Friday, February 29, 2008

LOGIKA BAWAH LIMA

.
+ dik fynca blom pernah liat cara bikin martabak kaan.. tuuh.. lucu yaa..
- kok dilempar-lempar kayak bola pak?
+ iya emang gitu biar lebar.. naa.. itu telor bebek dicampur daging dicampur sayur..
- kok kayak muntahannya dik fynca..


:
- pak, dik fynca mau aqua itu yaa..
+ iya.. beli sendiri ya.. ini uangnya..
- eh, pak, kayaknya nggak perlu bayar deh..
+ lhah kenapa?
- kan orangnya yang jual nggak ada disini..
+ enak aja!!


:.
- pak, sepreinya dik fynca bagus deh.. gambar mobil kecil-kecil banyaaaak banget..
+ o iya.. coba dihitung ada berapa
- eee.. tiga puluh lima!
+ waa.. lebih dik! kira-kira.. seratus lima puluh kali seratus.. lima belas ribu.
- lima belas riiiibu?? kayak uang aja..


::
+ lolololo.. fynca nonton apa itu?? itu kan filemnya orang dewasa?
- iya pak nggak papa.. kata mbak aya nanti ada yang ciuuuum... ciuuuum... gitu! hihihi..


::.
- bapak! kemarin kan bapak makan kitkatnya dik fynca
+ iyaa.. bapak kan udah minta maaf.. soalnya bapak nggak tau itu punya dik fynca
- sekarang bapak nggak bisa lagi makan kitkat dik fynca
+ o ya? kenapa emang?
- soalnya semua kitkatnya udah dik fynca tulisin nama dik fynca. F-Y-N-C-A



:::
- pak, surga itu di dalam tanah ya?
+ eee.. kenapa sih dik?
- soalnya kan waktu uwo murti meninggal kata ibu mau pergi ke surga.. ternyata bobo di dalam tanah..


:::.
- pak, tuhan itu lucu banget deh
+ kok lucu? kenapa?
- kan dik fynca berdoa minta adik.. berdoanya seriiing banget tapi adiknya belom lahir-lahir juga
+ iya emang masih lama tar lahirnya
- tapi dik fynca baru berdoa dua kali minta kartu uno.. eh, tau-tau udah dikasih sama ibu..


::::
+ eh, dik fynca kok bongkar-bongkar koran kenapa sih? kan jadi berantakan
- bentar pak.. dik fynca lagi nyari dokumen nih.. buat kerja..


::::.
+ dik fynca kok cantik sih?
- iya dong.. bapaknya ganteeeeng..

(ps. logika yang ini didoktrin oleh bapaknya..)

Tuesday, February 26, 2008

OTHER PEOPLE'S PROBLEM

.
Ning, kamu kan tahu aku orangnya sensitif banget. Jadi nggak perlu aku tunggu kamu ngomong sama aku, aku pasti tahu diri kapan aku harus menjauh dari kamu. Kamu ingat nggak waktu aku nekat nggak peduli sama firasatku, aku jadi terpaksa harus denger langsung kata-kata yang menyakitkan dari mulutmu. Aku nyesel banget waktu itu.. Soalnya sebenernya aku juga udah kerasa. Cuman aku tutupi karena aku lebih mentingin rasa kangenku. Tapi abis itu aku bener-bener janji nggak lagi-lagi cuekin feelingku sendiri.

Mas kok jahat banget sih ngomong gitu? Mas nggak mau ngerti ya aku tuh ...


(Sayang kelanjutan pembicaraan tak terdengar lagi karena perasaan tidak nyaman yang lebih besar dari rasa mau tahu urusan orang membuatku berpindah tempat duduk menjauhi mereka)

Sunday, February 24, 2008

ORDE SUSILA

.
Apa definisi susila? Bisakah ia disepakati bersama dan diseragamkan antar kelompok masyarakat dengan ideologi berbeda?

Draft terbaru dari rancangan undang-undang tentang pornografi -- meskipun tak lagi mengatur secara eksplisit cara berpakaian tiap-tiap warga negara -- menegaskan bahwa ruang publik harus steril dari segala sesuatu yang dapat disugestikan sebagai hal-hal membangkitkan hasrat seksual; karena itulah pornografi. Artinya, setiap orang harus tunduk pada aturan tersebut bahkan sejak dari pikiran, yaitu pikiran yang harus seragam mengenai mana saja yang diasosiasikan dan dikategorikan sebagai pornografi.

Ada perkecualian. Pornografi dibolehkan untuk pertunjukan seni budaya maupun adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual. Artinya, pembuat draft undang-undang ini menganggap seni budaya dan adat istiadat bukanlah sesuatu yang menyatu dan tumbuh berakar dalam masyarakat. Mereka sekedar pertunjukan atau peristiwa, yang harus dilokalisir karena berpotensi mengandung hal-hal yang bisa disugestikan porno.

Wajar jika timbul kecurigaan bahwa perdebatan tentang rancangan undang-undang pornografi adalah lebih kepada pertarungan ideologi dibanding ketulusan niat mencegah dampaknya. Benar bahwa ada generasi yang harus dilindungi. Ada anggota-anggota masyarakat dengan cara pandang moral masing-masing yang harus dihormati. Namun memusnahkan segala sesuatu dengan penyamarataan standar susila, adalah pengingkaran nilai-nilai sejarah, budaya, keberagaman, dan toleransi hidup bersama.

Pertunjukan Sidang Susila yang dimainkan teater Gandrik berdasarkan naskah karya Ayu Utami dan Agus Noor menampilkan kemungkinan paling absurd dari pelaksanaan undang-undang pornografi tersebut, yang ngerinya, tetap saja mungkin terjadi. Seorang tukang balon bertubuh gemuk dan berpayudara subur yang ndilalah suka ngomong jorok, menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi, bahkan termasuk mainan dagangannya.

Sepanjang pertunjukan yang bertaburan kata-kata tentang aurat dan adegan yang bisa disugestikan sebagai perilaku seksual, ternyata hanya membangkitkan hasrat tertawa yang mengejek pikiran cabul. Sebagaimana disimpulkan oleh Utami -- tokoh pengacara perempuan yang dimainkan Butet Kartaredjasa -- bahwa payudara menjadi berasosiasi cabul jika ia diumbar dan dieksploitasi berlebihan, atau sebaliknya, jika ia disembunyikan dan ditutupi dengan ketakutan berlebihan.

Oleh karenanya, saya dukung Ayu Utami yang menyatakan bahwa ini tak sekedar seni, melainkan perjuangan untuk Indonesia yang lebih toleran. Entah bagaimana bentuk dukungannya..

Friday, February 22, 2008

YULIA

.
Perjumpaan ini adalah persinggungan waktu yang kedua. Setelah saat pertama lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Samar-samar aku masih teringat wajahnya. Tapi, apakah dia mengenalku?

Kamu yakin dulu pernah ketemu aku?
Iya lah.. Wajahmu nggak asing kok..
Sama lah..

Gambaran masa lalu muncul lagi di depanku. Mungkin dulu aku sering berpapasan dengannya. Mungkin dia baru keluar kelas saat aku melewatinya menuju kantin. Atau aku sedang duduk bergerombol dan dia berjalan melintasi lapangan upacara. Entahlah.. Tapi jelas memoriku masih menyimpan raut mukanya. Agaknya begitu pula ia mengenaliku.

Aku senang bertemu teman. Aku perlu teman karena terlalu sering di kantor sendirian.
Aku juga senang dong.. Jenuh nih sama keruwetan kerjaan. Tapi males pulang karena di rumah nggak ada siapa-siapa.

Dia adalah jawaban atas undanganku. Atau aku yang menjawab undangannya? Atau mungkin semua ini hanya kebetulan (walau aku tak lagi percaya bahwa kata kebetulan memiliki makna).

Aku nggak minum kopi. Perih perutku dibuatnya. Mungkin karena penyakit maag.
Aku juga nggak minum kopi. Nggak mau aku terlalu lama terjaga saat aku sendiri dan sepi.

Dia sedang perlu teman. Aku juga. Tetapi karena alasan yang berbeda. Sebagaimana kita sama-sama bukan peminum kopi, meski penyebabnya tak sama pula. Dan sungguh mengagumkan, karena ini baru awal dari persamaan-persamaan dengan alasannya sendiri-sendiri. Perhatikan..

Kumantapkan diri untuk menikah, segera setelah aku putus dengan mantan pacarku karena soal perbedaan yang tak ada jawabnya, lalu aku bertemu dengan orang pertama yang mendekatiku.
Hmm.. aku mantap untuk menikah, justru setelah persoalan perbedaan yang tak ada jawabnya tak mau lagi kuanggap sebagai persoalan.

Perkawinanku akan terus kupertahankan. Karena pilihan bercerai sudah kuhapus dari kamus hidupku sejak aku dan kakak adikku mengalami sendiri trauma perceraian orang tua kami.
Perkawinanku juga akan selalu kujaga. Tapi ini sekedar pilihan. Karena aku baru sadar bahwa perceraian bukan lagi hal yang tabu. Menurutku ia sudah menjadi salah satu alternatif pilihan penyelesaian masalah rumah tangga.

Dia terdiam sebentar. Aku juga. Lalu kami bercerita bergantian tentang banyak hal. Masa lalu, sekolah, pasangan, pertemanan, pekerjaan, anak, apa saja. Dan waktu di tempat ini berjalan dengan kecepatan yang tak sama dengan saat aku menjalaninya di ruangan kantorku. Karena aku tak merasa bahwa pertemuan ini sudah jauh lebih lama dari rencana.

Kujabat tangannya sambil tersenyum dan kuucapkan terima kasih. Ia juga tersenyum dan mengucapkan kata yang sama. Lalu aku kembali ke kantor dengan mengingat kembali pertemuan itu.

Tak mau aku jatuh cinta lagi. Karena hanya kepedihan yang kuperoleh.
Sama. Aku juga kapok jatuh cinta lagi.
Kenapa?

Aku diam tak menjawab..

Wednesday, February 20, 2008

IRONI KARTUN NABI

.
Pemuatan kartun nabi yang dilakukan lagi oleh media cetak Denmark, dan lagi-lagi menyulut demo di Jakarta, membuat saya teringat tulisan GM yang mencerahkan tentang ini. Saya lupa judulnya, tapi saya tertarik untuk menuangkan kembali apa yang saya dapat dari membaca tulisannya.

Karikaturis Denmark yang membuat kartun itu, kemungkinan besar bukanlah orang yang mengenal tentang nabi. Dia sama sekali tak punya kapabilitas dan tak pantas bahkan untuk melakukan penghinaan. Sang nabi berada terlalu tinggi dan jauh di luar jangkauannya. Maka besar kemungkinan, karikatur itu sebenarnya adalah ekspresi rasa iri kepada kaum imigran yang berhasil di Denmark, yang kebanyakan beridentitas muslim. Jelas ini adalah isu lokal.

Tetapi jaman sudah berubah. Sebelum manusianya ikut berubah. Gambar yang tercetak di Denmark bisa segera dilihat oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Lalu sebagian umat muslim marah karena merasa terhina. Kemarahan yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat Denmark dan Eropa, sebagaimana banyak umat muslim disini yang tak mampu menjangkau persoalan saudara-saudara muslim di Denmark yang justru makin tertekan dengan kemarahan itu.

Umat muslim dunia menuntut permintaan maaf. Denmark dan Eropa, negara-negara yang pernah mengalami masa-masa suram dimana dominasi agama begitu besar, memilih untuk menolak. Mereka tak mau kembali ke dalam kegelapan masa lampau dimana kebebasan manusia dikalahkan oleh kekuasaan dogma agama. Trauma ini terlalu besar untuk mampu sedikit saja peduli pada umat lain. Suatu keputusan yang tak bisa dimengerti oleh sebagian kaum muslim.

Kusut. Manusia dipermudah teknologi untuk saling berhubungan. Tetapi teknologi juga yang membuat manusia tak sempat benar-benar saling mengenal antar budaya masyarakat dan identitasnya. Dan secara naluriah, keinginan untuk dipahami akan lebih kuat diekspresikan, daripada memahami orang lain apalagi berempati.

Ironi dunia semakin menjadi ketika manusia harus selalu terburu mengambil keputusan namun waktu seolah tak ada lagi karena segera perkembangan baru bermunculan dan terasa begitu cepat. Entah kesalahpahaman seperti ini akan berapa lama bisa diselesaikan. Atau malah berkembang menjadi persoalan baru yang mengerikan untuk dibayangkan..

KEMENANGAN DAUD

(refleksi dari film In the Valley of Elah)

.
Apa yang membuat Daud remaja berhasil mengalahkan Goliath sang raksasa?
Kecerdikan? Tidak cukup. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengeraskan hati.

Seorang tua veteran perang AS bersemangat menceritakan kisah Daud dan Goliath kepada seorang anak kecil bernama David. Orang tua itu -- Hank Deerfield, seorang militer sejati, ayah dari seorang prajurit yang belum juga pulang ke rumah sekembalinya dari tugas di Iraq -- meyakini bahwa terlebih dahulu harus mengalahkan ketakutan, untuk bisa dengan gagah memenangkan pertarungan.

Namun alur cerita berjalan muram. Saya terbawa rasa getirnya mengikuti perjalanan sang ayah mencari tahu mengapa anaknya belum juga pulang yang membuatnya perlahan-lahan mulai menyadari bagaimana perang telah mengubah jiwa sang anak. Ayah yang malu mendengar anaknya menangis saat menelpon untuk mengadu dan minta pertolongan karena baru mengalami peristiwa yang mengguncang nurani, ternyata sebenar-benarnya tak mengenali anaknya lagi. Suasana perang berkepanjangan membentuk jiwa prajurit-prajurit belia menjadi mahluk bengis dan beringas yang tak punya empati apalagi sopan santun, lari dari kenyataan dengan mabuk minuman dan narkoba, bangga dan tertawa menikmati penderitaan dan jerit kesakitan.

Hank terlambat untuk menyelamatkan anaknya. Ia hanya menjadi sadar, bahwa negaranya yang memilih jalan perang dengan alasan menyebar demokrasi demi perdamaian dunia, adalah bangsa yang sakit dan membutuhkan pertolongan segera.

Lalu siapa yang salah? Ketika Hank baru selesai menceritakan kepada David bagaimana Daud berhasil membunuh Goliath di lembah Elah hanya dengan bersenjata ketapel, ibunda David mengatakan bahwa kisah itu tak mungkin benar-benar terjadi. Tetapi Hank segera membantah. Katanya, kisah ini ada dalam kitab-kitab suci. Injil dan Qur'an.

Mungkin pilihan untuk berperang maupun menebar teror memang benar dilandasi keyakinan restu Tuhan. Mungkin gambaran Tuhan dalam agama Ibrahimi memang Tuhan yang sering menunjukkan kuasa dan eksistensi diri dengan memberi kemenangan bertempur kepada umat pilihanNya. Lalu terngiang kuat di kepala saya tentang nasehat guru SD saya, seorang jawa tulen beragama abangan. "Tuhan itu bersemayam di dalam setiap hati nurani. Tugas manusia adalah menjaga hati nuraninya agar selalu peka, lembut, dan tidak dikaburkan oleh nafsu dan angkara murka.."

Sunday, February 17, 2008

WASPADA PERKAWINAN

.
Bilakah ikatan perkawinan berakhir? Hingga kematian memisahkan?
Kematian apa? Kematian raga? Kematian jiwa? Kematian cinta? Kematian asa?

Dua insan yang sedang jatuh cinta berada di dunia maya digiring oleh naluri dan impian berbunga-bunga untuk saling menyatukan diri. Kemudian seolah-olah lahir kesadaran baru bahwa jiwa adalah sesuatu yang ditakdirkan tak utuh dan karenanya membutuhkan pasangan setia sampai akhir tiba. Lalu janji setia menjadi begitu indah dan ideal.

Mungkin dalam suasana inilah konsep perkawinan dirumuskan. Ia selalu indah. Dan ideal. Maka sebagaimana layaknya segala hal yang indah dan ideal, ia harus berlaku universal. Namun manusia menghidupi dirinya dalam dunia yang ironis. Menjalani lakon yang tak pernah sempurna tanpa merasa perlu beradaptasi. Tak mampu menghindar dari perubahan namun selalu memuja kepastian. Mengamini konsep yang begitu mengawang lalu menjadi sinis pada kelemahan sendiri.

Beberapa waktu belakangan ini saya merasakan makna dari kisah-kisah tentang betapa rapuhnya keindahan perkawinan, dan betapa kokoh konstruksi sistemnya pada saat bersamaan. Ketika tiba saatnya cinta dan komitmen bukan lagi pernyataan hati yang paling pribadi, ia menjadi strategi untung rugi dan pemuas tuntutan sosial untuk mempertahankan sistem yang seharusnya ditujukan bagi kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Sulit saya membayangkan bagaimana rasanya hidup perkawinan dengan kesepakatan kontrak yang diperdebatkan lewat pengadilan yang sudah fitrahnya menafikan segala subyektivitas. Bukankah perkawinan seharusnya adalah harmonisasi dua subyek?

Saya tidak tahu bagaimana merumuskannya. Tetapi saya disadarkan bahwa kita kini hidup di masa dimana dogma dan ancaman dosa tak lagi mampu menghentikan daya kritis dan tawaran atas pilihan-pilihan. Maka mempertahankan perkawinanpun tak lagi serta-merta atau 'menyerahkan pada Yang Di Atas'; sesuatu yang terasa mengagumkan dan nyaman di telinga tapi sebenarnya tak memiliki nilai pragmatis solutif apapun karena sering berarti menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Perkawinan, sebagaimana tujuan manusia yang lain, harus dijaga dengan niat dan kewaspadaan. Ia layak untuk dipertahankan, justru karena selalu ada pilihan sebaliknya. Sebagaimana kedamaian yang harus dijaga dengan terus-menerus bersiap perang, menjaga perkawinan adalah keputusan untuk senantiasa meniupkan nyawa api kehidupannya. Menyadari dan mengkalkulasi kenikmatan yang diperoleh agar tetap tenang namun siaga menghadapi setiap masalah, baik yang datang perlahan-lahan maupun tiba-tiba. Atau kita akan terkejut dan tergagap. Seperti tulisan yang saya baca di pintu lintasan kereta api di satu sudut kota Depok : "Selalu waspada. Jangan sampai nyawa anda lewat saat kereta lewat.".

Thursday, February 14, 2008

WAS VALENTINE A SAINT?

.
Benarkah Valentine seorang santo? Benarkah dia adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk kemuliaan cinta dari Sang Penciptanya? Jangan-jangan dia bahkan tak pernah ada. Jangan-jangan dia hanyalah tokoh rekaan karangan pemuka-pemuka agama di jaman awal untuk mengalihkan kebiasaan masyarakat setempat saat itu.

Apakah kita benar-benar memerlukan satu hari khusus untuk memperingati kasih sayang? Bukankah seharusnya ia dirayakan setiap hari? Belum lagi situasi saat ini yang tak mau melewatkan setiap momen lolos dari kalkulasi untung rugi. Lihatlah hari ini kasih sayang bisa dikemas dalam produk aneka rupa berwarna pink atau cokelat dan bisa dipilih -- tentu saja lalu dibeli --tanpa perlu ditanya apa maknanya.

Saya tidak tertarik untuk ikut menjadikan hari ini sebagai hari spesial. Meskipun masih tetap tersenyum getir saat membaca bahwa Pemda Bukittinggi sampai melarang adanya perayaan dan mengancam untuk menangkapi muda-mudi yang dicurigai melanggar, dengan tuduhan kemaksiatan. Mungkin para pejabat disana layaknya orang tua yang tersinggung harga dirinya karena kemauan sang anak lalu emosi menggelapkan akal sehat dan tak malu-malu mengeluarkan senjata pamungkas kekuasaan : pokoknya tidak boleh! kalau nekad, awas!
Betapa sulitnya menjadi orang tua, apalagi yang hidup di dunianya sendiri yang terus menyempit dan menua.

Begitulah pagi hari ini adalah pagi biasa. Duduk membaca surat kabar sambil menonton berita. Sampai kemudian saya lihat anak saya yang baru bangun tidur dengan rambut masih acak-acakan dan sisa liur mengering dipipinya, berjalan ke arah saya dengan melipat tangan di punggung. "I love you, Bapak Daniel.." katanya sambil mencium pipi saya dan menyerahkan sekotak cokelat. Belum utuh datang kesadaran, isteri ikut mencium dan berbisik bahwa anak saya yang memaksa untuk beli cokelat buat bapaknya. Mungkin saran dari gurunya..

Lalu kami berangkulan sambil tertawa-tawa. Dalam hati saya berkata: Santo Valentine, kamu mungkin bukan benar-benar santo. Atau mungkin malah kamu tak benar-benar ada. Tapi kehangatan yang kau datangkan pagi ini adalah benar-benar nyata kami rasa. Terima kasih mas (atau mbak) Valentine! Selamat merayakan dan berbagi kasih sayang untuk semua..

Tuesday, February 12, 2008

SOLUSI BANJIR

.
Banjir sudah dua kali mengunjungi rumah kami. Yang pertama adalah awal tahun 2002. Saat itu saya belum mengerti apa itu banjir. Terlebih saya juga belum memahami bagaimana itu mengurus rumah tangga sendiri. Yang saya tahu, saya sudah menikah, jadi mau tak mau harus meninggalkan kamar kos ternyaman yang sudah 7 tahun memeluk saya dan pindah ke rumah baru bersama istri. Saya kuras isi kamar kos dan dipindah dalam beberapa kardus kemudian saya sebar di lantai rumah baru. Karena biasa tinggal di kos yang semua sudah tersedia, kami jadi belum punya perabot sama sekali, bahkan lemari pakaian sekalipun. Rencananya setiap akhir minggu atau kapan ada kesempatan, kami berniat merapikan rumah sedikit demi sedikit.

Seolah membaca rencana kami, tamu itu bergegas datang. Mungkin di siang atau sore hari. Kami tak tahu karena kami masih di kantor. Dan tetangga juga belum ada yang kenal apalagi bertukar nomer telepon. Pulang dari kantor, keadaan gelap gulita karena listrik mati. Dengan lampu senter kami menyaksikan barang-barang terendam dan sebagian terapung-apung dalam genangan air setinggi kira-kira 30 cm di dalam rumah. Setelah kaget dan bengong beberapa saat, akhirnya kami tertawa-tawa. Geli sejadi-jadinya dan makin jadi ketika ternyata masing-masing tak tahu apa pula yang ditertawakan. Akhirnya saya bilang, terima kasih.. sudah bantuin jadi kami nggak repot-repot memilih barang-barang mana yang harus dibuang..

Kunjungan kedua adalah di tahun 2007, pada bulan yang sama. Kali ini kami lebih siap. Meskipun tetangga -- banyak tetangga baru karena penjualan rumah di kompleks kami meningkat pesat sejak ada pengembang baru -- begitu percaya pada janji pengembang yang bilang sudah mengantisipasi puncak curah hujan. Tapi apalah artinya bersiap-siap. Keadaan sudah berbeda. Manusia ternyata seperti burung yang menyusun sarangnya. Hari demi hari satu demi satu barang-barang dimasukkan dan ditumpuk di dalam rumah meski banyak yang tak jelas gunanya. Dan saat badan sudah capek mengangkat-angkat dan menyelamatkan yang terutama, sisanya serahkan pada sang tamu yang sudah tak sabar hendak melahap. Lebih enak ngumpul bersama tetangga membahas bagaimana seharusnya mencegah banjir yang begitu asyik didiskusikan tapi sayangnya kesimpulannya tidak pernah disampaikan kepada sang banjir jadi tetap saja ia datang.

Awal tahun 2008 ini, semua orang kembali bersiap. Tapi rupanya pengembang kami sudah jauh lebih waspada. Tampaknya mereka tak mau lagi rugi karena penjualan jatuh gara-gara banjir. Sudah disiapkan tembok pembendung di sekeliling kompleks dan 2 buah pompa kapasitas besar untuk membuang air dari waduk buatan ke sungai belakang kompleks. Dan benar saja, ketika hujan sangat deras tumpah dalam jangka waktu melebihi sehari semalam, kompleks kami masih kering. Saya dengan tenang berangkat ke kantor meski agak siang karena memantau proses pembuangan air waduk.

Di tengah jalan, di depan kompleks perumahan sebelah, saya bertemu teman saya. Tangannya kanan kiri menjinjing tas-tas besar dan celananya digulung ke atas dengan ketinggian melebihi ukuran kepantasan. Saya berhenti. Dia duluan yang bertanya.

Ngungsi Pak..?
Eeee.. sebentar lagi mungkin Pak.
Iya nih.. Biasanya hujan segini air belum naik tuh.. Kok sekarang udah tinggi ya?
Eeee.. mungkin gara-gara air dari waduk kompleks saya yang dipompa ke sungai belakang perumahan kita ya Pak?

Dia diam saja tak menjawab. Saya juga tak menunggunya. Karena pertanyaan terakhir saya ucapkan hanya dalam hati saja. Lalu saya berpamitan. Dia susah payah melambaikan tangan karena terganggu barang bawaannya. Saya berjalan pelan sambil terus memperhatikannya melalui kaca spion. Ada rasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Solusi banjir seharusnya dipikirkan bersama, dari hulu ke hilir. Tapi kalo tak ada yang memikirkan secara komprehensif, apakah tidak boleh masing-masing kelompok mencari selamat sendiri? Meski mau tak mau harus di atas penderitaan orang lain.

Beberapa hari yang lalu,seorang teman lain dari sebelah kompleks dengan girang bercerita. Calon walikota Bekasi berkampanye di perumahannya. Kalau menang di perumahan ini dan jadi walikota, dia akan buatkan solusi banjir disini. Saya langsung dag-dig-dug. Wah, jangan-jangan gantian dia pompa airnya masuk ke kompleks kami. Diam-diam saya berdoa. Dan seperti yang selalu saya percaya, doa yang jarang dipakai ternyata awet khasiatnya. Sang calon walikota kalah telak meski menang di kompleks tetangga..

Monday, February 11, 2008

PERJAMUAN TERAKHIR SOEHARTO

.

Mantan presiden Soeharto pasti akan meninggal. Orang-orang membayangkan bahwa saat masih cukup sehat, dia mengumpulkan anak-anaknya dan memberi wejangan-wejangan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan setelah dia meninggal. Peristiwa ini lebih enak jika digambarkan dilakukan sambil santap makan bersama.

Kemudian Soeharto benar-benar meninggal. Dan majalah Tempo menggambarkan perjamuan terakhirnya dengan mengadopsi lukisan perjamuan terakhir Yesus bersama para muridnya sebelum ia meninggal yang direka oleh Leonardo Da Vinci, dengan mengganti tokoh Yesus dengan Soeharto dan para murid digantikan anak-anaknya.

Sudah. Itu saja yang saya tangkap ketika melihat cover majalah Tempo terbaru. Tidak terpikir untuk menyamakan kisah hidup Soeharto dengan riwayat Yesus, sebagaimana saya percaya hal itu juga tidak terpikirkan oleh para redaktur majalah Tempo.

Namun ternyata beberapa orang marah. Mungkin ada dalam perasaan dan egonya yang tertohok oleh rasa tersinggung, dan ajaibnya -- atau konyolnya -- serta merta menyamakan bahwa ego Yesus sang anak manusia pasti akan terguncang juga. Saya tersenyum. Tetapi ini nyata. Kemarahan dan protes itu berhasil memaksa Tempo untuk harus meminta maaf.

Seorang di mailing-list yang merasa heran berteori tentang kecurigaan bahwa protes ini didalangi keluarga cendana yang tidak suka dengan pemberitaan majalah Tempo. Kembali saya tersenyum. Mengapa tidak sekalian mencurigai Amerika atau Yahudi sebagaimana biasa? Keheranan mungkin adalah alat untuk segera berkaca. Bagaimana ajaran lebih mudah dan praktis untuk menjadi ego daripada dilaksanakan. Bagaimana hari ini masih banyak orang lebih meyakini bahwa identitaslah yang menjamin kelapangan jalan menuju kenikmatan abadi, dibanding perenungan dan kesadaran senantiasa. Maka oleh karenanya harus dibela dengan segala cara.

Dan agaknya konsep manusia tentang Tuhan, semaha apapun kasih dan ampunNya, tak akan pernah bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Bukan Tuhan jika kekuasaanNya tak mutlak dan lalu pengikutnya tak merasa berhak menikmati tetesan-tetesan kemutlakan kekuatanNya. Bahkan Tuhan yang didaku oleh sesosok manusia lemah sekalipun. Seorang pria muda yang getaran cemas tubuhnya melinangkan darah dari pori-pori kulitnya saat berperang melawan keakuan dan ketakutan, kemudian mati hina dirajam cambukan dalam tusukan paku dan tombak di tubuhnya. Dari sudut pandang ini, parodi Tempo yang membandingkan Soeharto dengan Yesus memberi makna lain. Kali ini saya -- yang mengaku melihat Tuhan dalam diri manusia yang teraniaya itu -- ikut tersindir..

Wednesday, February 6, 2008

MENJADI TUA

.
Apakah tua? Perjalanan waktu di luar manusia? ataukah bara semangat yang makin mereda?

Kutatap wajahnya. Keriput yang memenuhi tak berarti apa-apa. Tetapi sinar mata yang tak lagi terang memancar seperti dahulu membuatku tersadar; ia telah menjadi tua.

Aku merasa sudah tak lagi dibutuhkan, katanya. Ah, selama anugerah hidup masih diberikan, selalu ada tugas yang belum diselesaikan, dan itu adalah tugas mulia untuk dirasakan orang di sekitar. Aku pun tak tahu apa. Mungkin kita memang tidak diberi hak untuk mengetahui. Dan selama kesadaran masih melekat, kita ditugaskan untuk terus mencari. Begitu kataku.

Mungkin kamu benar, jawabnya setelah beberapa lama terdiam dan tetap menerawang. Aku merasa itu adalah jawaban untuk menyuruhku diam. Dan menghentikan percakapan. Aku merasa kata-kataku tak mengubahnya sedikitpun.

Akhirnya aku memilih ikut terdiam. Lalu samar-samar kulihat gambaran dirinya beberapa puluh tahun lalu. Sosok tegar yang selalu percaya diri dan penuh semangat beraktivitas. Sedangkan aku adalah bocah rapuh yang selalu membutuhkannya. Dan dia memang orang yang tepat yang selalu ada. Baginya akulah yang utama. Saat aku disingkirkan, ketakutan, jatuh terkapar, dan penuh kebimbangan, kepadanyalah aku datang. Atau lebih tepat, dia yang selalu mendatangiku. Pernah aku sakit berbulan-bulan. Ia meninggalkan seluruh kesibukannya untuk menungguiku sampai sembuh. Ia pula orang pertama yang kuberitahu dan kemudian memahami dan membelaku, saat kusampaikan niatku untuk menikahi seseorang yang memutuskan meninggalkan keluarganya demi aku.

Kemudian cerita berubah dan terpusat pada diriku sendiri. Tentu aku tak melupakannya. Tapi terasa jelas aku jarang memikirkannya. Hingga datang berita bahwa keadaan genting karena ia sedang bertaruh nyawa setelah ditemukan kanker ganas di tubuhnya. Segera aku menemuinya. Ia baru terbangun dan tersenyum. Kupegang dahinya dan tersenyum lebar seolah tak ada apa-apa. Meski aku berjuang keras mengalahkan ketakutan melihat selang-selang di sana-sini dan sebungkus plastik yang memerah karena menampung aliran darah dari dadanya yang rapat terbebat. Engkau akan segera sembuh, kataku meyakinkannya. Dan meyakinkan diriku sendiri. Ia masih tersenyum. Lalu malamnya aku berdoa. Benar-benar berdoa. Entah kapan terakhir hal ini kulakukan; berbicara pada sesuatu yang selama ini kuletakkan di tempat yang jauh. Aku meminta keajaiban, entah bagaimana caranya. Karena aku belum siap ditinggalkan. Dan mukzizat memang terjadi. Ia sembuh. Bisa jadi karena doaku yang jarang kugunakan hingga bertahan khasiatnya. Namun ternyata ia tidak sepenuhnya pulih. Setidaknya, ada yang berubah: menjadi tua. Ya, jiwanya menua dan merapuh. Seolah-olah selalu cemas bersiap menunggu berita buruk.

Aku ikut cemas. Tapi aku tahu aku tak mampu menjangkaunya. Karena aku tidak bisa berada dalam posisinya, bahkan dalam imajinasi sekalipun. Mungkin jika nanti aku mampu bertahan melayang dalam tiupan angin waktu dan aku sampai disana, aku akan bisa memahaminya. Sekarang biarkan aku lakukan dan sampaikan beberapa hal yang menurutku akan mengembalikannya. Meski sekedar menurut pendapatku sendiri, bukan dia. Tak apa. Kucoba terus saja. Atas nama penghormatan dan tulus cinta..

Sunday, February 3, 2008

TENTANG AKHLAK

.
Suatu sore di depan loket transjakarta, kubaca tulisan yang tertempel di kaca jendela, tentang contoh-contoh perilaku yang tidak menghargai petugas. Diantaranya: tidak membalas senyuman, mengetok-ngetok kaca dengan keras, dan memberikan uang dengan cara melempar. Ada perasaan malu dan tidak enak mengapa hal-hal seperti itu sampai perlu ditulis dan diumumkan. Mungkin memang berdasarkan pengalaman selama pengoperasian busway, karena seingatku di periode awal tak ada tulisan itu. Maka akupun memasang senyum terbaik yang aku bisa sambil dengan perlahan kuletakkan uang di mulut loket, meski ternyata petugas loket tak juga melihat ke arahku apalagi tersenyum..

Di satu surat pembaca sebuah surat kabar, kubaca seorang ibu muda yang menyarankan kepada pengelola transjakarta untuk membuang saja petunjuk di bangku khusus orang tua dan ibu hamil di dalam bis. Karena selalu saja orang-orang tetap duduk acuh tak acuh di bangku khusus tersebut meskipun di dekatnya berdiri orang tua atau ibu-ibu hamil. Hal itu bahkan sudah diperhatikannya jauh sebelum sekarang ini saat ia sendiri hamil.

Suatu siang aku berhenti di lampu merah Kalimalang. Mobil di belakangku terus menglakson berulang-ulang. Jelas sangat mengganggu. Meski jalanan relatif sepi, tapi jika itu berarti menyuruhku untuk melanggar lampu merah maka seberapa keras dan lama ia memencet tombol klakson, usahanya pasti akan sia-sia. Ketika lampu beralih hijau, dan baru aku mulai berjalan, mobil dibelakang itu menyalibku dengan kasar dan penumpangnya meneriakkan kata makian kepadaku.

Di hari libur, aku berniat mengajari anakku untuk membayar sendiri barang belanjaannya. Kuminta ia antri sambil memegang belanjaan dan uangnya erat-erat. Saat gilirannya tiba, mendadak seorang ibu menyodok anakku dengan meletakkan belanjaan di depan kasir. Anakku bingung, lalu aku segera mendekat dan kujelaskan bahwa anakku telah antri lebih dulu. Ibu itu -- yang berdandan rapi dan sopan -- mengangkat kembali belanjaannya tanpa mengatakan apapun dan sambil membuang muka sama sekali tak melihat kepadaku atau anakku.

Di televisi aku menyaksikan bagaimana para pedagang menggunakan segala cara agar dagangannya cepat laku dan mendapat untung lebih besar. Buah-buahan yang diwarna seolah segar cerah, tahu tempe ikan dan mie yang diawetkan dengan formalin yang sangat membahayakan kesehatan, timbangan yang diganjal, ayam dan sapi yang diglonggong air untuk menambah berat, bahkan daging celeng yang disamarkan diantara tumpukan daging sapi.

Aku setuju bahwa bangsa ini sedang mengalami kemerosotan akhlak dan moral, seperti yang sering diteriakkan para pemuka-pemuka agama dengan wajah garang. Tapi bagaimana solusinya? Tak sengaja aku melihat di layar televisi seorang ahli agama sedang berbicara dengan serius, yang membuatku berhenti di depannya sambil ikut serius memperhatikan. Ternyata sang ahli agama itu sedang membahas detail dalil-dalil dan perbandingan data-data sejarah untuk menyimpulkan halal atau haram bila seorang perempuan hendak menanam bulu mata buatan. Halaah...