperkirakan harga komoditi tanaman pangan tidak akan pernah kembali menjadi murah seperti dahulu. Perubahan dan perkembangan jaman menambah jumlah kebutuhan tanaman pangan dunia secara signifikan. Selain untuk memenuhi kebutuhan langsung manusia yang semakin bertambah, konsumsi protein hewani yang meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga meningkatkan penggunaan tanaman pangan untuk pakan ternak. Belum lagi tren eksploitasi energi alternatif saat ini yang bersumber dari tanaman.

Kenaikan harga kedelai yang menimbulkan gejolak di negeri ini, adalah salah satu indikasi kecil bahwa kebijakan pemerintah tentang ketahanan pangan tidak jelas arahnya. Alternatif ketahanan pangan bisa dicapai dengan swa-sembada pangan yaitu menanam sendiri semua kebutuhan tanaman pangan yang diiringi dengan kemampuan mengatur petani untuk menanam sesuai kebijakan pemerintah dan segala konsekuensinya, atau alternatif lain adalah memanfaatkan sebagian sumber daya pertanian menjadi hal produktif lain -- industri misalnya -- sehingga negara dan rakyat tetap memiliki kemampuan impor saat terjadi lonjakan harga dunia. Sedangkan liberalisasi pertanian didorong pada produksi yang mampu bersaing di tingkat internasional, dengan salah satunya liberalisasi akses informasi tanaman apa yang harus ditanam untuk mengantisipasi harga yang akan melonjak.

Kebijakan pemerintah mengantisipasi kenaikan harga kedelai dengan menghapus bea masuk impor (yang hanya mengurangi sekitar 10% dari harga pasar), seharusnya dibarengi dengan membuka kesempatan bagi banyak perusahaan untuk mengimpor, bukan hanya 4 atau 5 perusahaan yang diberi ijin khusus. Karena terbatasnya importir berpotensi terjadinya kartel dan oligopoli dalam menentukan harga jual.

Di atas semua itu, kembali korupsi dan kolusi adalah musuh utama penyebab terjadinya inefisiensi di segala bidang. Produk lokal selalu kalah bersaing dengan produk impor. Ini disebabkan mulai dari rendahnya biaya riset pertanian, mahalnya pupuk, inefisiensi dan tidak maksimalnya irigasi, dan tingginya perbedaan harga produsen dan harga konsumen karena banyaknya pungutan, pembangunan infra struktur distribusi yang tidak sesuai rencana, dan lain-lain.

Hari ini yang bisa kita lakukan adalah membiasakan diri membeli produksi petani lokal, dan memilih pemimpin yang kita percaya memiliki kejujuran, kecerdasan, dan visi yang jelas.


Intisari kreatif dari diskusi forum freedom pagi ini

Friday, January 18, 2008

BAPAK IVAN

.
Hallo Bapak Ivan,
Jam berapa semalam sampai rumah? Nggak ada masalah kan?

Pak, saya menikmati pertemuan semalam (semoga Bapak juga..). Dan tiba-tiba saya tertarik untuk mengingat kembali bagaimana kita bisa berteman. Ah, sudah bertahun-tahun ternyata. Sejak baru belasan tahun kita mulai menjelajah waktu, hingga hari ini, hampir 20 tahun sejak pertemuan pertama itu.

Berapa kali kita terlibat dalam pembicaraan sebagaimana semalam? Mungkin sudah beratus kali. Dengan beratus pula menu yang menemani. Mulai dari bubur, mie, pecel lele, ayam goreng dan banyak lagi. Dan saya tersenyum sendiri, saat mengingat bahwa tak banyak yang berubah dari topik percakapan kita. Coba mari diingat bersama; topik apa yang paling sering kita obrolkan? Urutan pertama adalah tentang wanita! Bahkan perihal Tuhan, yang sering pula kita diskusikan, paling banter hanya menduduki peringkat kedua. Tak juga mampu mengalahkan si urutan pertama. Hahaha..

Ingatkah Bapak di waktu kita masih sama-sama belia? berbangga semu merasa sebagai mahluk-mahluk di lapisan atas skala hebat? Ketika kita ke-geer-an merasa dilirik wanita, lalu kita berjalan saling menjauh untuk membuktikan kepada siapa sebenarnya diantara kita lirikan itu ditujukan?

Ada pula masa-masa dimana kita mendiskusikan romansa cinta yang begitu ideal. Meskipun faktanya ada beberapa hal yang saya sembunyikan. Dan sebagaimana Bapak sangat mengenal saya, saya pun sangat mengenal Bapak. Jadi, terus terang saya meyakini ada pula fakta-fakta yang tidak Bapak ungkapkan.

Dan waktu berjalan. Tidak cepat tidak lambat. Tidak pula mau peduli. Dan mau tak mau kitapun harus terganti. Dari wujud kurus lugu di masa itu, menjadi sedikit berisi namun guratan usia makin membayangi. Saya menjalani hidup yang penuh warna-warni, Bapak pun tak kalah indah bahkan memiliki beberapa detail lakon yang belum pernah saya perani. Tapi saya gembira, bahwa kita masih sering berdiskusi. Percakapan menjadi lebih dewasa, dan berbagi pengalaman adalah pertukaran ilmu yang tak tergantikan. Kita menjadi semakin jujur dan tenang. Dan yang tetap menyenangkan, kita tetap tak pernah melewatkan untuk mengamati dan mengomentari keindahan mahluk Tuhan yang sering kita bicarakan saat sesekali melintas.

Bapak Ivan, hari ini kita berada di tahapan yang kurang lebih sama. Saya sudah berumah tangga dan punya anak, Bapak juga. Dan pembicaraan tentang keluarga masing-masing berjalan mengalir tanpa sedikitpun direncanakan. Tentang keindahan dan keceriaan, tentang kejadian-kejadian kecil yang mengganjal, tentang godaan dan deraan yang sesekali datang, dan tentang hal-hal yang kita sama-sama sepakati untuk diendapkan berdua saja. Semoga persahabatan kita terus berjalan, dan terus memanggil untuk tetap saling mengisi dan membagi beban.

Terima kasih dan salam saya untuk Bapak dan keluarga..

Thursday, January 17, 2008

PERCAYA PADA CINTA













Gambar ini dari blognya Maya. Katanya, ini lambang cinta yang ia persembahkan untuk teman-temannya. Yang ada di-list terutama. Untuk ditebarkan lagi kepada semua.
Refleks aku lihat daftar temannya. Ternyata namaku ada! (terima kasih.. )

Sebenarnya aku tak sepenuhnya memahami apa makna gambar ini. Tapi tetap saja kuikuti ajakannya. Karena aku percaya pada Maya.

Atau...
Mungkin terlebih dahulu diperlukan rasa percaya. Yang menghapus benci dan curiga. Untuk bisa merasakan cinta.
Baiklah, mungkin itu dulu maknanya bagiku. Mari kita terus menumbuhkan dan menebar rasa saling percaya, untuk bisa saling mencinta..

Sekali lagi, terima kasih Maya.. :)

EPHEMERA

.
sesuatu
yang menggumpal di imajinasinya
ia beri nama
aku

dihangatkan
agar cair mengalir
dalam nadi
yang terburu menyesap
rindu

ia tahu
kenyataan tak perlu
karena bayangan
saat ini
ialah kebenaran itu

aku tahu
ini keindahan
hanya tinggal
menunggu waktu


(judul terinspirasi dari lagu Letto dengan judul sama)

Wednesday, January 16, 2008

TERASING

.
Dunia berlari.
Orang-orang berkelebat kesana kemari. Binatang-binatang saling berpacu terlalu kencang hingga tak jelas apa itu jenisnya. Matahari berputar lebih cepat dari biasa. Lalu bergegas tenggelam didorong sang rembulan dan demikian terus bersusulan tergesa. Daun-daun dan kembang bermunculan namun tak lama ia menguning dan jatuh lalu pergi jauh menunggang angin yang terus berubah arah. Tunas-tunas pohon yang bertumbuh dan sejenak menjelma kokoh dan gagah segera bergetar dan tumbang berdebam bersahutan diterjang gergaji yang berdesing melengking diatas ambang pendengaran. Tak perlu menunggu kedipan mata segera terbentang jalan-jalan raya lebar tak berujung menggantikannya. Lalu tiba-tiba entah datang dari mana jutaan mesin kendaraan meraung-raung bersliweran suaranya menghasilkan efek intensitas parabola. Silih berganti dan bertumpukan. Memekakkan telinga. Mengaburkan pandang karena keruwetan gerakannya dan asap bara yang menghisap air mata..

Sebuah jiwa.
Tak tersentuh dunia yang berlari. Terdiam menatap dan menanti. Tua dan sepi..

Friday, January 11, 2008

BELAJAR MORAL

.
Moral seperti apa yang ingin kau ajarkan pada anakmu?

Aku sendiri menginginkan anakku memiliki kepekaan yang tinggi. Bisa merasakan hal-hal yang tak harus dialaminya sendiri. Hingga mampu menghargai sesama, alam sekitar, yang juga berarti menghargai diri sendiri dan penciptaNya.

Aku merasakan bahwa itu tidak mudah. Hal ini terutama karena aku ternyata lebih pandai menilai orang lain tapi tidak diriku sendiri. Sedangkan aku mulai menyadari bahwa anakku belajar secara alamiah. Dengan naluri, ia meniru dan mengembangkan gerakan dunia. Dan dunianya saat ini adalah bersama kami orang tuanya.

Aku tak ingin anakku tak peka dengan penderitaan sesama di sekitarnya. Namun aku sering menolak pengemis yang mengetok-ngetok mobilku di kaca jendela. Kugerakkan tangan sekedarnya yang segera dipahami oleh si pengemis sebagai penolakan lalu ia berpaling dan berjalan menjauh. Beberapa kali tak sengaja kulihat anakku memandangi pengemis-pengemis itu hingga menghilang. Tetapi yang membuatku tersentak, saat ada seorang pengemis yang bahkan belum sempat menyentuh jendela mobil, tangan anakku bergerak persis mengikuti kebiasaanku..
Duh Gusti.. Pelajaran dariku telah sempurna ia terima..

Hal yang lain adalah sulitnya membahasakan rasa. Suatu ketika temanku datang ke rumah meminjam mobil. Kata anakku, Oom nggak punya mobil sendiri ya? Kok pinjem mobil bapak Daniel sih?
Kukatakan padanya untuk tak perlu bicara begitu. Kenapa? tanyanya. Karena itu mengisyaratkan sifat sombong. Apa itu sombong? Lalu aku membuat kalimat yang tak bisa dibilang singkat untuk mendefinisikan arti sombong. Anakku terdiam. Dan aku mengerti bahwa dia tidak mengerti. Hingga akhirnya lagi-lagi kukeluarkan senjata pamungkas tepa selira warisan kakek leluhurku yang entah siapa namanya. Kalau dik Fynca dibilang gini -- Fynca kok ikut mobil Bapak Daniel terus sih? Nggak punya mobil sendiri ya? -- Senang atau sedih dibilang begitu? Sedih, katanya. Ya sudah jangan bikin Oom itu sedih juga ya..
Kembali dia terdiam. Tapi kali ini aku yakin kalau diam itu berarti memahami.

Aku tak begitu ingat bagaimana kedua orang tuaku dulu mengajariku. Yang kuingat tak terlalu sering aku mendengar semburan nasehat kata-kata. Dan rasanya tak juga mereka mengandalkan agama. Semua mengalir saja. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Yang tiap pucuk-pucuknya ada nilai-nilai dan keindahan yang kita petik bersama. Anakku belum aku ajari satupun hafalan doa. Kuminta dia berdoa mengucapkan apa saja yang dia rasa. Aku percaya bahwa agama lebih bermanfaat untuk mengkonfirmasi pengalaman hidup dan hati. Nanti akan tiba saat yang tepat kapan agama bisa menguatkan kelembutan hatinya, bukan malah mengeraskan.

Ada kejadian kemarin sore. Malam-malam temanku semasa aku masih kos datang ke rumahku, mau menumpang memeras cucian karena harus dipakai pagi-pagi keesokan harinya. Anakku bilang, Tante nggak punya mesin cuci sendiri siiih..
Sepulangnya temanku, aku bisikkan ke telinga anakku. Dik, kalau dik Fynca nggak punya mesin cuci terus dibilangin -- nggak punya mesin cuci siiih -- rasanya seneng apa sedih?
Terlihat dia agak kaget, dan merenung beberapa saat. Lalu katanya, sedih.. Pak, dik Fynca sebenernya udah tahu nggak boleh ngomong begitu tadi. Tapi bapak Daniel ngasih tahunya udah lama sih.. Jadi dik Fynca lupa deh..

Malaikatku, engkau selalu mempesonaku.. Aku tahu engkau baru belajar menjadi anak. Tahukah engkau bahwa aku juga baru belajar menjadi bapak dan engkau yang mengajari aku?
Aku yang selalu mencintaimu..

Wednesday, January 9, 2008

HIKMAH TSUNAMI

.
Masjid itu masih utuh berdiri.. Seluruh bangunan dalam radius 5 km di sekitar masjid rata dengan tanah.. namun sang masjid masih tegak gagah.. Itulah bukti kebesaran Tuhan.. Maha besar Allah.. Maha besar Allah..


Aku tak tahu apakah benar di antara bangunan-bangunan yang hancur tak ada lagi masjid-masjid kecil lain yang tak semegah dan sekokoh masjid utama yang ikut tersapu amukan gelombang tsunami. Namun lebih lagi yang aku tak mengerti, apakah benar Engkau lebih mencintai dan menjaga bangunan masjid daripada ribuan umat yang tersapu ombakMu?
Benarkah ini semua demi Kau buktikan kebesaranMu? Apakah tidak cukup kami merasakan kuasa dan kasihMu dengan bersyukur tiap hari karena kami bisa bangun dari tidur dalam kehangatan matahari pagi dan riangnya kicau burung bernyanyi?

Aku tak tahu.. Yang kutahu, aku tak bisa menerima penjelasan itu..


Daerah ini bukan daerah rawan gempa. Maka kejadian ini bukan gejala alam biasa. Telah kita baca dalam kitab suci, bahwa Tuhan akan menghukum umatNya yang munafik, yang diam-diam maupun terang-terangan melawanNya. Sebagaimana Tuhan telah membinasakan umat nabi Nuh, nabi Luth, dan nabi Shaleh karena berani menentangNya.. Maka marilah kita basmi kekafiran dan kesesatan, kita kembali ke hukum Tuhan, dan menerapkannya selurus mungkin, agar kita selamat dari murkaNya..


Daerah yang ratusan tahun tidak terjadi gempa, secara alamiah akan mengalami akumulasi tegangan yang semakin besar sehingga dampaknya juga lebih besar saat terjadi geseran lempeng tektonik. Namun Tuhan, jika memang ini hukuman, apa hebatnya dosa mereka dibanding dosa-dosa kami disini? Aku berkunjung ke Meulaboh beberapa bulan setelah kejadian. Aku berbicara dengan sopir angkutan umum, penjual kopi, pejalan kaki, pekerja bandara, yang sanak keluarganya menjadi korban musibah itu. Yang kurasa mereka adalah orang-orang biasa. Yang sama saja dengan orang-orang kebanyakan di seluruh wilayah bangsaku. Maka jika Kau hendak menghukum, mengapa Kau pilih mereka?

Aku tak tahu.. Yang kutahu, aku tak mau menerima penjelasan itu..

Orang-orang berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Atas nama kemanusiaan. Atas nama naluri cinta kasih yang Kau ciptakan. Membantu dengan tulus, sebagai sesama manusia yang setiap saat bisa terkena musibah juga. Tidak memandang hina dan menyalahkan bahwa bencana ini karena dosa para korbannya. Maka jika Kau mau kami mengartikan ini sebagai ungkapan kemarahanMu, mengapa tak Kau kirimkan lagi seorang nabi yang kau beri wahyu dan memperingatkan kami sebelum semua ini terjadi? Sebagaimana kisah-kisah dalam kitab-kitab yang diyakini sebagai kata-kataMu sendiri tentang musibah alam yang dimaknai sebagai hukuman selalu didahului peringatan seorang nabi?

Namun Kau tak menunjuk nabi. Sementara banyak orang merasa seperti nabi yang mengetahui kehendakMu dengan pasti. Dan setelah tahun-tahun berlalu, bangsa ini masih menanggung dosa karena belum juga bangkit dari kebodohan untuk bisa mengantisipasi fenomena alam memakan korban lagi, belum juga mampu belajar dari bangsa-bangsa maju yang lebih siap menghadapi kemungkinan bencana.

Doa kami bagi para korban yang meninggal, semoga jiwa-jiwa mereka tenang dalam pelukanMu. Dan ampuni kami, ampuni aku..



(terinspirasi dari diskusi peringatan tsunami di sebuah milist)

Sunday, January 6, 2008

KORUPSI MEMBUNUH PENGGUNA JALAN

.
Korupsi membunuh bangsa. Slogan yang terasa retoris dan hiperbolis, beberapa minggu lalu saya temukan makna lugasnya. Tempatnya di kantor polisi. Tepatnya waktu mengurus perpanjangan SIM. Setelah berbulan-bulan habis masa berlakunya, saya memilih mengisi hari libur dengan mengurus SIM. Dan dari sini kesadaran berawal..

Tak perlu menunggu beberapa langkah memasuki kantor polisi, di mulut gerbang segera menyambut bapak polisi yang tak saya ingat apa pangkatnya, dengan seragam yang sedikit terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus dan langsung menanyakan maksud kedatangan saya. Segera setelah saya sampaikan, beliau menawarkan untuk membantu dengan proses dipercepat, yaitu tinggal menunggu foto saja, langsung jadi hari ini. Jelas tawaran yang sangat menarik dan segera saya terima, karena tak perlu bolak-balik lagi dan sisa waktu liburan masih bisa dimanfaatkan.

Setelah saya membayar sesuai yang ditentukan kepada seseorang berpakaian preman yang ditunjuk pak polisi tadi, saya duduk menunggu dan melihat-lihat suasana kantor polisi pagi itu yang ternyata cukup ramai. Selain orang-orang yang kira-kira seusia saya atau lebih, banyak juga anak-anak remaja yang mungkin ini kali pertama mereka akan mendapatkan SIM. Dan ini saya pastikan setelah iseng mengobrol dengan beberapa dari mereka. Kebanyakan mereka juga menggunakan jasa calo, yang memang terlihat cukup banyak dan mencolok bersliweran di sekitar ruangan. Para calo ini yang membuat mereka bisa melewati semua persyaratan untuk mendapatkan SIM. Mulai dari test kesehatan sampai dengan ujian teori dan praktek. Persis seperti saya, mereka tinggal duduk menunggu dipanggil foto dan saat itu juga ijin mengendara motor atau menyetir mobil kelar.

Lalu saya membandingkan dengan pengalaman kira-kira 20 tahun yang lalu tentang bagaimana sulitnya mendapatkan SIM untuk pertama kali. Melewati dokter polisi yang terkenal galak, menghapalkan rambu-rambu lalu lintas untuk ujian tertulis, dan mengendara motor membentuk angka delapan. Tiba-tiba saya mulai was-was, sementara para remaja yang berkumpul berkelompok asyik bergurau tertawa-tawa. Adakah diantara mereka yang matanya tidak berfungsi baik untuk layak berkendara? Atau barangkali buta warna? Bagaimana dengan pengetahuan mereka tentang peraturan lalu lintas? Dan seberapa mahir sebenarnya mereka mengemudi? Tak ada yang menjawab. Tapi siapa peduli? Satu pihak diuntungkan dengan proses cepat tanpa syarat, pihak yang lain senang mendapatkan uang lebih. Dan tiap tahun rata-rata 30.000 nyawa melayang di jalanan Indonesia. Kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar nomor tiga. Berapa persen yang disumbang dari proses memperoleh Surat Ijin Mengemudi dengan cara tinggal beli ini? Sedangkan setiap hari jalanan digelontor puluhan bahkan ratusan pengemudi-pengemudi baru yang tidak jelas kecakapannya. Dan siapa peduli?

Korupsi membunuh bangsa. Di jalanan, sering kali korbannya mati seketika. Tidak sekedar memalukan, ini mengerikan. Dan lagi-lagi, siapa peduli? Saya? Sebagai bagian dan pelaku dari sistem yang korup ini, maaf, saya harus segera meninggalkan kantor polisi dan menikmati liburan. Toh, saya sudah mendapatkan sesuai yang saya bayar..

Wednesday, January 2, 2008

RESOLUSI AWAL TAHUN

.
Apa resolusi saya tahun 2008? Tidak terpikir sama sekali sebelumnya. Hanya karena pertanyaan teman, lalu berfikir sejenak untuk menjawab : bekerja lebih baik dan mau rutin berolah raga. Sebuah jawaban relatif spontan yang mengindikasikan semangat kerja yang kurang optimum selama ini dan kemalasan menjaga kebugaran tubuh..

Mengapa ada resolusi awal tahun? Mungkin jawabannya sederhana. Karena ada tahun lama yang berakhir, dan ada tahun baru yang berawal. Dan selalu ada harapan baru di awal yang baru. Atau bisa juga, harapan baru paling pas kalau diletakkan di awal yang baru pula. Meski sang waktu tak peduli dirinya dipetak-petak dan dicacah-cacah, toh beberapa manusia bisa mengambil manfaat dari situ. Dalam bahasa yang lebih lugas: kenikmatan menunda yang menemukan wadahnya.

Setelah seharian tertidur karena semalam ikut-ikutan berkumpul dan terjaga menyambut tahun baru, sore hari di awal tahun ini saya iseng berjalan-jalan keliling kompleks. Meski relatif agak sepi, namun pemandangan tidak terlalu jauh berbeda. Tukang roti berteriak menawarkan dagangan, tukang jahit keliling sedang berlindung di bawah pohon asyik menjahit entah apa, sekelompok anak muda masih bekerja riang mencuci mobil yang berderet antri, tukang ojek yang bersiap mengantar penumpang..

Lalu segera saya mengambil kesimpulan, resolusi awal tahun memang cocok untuk orang-orang yang belum teruji niat, semangat, keikhlasan, dan kesabarannya. Seperti saya..