Sunday, March 30, 2008

NURANI BERAGAMA

.
Apa yang diajarkan dalam pendidikan agama sekarang ini?

Masihkah disampaikan bahwa saling mengasihi dan menghormati sesama manusia adalah intinya?
Masihkah 'tolong', 'maaf', dan 'terima kasih' adalah kata-kata yang menurut ajaran agama seharusnya paling sering diucapkan?
Masihkah terus-menerus diingatkan, bahwa peka terhadap penderitaan sesama adalah awal dari amal kebaikan yang tak akan dilupakan Tuhan?
Dan masihkah taat beragama berarti menjaga hati dari kebencian, kesombongan, dan nafsu menghakimi?

***

Indonesia sedang dilanda banyak persoalan. Korupsi tak kunjung henti karena integritas pemimpin berada di titik nadir, fenomena alam menjadi bencana tak teratasi, kemiskinan yang membunuh ibu dan anak-anaknya mulai menjadi gejala sosial, dan masih banyak lagi. Kelompok fundamentalis agama sering meneriakkan kesimpulan cepat, bahwa semua adalah hukuman Tuhan karena bangsa ini meninggalkan aturan-aturanNya. Saya mencemaskan diri saya sendiri karena mulai berpikir jangan-jangan mereka benar.

Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan bangsaku?


(refleksi pribadi dari sebuah diskusi di satu milis)

Friday, March 28, 2008

WASPADA PERCERAIAN

.
Al dan De bercerai. Pasangan yang kemesraannya membuat iri teman-teman sejak dari kuliah, dan aroma 'til death do us apart'-nya sudah tercium jauh sebelum mereka menikah, akhirnya bersepakat memutuskan berpisah.

De sudah jadi pejabat. Mungkin malu punya suami yang lebih suka jadi pengusaha kecil yang bisnisnya supply dagangan ke pasar-pasar tradisional.

Fa dan Er juga bercerai. Er memutuskan menikah dengan janda selingkuhannya meski Fa sudah berkali-kali memaafkan Er asal dia mau berhenti selingkuh dan kembali ke keluarganya.

Fa terlalu muda dan riang untuk Er yang dewasa dan selalu serius. Mungkin juga karena situasi pekerjaan yang membuat mereka sering berjauhan.

Aku juga punya cerita. Temanku Yo menceraikan Iv begitu saja. Tanpa detail penjelasan. Yo memohon pengertian Iv untuk mau berpisah karena dia sudah capek bertahan pada sesuatu yang kian lama kian disadari bahwa ide yang mendasarinya adalah kekeliruan semata, meski dia tak mampu menjabarkan dengan jelas. Dan Iv menyetujuinya. Bisa jadi karena terpaksa pada awalnya. Tapi kini diapun akhirnya berbahagia setelah berhasil membiarkan kesadaran mencerahkannya. Setidaknya begitu ceritanya kepadaku.

"Kenapa ya kok jadinya pada begitu?"

Demikian pertanyaan teman saya, saat kita ngobrol berdua tentang masa lalu dan hari ini. Mungkin dia sebenarnya bertanya pada dirinya sendiri. Tapi saya merasa perlu menjawab.

"Ya harus gimana lagi.. Perkawinan, sebagaimana keputusan-keputusan lain yang tiap kali harus kita ambil, juga bisa salah. Kita tak akan pernah tahu persis apa masalah mereka. Tapi mungkin mereka sudah sangat yakin akan kesalahan keputusannya lalu menguatkan diri untuk memilih jalan yang dirasa lebih benar. Hidup cuma sekali toh?"

"Bukankah perceraian dibenci? Bahkan ada yang mengharamkan?"

"Mungkin saja. Tapi gimana kalo pasangan kita sudah jelas-jelas nggak berminat lagi dengan kita? Atau sebaliknya? Dan apa gunanya janji akan surga, yang masih berupa harapan tanpa kepastian, sementara neraka yang dihadirkan saat ini begitu nyata?"

Lalu perdebatan-perdebatan kecil terjadi. Kadang-kadang karena memang ada perbedaan pemikiran dan cara pandang terhadap kehidupan dan aturan-aturannya, tapi lebih sering malah prinsip asal beda supaya suasana menjadi lebih riuh.

"Ah, sudahlah.. Bosan aku membicarakan perkawinan nggak ada ujungnya. Yang penting ada keterbukaan sama pasangan, trus hubungan dibawa asyik terus, menurutku sudah cukup. Eh, gimana kalo kita kumpul-kumpul lagi sama temen-temen lama? Kita undang aja ketemuan di Bandung gitu. Setuju nggak?"

"Ayo.. Aku mau banget! Kalo perlu bawa juga pasangan masing-masing biar saling kenal."

"Gak usah! Malah nggak asik!"

"Hmm.. Tanda-tanda nih.."

"Hahaha.."


Pertemuan sore itu lumayan menyegarkan pikiran. Bertemu dan ngobrol dengan teman lama memang selalu membawa kegairahan tersendiri, meski topiknya sedikit menjadi ganjalan dan membuat tercenung. Saya berniat langsung kembali ke Jakarta seusai pertemuan tersebut, saat dering telepon mengagetkan lamunan. Ternyata anak saya yang menelepon.

"Cepet pulang ya Paaak.. Nanti Bapak pasti kaget.. hihihi.."


Sambil berbisik di telepon istri saya menjelaskan bahwa anak saya hari ini berlatih keras melancarkan permainannya 'Ode to Joy' dan 'Good Morning' untuk dipamerkan ke bapaknya. Terbayang wajah anak saya yang bulat dengan mata nakal berkilat. Dan isteri saya yang meski sering tak sabar menghadapi anaknya namun begitu jelas cintanya. Saya tak bisa menggambarkan perasaan apa yang muncul dalam hati, tapi segera saya balik lagi masuk kota untuk membeli oleh-oleh.

"Tumben banget perhatian.. Nggak dipesenin tetep beli oleh-oleh. Biasanya dipesenin aja nggak pernah inget.."

Istri saya mengucapkan terima kasih dengan gaya bercanda. Saya diam saja. Memang biasanya sejauh apapun saya pergi, tak pernah saya membeli oleh-oleh kalau tidak ada pesanan yang jelas. Tapi hari ini saya sedang waspada akan bahaya kehilangan. Dan saya tak mau menunggu itu benar-benar terjadi sebelum bisa menghargai dan mempertahankan apa yang telah saya miliki. Jadi perhatian kecil ini bukan buat kamu. Ini adalah pamrih untuk sedikit menambah sisi baikku. Untuk jadi sekedar tambahan bahan pertimbangan, jika nanti -- aku belum bisa membayangkan apa itu tapi tetap saja mungkin terjadi -- suatu saat kamu berada pada posisi kebimbangan untuk melanjutkan perkawinan ini atau meninggalkanku..

Wednesday, March 26, 2008

NARSIS AKUT

.
Cantik -- dan ganteng -- kata orang itu relatif. Maka kali ini mohon ijinkan saya untuk sejenak berbahagia menikmati relativitasnya.

Setelah entah kapan terakhir hal seperti ini pernah terjadi, kemarin dalam pertemuan bisnis kurang lebih satu jam, seorang perempuan memuji saya sebanyak tiga kali.

Ada juga ya cowok manis ngurusin bisnis begini.. Hihihi..
(satu)
Kok kamu beruntung banget bisa dapat partner bagus sih? I think it's because you're good looking.. Hehehe..
(dua)
Aku paksain dateng nih karena nggak enak sama oom X.. Untung ketemunya pemandangan menarik.. Hahaha..
(tiga)

Sebenarnya telinga saya agak risih mendengar logika di sela tawa si mbak ini. Dan rasanya juga kurang nyaman dipanggil 'kamu' oleh perempuan yang saya yakin tidak lebih tua dari saya. Tapi saya tidak mau merusak suasana. Ini adalah sore yang cerah dimana saya adalah remaja yang sedang berbunga-bunga karena di antara sekian (seratus? dua ratus? seribu? entahlah..) wanita, dan setelah sekian lama (lebih dari lima tahun seingat saya), akhirnya saya beruntung mendapat kesempatan bertemu dengan satu orang yang ada sesuatu di matanya hingga bisa melihat keindahan pada diri saya. Kata-kata dan bahasa tubuhnya menyenangkan. Penampilan fisik dan wangi parfumnya juga menyegarkan. Jadi mending berprasangka baik: si mbak memang humoris dan benar-benar menganggap saya masih muda.

Sampai di rumah saya melihat diri sendiri di depan cermin. Lalu saya tanya istri apakah saya ini ganteng atau tidak. "Enggaaaaak.." jawabnya dengan gaya menjengkelkan. Tapi kali ini tak mempan. Saya tetap tersenyum menikmati cermin. Saat merapikan rambut, saya tersadar bahwa uban di kepala ternyata sudah cukup banyak tersembunyi di sela-sela rambut hitam. Mana panjang-panjang sebahu mirip nenek-nenek di kampung. Waduh! "Kamu bisa nyemir rambut? Tolong dong banyak uban nih.." kata saya kepada istri. "Bisa dong." jawabnya. "Dari dulu aku tawarin kamu nggak mau. Katanya uban lambang kebijaksanaan.. hahaha.."

Hmm.. Ganteng dan bijaksana.. What a combination! Saya tersenyum puas di depan cermin sambil mengelus-elus rambut. "Kenapa nyengir sendiri? Kayak orang gila.. " kata istri. Gila? Kok saya jadi agak tersinggung ya? Atau mungkin saya memang dalam proses gila? Wong baru dipuji satu orang, itu juga belum tentu serius atau bercanda, dan bisa jadi semua cowok yang baru dikenal dia puji ganteng, lha kok sudah narsis akut merasa ganteng sekelas Brad Pitt. Ah biar sajalah. Ada kesempatan narsis kenapa harus dilewatkan. Tapi mendadak dada saya jadi deg-degan mengingat rencana pertemuan lanjutan dengan si mbak humoris dan wangi minggu depan. Mudah-mudahan deg-degan ini adalah tanda bahwa saya belum benar-benar gila. Mudah-mudahan..

Sunday, March 23, 2008

BUMI DAN MANUSIA



.
Manusia -- meski cepat atau lambat akan menemui ajalnya -- selalu berusaha memanjangkan usia. Tidakkah demikian pula kewajibannya terhadap bumi?

Seiring waktu yang berjalan lurus tak terbengkokkan oleh kesadaran, iman, agama, pemikiran, maupun imajinasi, bumi terus menua. Dan merenta. Sebagaimana penghuninya, ia adalah bagian dari kehidupan fana yang harus berujung pada kematian. Maka kecemasan, jika ada, seharusnya bukanlah sekedar naluri survivalitas, tetapi adalah bagian dari moralitas yang didasari keyakinan bahwa kematian semesta bukanlah akhir perjalanan.

Bumi semakin rapuh. Potensi energinya diubah menjadi tenaga penghancur yang membakar dirinya sendiri. Kesuburannya merosot eksponensial terhadap waktu disesap akar-akar tanaman yang dikonsumsi kerakusan manusia baik secara langsung maupun melalui binatang ternak dan produksi energi alternatif. Pembabatan hutan besar-besaran menurunkan tajam produksi oksigen bersamaan dengan suhu yang memanas terjebak dalam atmosfer yang kian tercemar. Manusia mempercepat kematian bumi. Namun bisakah ini semua dihentikan? Ketika Thomas Alfa Edison -- penemu listrik -- wafat, dan dunia berniat sejenak berhenti memakai listrik untuk menghormatinya, mereka baru sadar bahwa listrik kini bukan lagi sekadar temuan melainkan alat pacu jantung bagi kehidupan masyarakat modern agar tetap bisa selalu berdenyut.

Maka bumi dan manusia memang hanya sedang menjalani takdirnya, meski ini adalah kenyataan yang tidak nyaman. Namun toh takdir tak seluruhnya misteri. Hukum Tuhan terbuka atas kemungkinan disingkap helai demi helai untuk mengintip secuil kemungkinan masa depan. Bahkan anjingpun bisa lebih dulu lari sebelum anak-anak mengayunkan batu ke arahnya, dan monyet bisa menghindarkan kepalanya dari buah kelapa yang jatuh ditarik gravitasi ke tanah. Oleh karenanya manusia -- saya dan anda --berkewajiban untuk terus berupaya menawar takdir waktu kematian. Baik kematian diri maupun generasi penerus. Juga kematian bumi yang diinjak bersama. Bukan untuk keabadian, sama sekali bukan. Tapi lebih kepada mengejawantahkan dan mengoptimalkan rasa syukur atas segala kenikmatan, dan pertanggungjawaban iman kalau-kalau nanti Sang Pencipta mempertanyakan.

Stop global warming. Keep mother nature green. For our children.

Wednesday, March 19, 2008

AGAMA PARA SAHABAT

.
Sudah sangat lama saya mengenalnya. Mungkin sejak saya mengenal diri saya sendiri. Ia ada dalam diri kawan-kawan kecil sepermainan, ada juga sebagian saudara. Tapi seingat saya, saat itu tak pernah saya serius memikirkan perbedaan itu kecuali dalam kacamata riang. Bermain air wudu bersama, tidur-tiduran di masjid yang adem, sewa komik ramai-ramai sambil menunggu buka, dan ikut-ikutan antri kolak. Tak ada yang bertanya. Dan tak ada pula yang saya tanyakan.

Hingga saat SMA, sahabat saya seorang arab keturunan Yaman bertanya. "Menurut agamamu, aku bisa masuk surga nggak?". Saya jawab bercanda,"Asal kamu nggak kebanyakan baca cerita porno dan nonton BF, ya aman lah..". Tapi dia masih serius. "Sebaiknya kamu masuk Islam." katanya setelah beberapa saat. "Kenapa?". "Karena dengan beragama Islam, kedua agama akan menyetujui kamu bisa masuk surga". Saya bingung. Logika yang aneh. Tapi saya tak sempat memikirkannya. Waktu itu saya belum tertarik surga akhirat. Surga buat saya adalah liburan atau bolos sekolah, main basket, genjrang-genjreng main gitar ramai-ramai, boncengan naik motor bersama teman perempuan, nonton bioskop, dan sesekali nonton BF, ramai-ramai juga. Kelak saya akan mengetahui bahwa keraguan sahabat saya itu tak akan pernah mampu mengubah pikiran keagamaannya yang moderat dan tidak sekaku itu. Demikian juga banyak teman-teman muslim yang lain. Disisi lain, nanti saya akan menyadari bahwa logika tersebut ternyata sama sekali tidak lebih aneh dari logika sebagian umat yang berkeyakinan sama dengan saya.

Dalam proses menuju pendewasaan, saya mulai mengamati bahwa perdebatan-perdebatan soal agama memang riuh adanya. Sesekali saya tertarik mengikuti. Ikut belajar. Kadang-kadang merenung mengapa bisa saya tetap yakin dua-duanya benar, jika beberapa perbedaannya nampak begitu nyata? Meski akhirnya saya bosan. Terutama karena perdebatan tanpa akhir tersebut tidak ada relevansinya dengan perjalanan hidup saya yang mengajarkan bahwa kebenaran ada pada perbuatan, bukan sekedar hapalan atau identitas si pelaku.

Namun yang mengharukan, beberapa sahabat benar-benar menaruh perhatian kepada saya, dan mengajak saya mengikuti agamanya. Bukan karena ego dan kesombongan. Saya yakin sama sekali bukan. Melainkan benar-benar atas dasar rasa sayang dan cinta, untuk menyelamatkan saya dari api neraka. Ada yang meminta saya membaca buku Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, ada yang sesekali ngomong terang-terangan "Jadi Islam itu enak lho Niel..". Tapi yang paling berkesan adalah gadis SMA yang tinggal di depan kos saya waktu saya mahasiswa, yang beberapa kali mengirim surat cinta untuk saya. Saat perpisahan tiba, dia berkata bahwa setiap kali mendengar ajaran tentang non-muslim yang dipastikan akan berakhir di neraka, ia selalu mengkhawatirkan saya. "Memang kamu nggak punya teman lain yang non-muslim?". "Ada. Tapi aku nggak peduli. Mas aja yang aku pikirin..". Ingin sekali rasanya saya memeluknya erat-erat. Tapi percakapan itu berlangsung di teras depan rumahnya. Saya tidak mau menanggung resiko tiba-tiba ayahnya keluar sambil mengacungkan parang..

Hari ini saya sampai pada kesimpulan bahwa perdebatan agama tak akan pernah berakhir, karena memang tidak ada agama yang sempurna. Ia bisa dimaknai dari berbagai sisi, dan semuanya tidak bisa dibilang disalahpahami, karena saya tidak pernah yakin ada yang bisa setepat-tepatnya paham benar dan tak terbantah oleh semua orang. Ketidaksempurnaan membuat debat tak kunjung henti. Bandingkan dengan derajat kesempurnaan dari keindahan matahari pagi di lereng gunung dingin dimana kilau sinarnya terpantul dari bunga-bunga warna-warni yang berhias bening titik-titik embun, siapa yang akan mendebat keindahannya? Bandingkan pula dengan derajat kesempurnaan esensi udara segar dan air jernih yang menyehatkan sekaligus menyejukkan jiwa raga setiap umat manusia yang menghirup dan menikmatinya, siapa yang tidak akan bersepakat?

Antony de Mello pernah menulis, ada dua metode manusia belajar agama. Yaitu seperti belajar ilmu psikologi, dan ilmu kesehatan. Saat mempelajari sifat-sifat manusia, orang yang sedang belajar ilmu psikologi akan serta merta mencari orang-orang di sekitarnya yang sifatnya sesuai dengan yang dia pelajari. Berbeda dengan mempelajari ilmu kesehatan, orang yang belajar tersebut terutama akan melihat ke diri sendiri, apakah dia juga merasakan gejala-gejala sakit sebagaimana tertuang dalam informasi tentang penyakit yang ia baca.

Maka belajar agama, sebaiknya adalah seperti belajar ilmu kesehatan. Membandingkan dengan diri sendiri akan lebih bermanfaat daripada sibuk menuding orang lain. Jika ada ayat tentang ciri-ciri orang kafir, maka yang penting adalah bagaimana diri kita sendiri bisa senantiasa waspada dari perilaku kekafiran. Karena kitab suci selayaknya adalah panduan untuk mengenal apa kemauan Tuhan, bukan panduan untuk menjadi Tuhan atas orang lain.

Dalam suatu diskusi agama di sebuah milis, ada seorang yang tampak begitu membenci umat lain karena dia yakin telah digariskan Tuhan bahwa umat tersebut tidak akan pernah ridha sebelum orang lain mengikuti agama mereka. Menganalogikan dengan kebijaksanaan nabi yang paling saya teladani, saya berkomentar. Siapa yang sudah benar-benar yakin dirinya seratus persen ridha dengan perbedaan, silakan menjadi orang pertama yang menuding orang lain.

Salam damai.

Tuesday, March 18, 2008

HARI-HARI BADUY

.
Senja di sudut dunia.

Matahari merendah hingga di titik akhir kehadirannya. Menaburkan redup sisa cahaya kuning aneh yang mengisi celah-celah rimbun dedaunan. Gelap beranjak meluas. Seiring dingin yang bergerak teratur menghampiri. Gemerisik pohon-pohon raksasa makin nyata terdengar bergantian dengan munculnya suara-suara binatang malam entah apa saja jenisnya.

Suasana lengang. Keramaian suara peralatan tenun sederhana dan tawa riang anak-anak bertelanjang kaki bermain bersama siang tadi hanya meninggalkan gema di rekaman ingatan. Kini manusia-manusia penghuni hutan ini nampaknya sepakat untuk diam, seolah-olah menunggu dan mempersilakan sang senja menuntaskan diri di tengah hutan yang terasa begitu berkuasa.

Aku berada di dalam rumah panggung lapang tak bersekat beralas dan berdinding kayu, menatap bayangan hitam tubuh yang bergoyang senada jilatan pijar api dari obor kecil yang terpancang di tengah ruangan. Pemandangan rumah tetangga yang berjarak sekitar seratus langkah ibarat lukisan sephia berpigura kusen pintu yang lebar menganga.

Ketika malam telah sempurna melingkupi, dan gelap hanya dilawan oleh sinar bulan temaram dan obor dari rumah-rumah yang berjarak pepohonan dan semak-semak, mulai terdengar bunyi kentongan bersahutan dari berbagai penjuru kampung. Intensitas dan frekuensi yang beraneka, dalam keteraturan ketukan yang menjadikan musik mistis menusuk kalbu dan akal.

Disini, waktu coba dilawan. Coba dihentikan. Mereka orang-orang sederhana. Namun aku yakin mereka digerakkan oleh kekuatan cerdas, dan kesadaran merdeka yang datang lebih awal dari kaum sebangsanya yang kini tinggal di lembah-lembah dan perkotaan. Mereka percaya Tuhan adalah udara. Adalah air. Adalah alam lingkungan dan kebijaksanaan nenek moyang yang menghidupi, menjaga, dan harus dijaga kelestariannya. Agamanya tak memerlukan nabi. Untuk apa? Bahkan kitab sucipun cukup dirajah dalam mental dan kesadaran. Pahala adalah kewajaran tanpa kesombongan. Dosa adalah rasa malu, dan rasa malu adalah siksaan terkejam.

Dunia disini terlalu sempurna. Seorang jaro dengan postur tubuh tegap kasar dan garis muka tajam memancar kewibawaan menjelaskan bahwa jalan hidup ini adalah pilihan. Mempertahankan prinsip dengan sebisa mungkin mengisolasi diri dari kemajuan jaman yang membawa kepongahan. Sampai kapan? Tak ada yang bisa memastikan.

Temanku bercerita, diperlukan waktu bertahun-tahun hingga akhirnya paku bisa masuk ke kampung ini, menggantikan akar-akar pohon untuk mengikat tiang-tiang rumah dari kayu dan bambu. Itu cerita 15 tahun yang lalu. Sore ini, aku lihat seorang baduy berdandan khas dengan ikat kepalanya berterima kasih kepada operator selular karena sinyal kuat di kampungnya. Dadaku berdesir. Ada rasa kehilangan. Aku tak tahu apa.



(kenangan berhari-hari menginap di kampung baduy bersama Gola Gong, Pipiet, Nanang, Iyus, Ferry (alm), Febri, dan Hera. Baduy? Teu hayang-hayang deui..!! hehehe..)

Sunday, March 16, 2008

10,000 BEFORE GOD VERSES

(refleksi setelah nonton film Ayat-Ayat Cinta dan 10,000 BC)

.
Apakah seluruh keputusan dalam hidup harus selalu memenangkan ayat dari rasa? Benarkah suara Tuhan hanyalah apa yang didengar dan dibaca dari luar? Tidakkah seharusnya bisikanNya senantiasa hadir di dalam lubuk hati setiap manusia?

Fahri, tokoh utama dalam film Ayat-Ayat Cinta, yang harus mengutip ayat-ayat suci untuk membela orang kafir di angkutan umum, bisa tiba-tiba memutuskan menikah dengan perempuan yang baru dilihat wajahnya dalam acara taaruf tanpa merasa wajib memberitahu Maria, teman yang mencintainya. Mungkin mahluk sepolos dan sealim Fahri tak mampu mengenali sinyal asmara yang dikirim oleh Maria. Atau mungkin asmara baginya terlalu duniawi yang merendahkan nilai-nilai Illahi.

Kemudian ketika datang keadaan yang diyakini sebagai kehendak Tuhan memantapkannya untuk menikahi Maria (dalam film itu diceritakan bahwa Maria sakit keras dan hanya bisa sembuh bila disentuh Fahri sementara Fahri hanya bisa menyentuh jika sudah menikah. Aisha istri pertamanya pun ikhlas Fahri menikahi Maria karena kesembuhan Maria akan menyelamatkan Fahri dari ancaman penjara), lalu hadir begitu saja rasa cinta Fahri kepada Maria yang menyembuhkan perempuan itu. Mungkin karena ayat-ayat cinta. Demi ayat-ayat Tuhan.


Bandingkan dengan 10.000 tahun sebelum nabi Isa ketika ayat-ayat Tuhan belum ada. Setidaknya di peradaban-peradaban muda dimana manusia masih sangat bergantung pada alam, dan Tuhan hanya hadir melalui harapan yang diraba dari ramalan-ramalan takdir. Pengalaman hidup melahirkan nilai-nilai moralitas sederhana. Kesetiaan, keberanian, pengorbanan, kejujuran, dan cinta. Diceritakan dalam film 10,000 BC, D'leh, seorang pemuda yang mencintai gadis cantik bernama Evolet, bersandar pada kekuatan cinta dan nilai-nilai moral sukunya untuk menyatukan segenap bangsa membebaskan diri dari penindasan oleh suatu peradaban lebih maju yang merasa menjadi Tuhan penguasa umat lain.

Saya terpesona dengan film 10,000 BC yang indah mengolah nilai-nilai kemanusiaan untuk merasakan hal-hal adi kodrati, tetapi tak juga mampu memahami film Ayat-Ayat Cinta, yang saya anggap menertawakan rasa manusia demi tafsir ayat-ayat suci. Mungkin karena saya belum membaca novelnya. Mungkin pula benar kata istri saya yang memaksa saya menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta karena dia yang lebih dahulu nonton terharu biru dengan keikhlasan Aisha untuk dimadu. "Kamu kafirun sih ya jadinya nggak ngerti.." katanya sambil tertawa puas. Saya lempar bantal kepalanya tapi tak juga berhenti tawanya. Memang nasib saya berjodoh dengan perempuan kurang ajar. Segera saya jawab "Kasih aku kesempatan kawin lagi, mungkin aku baru bisa ngerti.."

Lalu gelap datang sesaat ketika bantal yang tadi saya lempar kembali ke wajah saya dengan kecepatan melebihi ukuran bercanda. Kali ini giliran saya yang tertawa lebih keras..

Thursday, March 13, 2008

HENING

.
Pada mulanya adalah ketiadaan. Kemudian pengalaman menyebutnya sebagai Tuhan. Ketergesaan menjadikannya bangunan; kokoh namun bungkam. Bertahta di dalamnya kebanggaan -- sekaligus juga kecemasan -- yang dinamakan agama.

Serasa berabad perjalanan ini bagaikan diam, hingga kehampaan tak lagi memerlukan perenungan. Kepastian menertawakan pencarian dan melihat ke dalam adalah tindakan celaka.

Tetapi adakah penjara untuk jiwa dan nurani? Keraguan -- meski dalam tekanan, atau bahkan karena tekanan -- akan mampu menemukan lorongnya. Walaupun terkadang pencarian yang sejatinya adalah demi pencarian itu sendiri, seringkali pencapaiannya menjadi kemenangan yang harus dirayakan dan pantas untuk menjadi kesimpulan yang seragam bagi semua orang. Dan jika kemenangan menjadi segalanya, adakah ayat-ayat yang mampu ditafsir untuk tersenyum pada saat-saat yang dianggap sebagai kekalahan?

Suasana selalu nampak riuh rendah. Dan pekaknya berdampak macam-macam. Ada yang mengkristal dan menjadi tuli kecuali pada kepuasan diri, ada yang terus mencair dan terus menerus berusaha mengalir, ada pula yang mentertawakan sekaligus menangisi ketika ia memakan korban.

Dan sang hening tetaplah hening. Yang tak terpindai di dalam keramaian, namun segera muncul ketika lelah datang dan membungkam segala nafsu kepongahan. Demikianlah waktu tak lagi bermakna, karena perjalanan maupun diam tak lagi menjanjikan masa depan. Hingga kesadaran tiba. Menghadirkan hening..

Wednesday, March 12, 2008

KEPUTUSAN DAN KEBERANIAN

.
Kemarin setelah berbincang-bincang berjam-jam dengan seorang kawan lama, aku teringat cerita perumpamaan yang pernah kubaca. Mungkin karena aku mencoba menganalisa temanku itu. Dan diri sendiri tentu saja.

Dua ekor katak tinggal di tepi danau yang luas dan indah. Daya hidup yang dipancarkan oleh danau itu senantiasa disesap oleh keduanya, membuat mereka menikmati hidup yang nyaman damai dan bahagia. Hingga suatu hari ketika salah satu katak -- sebut saja katak A -- berjalan-jalan menyisir sepanjang danau, ia menemukan pipa panjang yang menyalurkan cairan pekat ke dalam danau. Pipa itu nampaknya coba disamarkan dalam rimbunan semak ilalang. Sebelum ia bisa menyimpulkan arti cairan tersebut, didengarnya dua orang manusia yang sedang berbicara dengan berbisik-bisik bahwa kerusakan total habitat di daerah danau dan sekitarnya akan terjadi dalam waktu kurang dari tiga bulan, akibat pencemaran limbah beracun yang disalurkan ke dalamnya.

Katak A tak tahu siapa manusia-manusia itu. Tapi ia mencium bencana. Dan ia harus secepatnya mendiskusikan dengan sahabatnya, katak B. Segera setelah bertemu, katak A langsung menceritakan temuannya dan mengajak katak B untuk segera meninggalkan danau itu. Namun tak diduga, katak B menolak. Ia beralasan bahwa danau ini adalah rumahnya, adalah hidupnya. Sudah bertahun-tahun ia hidup dari sini, dan keyakinannya mantap bahwa dalam tahun-tahun mendatang danau ini akan tetap menghidupinya. "Aku tak akan pindah. Aku tetap disini." tegas katak B.

Meski katak A berkali-kali mencoba meyakinkannya, katak B tetap pada pendiriannya. "Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada danau ini. Dunia luar lebih kejam dari yang bisa kau bayangkan.". Katak A berkata, "Baiklah jika itu keputusanmu. Aku menghargainya. Aku sendiri akan segera mempersiapkan diri untuk mencari tempat yang baru yang lebih aman.". "Silakan.. Dan jaga dirimu baik-baik.." jawab katak B sambil tersenyum. Dan demikianlah akhir diskusi mereka. Sementara waktu tetap berjalan, hari berganti, sampai akhirnya tanpa terasa waktu tiga bulan telah terlewati..

Katak mana yang mati karena tingginya kadar racun di dalam danau? Betapa aneh karena keduanya mati bersamaan. Katak B mati karena memutuskan untuk tetap bertahan, katak A mati karena tak juga punya keberanian untuk pergi meskipun ia sudah memutuskan untuk pindah.

Aku pernah menjadi katak B. Tapi mukjijat kesempatan kedua memberiku nafas baru untuk berpikir dan memutuskan ulang. Dan cerita ini membuatku harus selalu waspada untuk tidak terjebak menjadi katak A. Karena selain aku bosan dengan kekalahan, juga kesempatan ketiga terlalu gamang untuk diandalkan..

Friday, March 7, 2008

KILAU PERMATA

.
Apa yang tersembunyi di balik hal-hal yang berkilau?

Kira-kira sebulan lalu, istriku punya cerita baru. Tentang permata. Teman dari sahabatnya, istri seorang pejabat, adalah seorang kolektor dan pebisnis permata. Yang membuat istriku terkagum-kagum bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga bagaimana istri pejabat itu bisa memperlihatkan kesan bahwa bisnis permata itu seenteng jualan kacang goreng. Ini bahasa dan analogi dari istriku dan sahabatnya, bukan aku.

"Sudah berapa lama ia berbisnis?"
"Aku nggak tahu itu"

"Apa bisnis keluarga? Atau dari keluarga kaya?"
"Aku nggak tahu juga"

"Memangnya suaminya pejabat dimana sih? Jabatannya apa?"
"Nggak tahu ah! Kamu tuh kalau diceritain pasti nanyanya aneh-aneh deh!"

Aku tertawa. Bukan karena ada yang lucu. Hanya untuk meredam suasana agar istriku nggak marah karena kebiasaanku yang banyak bertanya setiap kali dia bercerita. Kadang-kadang aku sendiri tersadar kalau pertanyaanku berlebihan. Tapi aku juga heran, mengapa sering dia sudah cukup puas mendapatkan informasi yang cuma sepotong. Mengapa keingintahuannya tidak terpancing saat mendengar cuilan informasi yang menurut dia menarik. Tapi ya sudahlah. Berdebat juga cuma seperti menyetel ulang rekaman kaset lama.

"Eh, dia ngajak kita ikut bisnis dia"
"Hmm.. Menarik.. Asal kamu bisa. Dan nggak perlu modal besar"

"Hahaha.. Mana ada bisnis permata nggak modal besar.."
"Hehehe.. Ya sudah nggak usah cerita"

Lalu kami ngobrol tentang kekayaan. Aku sampaikan cerita dari temanku tentang orang kaya di Jakarta yang mendatangkan batu kali dari Italia seharga miliaran rupiah hanya untuk dinding luar bagian belakang rumahnya. Mungkin karena tak mau kalah dengan tetangga yang sudah lebih dahulu melapis sekeliling dinding luar rumahnya dengan batu kali lokal. Dan tentang pengacara sukses yang berbangga karena kekayaan yang menempel di badan saja juga sudah bernilai miliar rupiah karena produk-produk bermerek yang dikenakan maupun asesoris-asesoris berlapis emas permata. Kekayaan seringkali sebanding dengan gengsi. Tapi mengapa terkadang berbanding terbalik dengan akal sehat?

Sebulan berlalu, agaknya cerita permata belum selesai.

"Kamu ingat nggak temen yang bisnis permata yang kemarin aku ceritain?"
"Kenapa?"

"Dia ternyata istri jaksa yang ketangkap basah terima suap uang enam miliar itu! Sekarang ditelepon dia nggak mau angkat lagi"
"Hah?!"

Aku jadi ingat beritanya di surat kabar. Saat tertangkap dia mengaku itu adalah kegiatan sampingannya yaitu bisnis permata. Hmm.. Bisnis sampingan yang berkilau dan membuat silau..

Thursday, March 6, 2008

CERPEN

.
Sekali-sekalinya seumur hidup, saya tertarik membuat cerpen. Akhirnya semalam cerpen ini iseng saya tulis. Terutama karena saya punya blog yang rasanya terus minta diupdate. Yang kedua, karena beberapa hari yang lalu saya 'kebetulan' membaca cerpen Agus Noor yang berjudul "Permen" dan berbincang dengan kawan dengan topik tak jauh beda di hari yang sama.

Ini hanya fantasi liar, singkat-- karena memang bukan cerpenis, dan sekali lagi, sekedar iseng. Jadi jangan kawatir kawan! ;)

Tuesday, March 4, 2008

WAJAH TUHAN

.
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan”


Dalam perjalanan hidup ini, aku pernah beberapa kali mengalami masa sulit. Yang terakhir adalah beberapa tahun yang lalu, saat usahaku mengalami kemerosotan luar biasa. Aku mencoba bertahan dengan terus-menerus mencari titik terang yang menyemangatiku untuk bangkit. Namun hidup memang adalah pertaruhan resiko, dan tidak setiap saat kita bisa memetik kemenangan. Kali ini kekalahan membawaku berada di titik akhir.

Aku lunglai kehabisan tenaga. Sedangkan berhenti – meski sejenak – berarti memperparah kehancuran, karena aku benar-benar di ujung pertahanan. Lalu tiba-tiba aku teringat pada seorang pria paruh baya yang pernah kutemui beberapa tahun yang lalu, yang kedalaman dan kebijaksanaannya masih mengesan dan mengendap dalam diriku.

Aku menemuinya. Setelah berbasa-basi sejenak, kusampaikan padanya keadaanku. Aku meminta tolong agar ia mau membantu mengatasi kesulitanku. Dan jawabannya sungguh-sungguh melampaui dugaan. Dia menanyakan berapa kebutuhanku per bulan. Segera setelah kusampaikan, dia tersenyum dan menyatakan bersedia memberiku gaji tak kurang sedikitpun dari yang aku perlukan. Aku terpana tak bisa berkata apa-apa. Dia seolah membaca kebingunganku, lalu berpesan singkat: "Kita memang hanya kenal sebatas teman. Benar aku tak tahu kemampuanmu. Aku hanya percaya, dan tolong kau jaga kepercayaanku.".

Seingatku aku menghabiskan jeda yang cukup panjang, sebelum akhirnya tersadar dan segera berterima kasih sambil menjanjikan keseriusanku. Sampai di rumah aku menceritakannya kepada istriku. “Hari ini aku bertemu Tuhan” kataku menyimpulkan. Istriku mengingatkan untuk jangan berlebihan. Dia memang orang yang baik hati tapi tetap manusia biasa. Aku diam. Tapi dalam hati aku tak peduli. Kebaikannya menjadikan wajah Tuhan terlihat jelas oleh mata batinku. “Aku bertemu Tuhan” gumamku dalam hati.

Setelah setahun aku bekerja di perusahaannya, aku mulai bangkit hingga sekarang aku bisa berdiri sendiri. Tapi kekagumanku padanya tak pernah berubah. Setiap hari Natal ia selalu mengirimkan ucapan selamat. Di hari lebaran kemarin, ia sudah meminta maaf lahir batin kepadaku sebelum sempat aku mengucapkannya terlebih dahulu. Padahal dia adalah seorang haji. Betapa tak berdayanya aku dihadapannya...

Begitu sering Tuhan menampakkan wajahNya kepadaku. Namun tak banyak yang benar-benar bisa kuresapi. Seorang rabbi besar bangsa Yahudi pernah bersabda perihal Tuhan: “Bahkan apa yang kau lakukan untuk saudaramu yang paling hina sekalipun, sebenarnya itu kau lakukan untuk Aku Tuhanmu”

Pak Pri, engkau mungkin tak pernah mendengar sabda itu, namun telah sempurna engkau mengamalkannya. Sungguh aku malu karena hanya bisa terpesona tanpa tahu bagaimana memaknainya..



(Baru kontak lagi dengan Pak Pri, orang baik yang telah banyak menolong orang lain. Aku hanya salah satu diantaranya. Semoga selalu sehat dan bahagia Pak! Berkah Tuhan senantiasa bersama Bapak..)

Saturday, March 1, 2008

TENTANG SETAN DAN SINETRON RELIGIUS

(refleksi dari film The Devil's Advocate)

.
Mengapa manusia selalu jatuh dalam dosa? Karena jebakan setan? Atau pilihannya sendiri?

Saya baru sadar bahwa sinetron-sinetron religius yang dulu diputar oleh hampir seluruh stasiun televisi, sekarang ini -- setahu saya -- hampir tak ada lagi. Tayangan dengan pola pikir yang merendahkan logika, merendahkan kemuliaan manusia, bahkan menurut saya juga merendahkan Tuhan, membuat saya tak peduli mereka masih ada atau tidak. Sampai pada malam ini setelah saya menonton kembali film "The Devil's Advocate", yang dibuat lebih dari 10 tahun yang lalu.

Film ini mengingatkan saya pada sinetron-sinetron religius kita, karena dari segi tema kurang lebih sama. Tentang manusia yang jiwanya menderita karena memilih mengikuti jalan setan, dan dibumbui visualisasi imaginasi tentang sosok setan. Tetapi jelas ada yang sama sekali berbeda. Karena saya sama sekali tak beranjak dari depan televisi menyaksikan ulangan film ini dari awal hingga berakhir, dan setelahnya masih ada yang tersisa bergetar dalam kepala.

Seorang pengacara cerdas yang selalu memenangkan kasus dalam persidangan karena nafsu kesombongan selalu mengalahkan suara hati, mengalami sukses materi dan ketenaran seiring terbentangnya jalan yang terus dibukakan oleh sang setan. Namun kesuksesan dengan mempertaruhkan kebahagiaan rumah tangganya pada akhirnya membuat si pengacara sadar bahwa ia harus mengambil keputusan antara terus bekerja pada setan atau kembali ke nurani.

Digambarkan dengan bagus bagaimana setan mengkondisikan manusia -- yang tetap memiliki kehendak bebas -- untuk memilih jalan dosa karena kecerdikan setan yang terus menawarkan kepuasan haram. Setan yang menyusup dalam segala hal, termasuk dalam identitas dan ritual agama, yang berhasil menghasut manusia untuk membangun ego semegah dan sekokoh katedral. Sedangkan Tuhan kemudian dihadirkan dalam wujud tawaran harapan, pengorbanan, dan kesempatan kedua. Manusia -- dengan kehendak bebasnya -- kembali dipersilakan memilih.

Seusai menyaksikan film tersebut, saya jadi berharap kembali pada sinetron religius kita. Karena saya kembali percaya bahwa jika dibuat dengan perenungan mendalam dan kecerdasan, tayangan seperti ini akan membawa manfaat bagi pemirsanya. Mungkin kita baru mampu menggambarkan bahwa manusia yang jahat adalah ibarat jelmaan setan sendiri dengan kelakuan super jahat dan aneh-aneh. Dan beda orang baik dan orang jahat cukup dari identitasnya. Mungkin pula kita baru bisa menggambarkan Tuhan hanya sebagai Sang Penghukum dengan azab yang mengerikan -- atau lebih tepat: menjijikkan -- dan tak kalah aneh-aneh. Namun saya tetap berharap, suatu saat pembuat film religius dalam negeri akan mampu membuat tontonan yang berbobot, asal mau merendahkan hati dan tidak sombong untuk terus belajar salah satunya dari film sejenis yang berkualitas meski dibuat oleh negara-negara barat. Ingat kata Lucifer yang diucapkan dalam penutup film ini: "kesombongan adalah dosa favorit saya..".