Tuesday, April 29, 2008

KARTINIKU

.
Kartini adalah inspirasi
Bagi jiwa-jiwa yang selalu gelisah, bertanya, mencari, dan bebas merdeka..
Sweetheart, will you be my Kartini?



Manado dandan Solo, Batak dandan Dayak, Solo dandan Minang. Hiduplah Indonesia Raya..!!



Rasanya waktu latihan nggak pake kesandung gitu tuh??



Biarpun cuma juara favorit III alias juara paling bawah, yang penting pulang bawa piala.. :D

Selamat yaa..!!

Monday, April 28, 2008

TOLERANSI ITU

(Untuk Anis, tanda terima kasih dan balasan atas sharingnya yang indah..)

.
Lebaran pertama pasangan beda agama.

Malam itu, malam lebaran pertama setelah kami menikah, terasa begitu biasa seperti malam-malam sebelumnya. Karena kami tinggal di kompleks perumahan baru yang masih sepi dan masjid terdekat terletak cukup jauh, tak terdengar suara-suara takbir. Tak ada masalah bagi saya, namun istri saya terlihat begitu gelisah. Kemudian ia mengajak untuk berkeliling di sekitar-sekitar kompleks. Mencari suasana, katanya. Saya menuruti saja apa kemauannya. Akhirnya suara takbir kami dengar cukup jelas setelah berjalan sekitar 4-5 km dari rumah.

Saya rasa istri sudah merasa puas saat ia mengajak pulang. Sampai di rumah, suasana sepi kembali menyelimuti. Saya mulai mengantuk lalu masuk kamar sambil membaca bacaan ringan pengantar tidur. Istri tampaknya masih di ruang tengah menonton TV karena saya dengar suara channel TV yang berubah-ubah. Tak lama ia menyusul masuk ke kamar. Tapi bukannya langsung tidur, ia menyetel radio, mencari-cari dan akhirnya menemukan salah satu stasiun radio yang terus menerus mengalunkan gema takbir.

Saya mulai terganggu. Mencari suara takbir di luar rumah, atau bahkan dari TV di ruang tengah, saya masih bisa terima. Tapi ini di kamar, ruang paling pribadi, saya juga harus terpaksa mendengarkannya? Kemana lagi saya harus menghindar? Saya tutup telinga saya dengan bantal, tak peduli apakah istri tersinggung karenanya. Dan begitu ia keluar untuk ke kamar kecil, segera radio saya matikan.

Sekembalinya dari kamar kecil, istri saya marah. Tak tahukah kamu betapa sepinya perasaanku di malam lebaran ini? Belum pernah aku merasakan malam lebaran sekosong ini, dan ketika suara takbir dari radio itu sedikit menenangkanku, malah kau matikan juga? Tidakkah sedikitpun kamu bisa mengerti? Katanya penuh emosi. Saya jawab dengan segera: Kamu mau keluar aku antar. Kamu mau setel TV silakan. Tapi sampai di kamarpun masih kau setel radio, tidakkah itu sudah berlebihan?

Istri saya menangis membelakangi saya yang mendadak merasa sesak dan berkecamuk tak menentu. Tak tahu lagi apakah saya harus tetap merasa benar atau menyesal dan membenarkan kata-katanya. Akhirnya saya mencoba untuk tidur, meskipun sama sekali tak mudah karena suara isak tangis yang tak juga reda. Seperti apa nanti sisa hidup yang akan kujalani? Apakah aku benar-benar siap menghadapinya?

***

Pagi hari saya sudah berdandan rapi lalu duduk di ruang tamu menunggu istri saya yang sedang sholat Id di halaman sport center kompleks perumahan, sambil merenungkan kejadian semalam. Saya merasa sudah cukup banyak bertoleransi. Sebagai orang yang menyembah patung, saya membayangkan suatu saat jika punya rumah sendiri maka saya akan pasang salib di seluruh ruangannya, dan patung Bunda Maria di beberapa sudutnya, sebagaimana dulu di rumah orang tua tempat saya dibesarkan dan selalu merasa aman dalam lindungan Tuhan. Tetapi nyatanya itu tak saya lakukan, hanya ada satu salib kecil di ruang kerja saya. Itu karena saya menenggang perasaan dia. Saya juga selalu mendukung dan menemani sebisanya untuk semua ritual keagamaan yang dia lakukan. Maka jika semalam sesekali saya merasa terganggu, tak perlulah ia sedemikian marah.

Lalu saya mulai memikirkan pengorbanannya untuk bisa menjalani pernikahan seperti ini. Istri saya adalah seorang yang tegar dan rela meninggalkan keluarganya demi keyakinan bahwa keputusan untuk menikah dengan saya adalah keputusan yang benar. Saya yakin bukan sekedar karena cinta, tapi karena keyakinannya bahwa hanya ada satu Tuhan untuk semua, dan Dia yang paling mengetahui niat seseorang. Jelas saya mengagumi dan berdiri di sampingnya. Karena jiwa yang telah bebas tidak bisa dikurung oleh pemahaman manusia-manusia lain dalam hubungannya dengan Sang Pemilik Segala Jiwa.

Saya menjadi malu. Jika saya mengaku sebagai pengikut seorang manusia yang memancarkan cahaya Tuhan, dan Dia sendiri selalu mengingatkan untuk mampu melihat Allah dalam segala hal: dalam diri raja yang bijaksana, orang tua yang welas asih, petani yang tekun, gembala yang penuh cinta, juga pada kaum musafir dan fakir miskin, kemudian bahkan akhirnya saya merasa bisa merasakan kehadiranNya pada patung-patung itu, mengapa saya tidak mampu melihat Tuhan dalam diri istri saya dan gema doa-doa yang memuliakan namaNya?

Saya yang selalu mengaku pluralis dan toleran, pagi ini merasa masih harus banyak belajar tentang toleransi. Dalam ilmu metrologi yang pernah saya pelajari, toleransi berarti kesalahan pengukuran yang masih bisa diterima. Tetapi dalam kasus kami, toleransi seperti itu tidaklah cukup. Diperlukan toleransi tingkat tinggi yang berarti menerima dan menghargai keindahan dari keyakinan orang lain. Sebagaimana sebuah sabda yang seharusnya menjadi dasar pluralisme dan penghormatan tulus: Mereka yang tidak memusuhiKu, maka mereka bersamaKu.

Di pintu pagar saya lihat istri saya baru pulang. Ia tampak cantik sekali dengan celana jeans dan baju lengan panjang warna biru berselempang selendang warna biru muda. Mungkin karena potongan rambutnya yang baru. Mungkin pula karena dia sedang berbahagia. Ia tertawa saat saya minta untuk mencium lutut saya. Kami berpelukan sebentar lalu bersiap-siap mengunjungi rumah orang tuanya, dengan harapan lebaran ini menjadi awal hubungan silaturahmi keluarga yang hangat seperti dulu. Namun jika belum sekarang, mudah-mudahan masih ada lebaran-lebaran mendatang untuk kami coba lagi. Dan ada yang lebih penting. Banyak yang harus kami pelajari dan coba lagi dalam menjalani rumah tangga kami sendiri. Semoga setiap peristiwa adalah pelajaran-pelajaran kecil yang bisa kami lewati untuk semakin mampu menjadi dewasa dan bahagia. Toh, apapun jalan yang kita pilih, hidup seharusnya selalu dibuat indah dan membahagiakan bukan?

Sunday, April 20, 2008

MATEMATIKA DAN KEHIDUPAN

.
Apakah logika matematika mampu menjawab seluruh problematika hidup?

Siang itu sekitar jam satu, anak saya yang belum genap berumur lima tahun baru pulang dari sekolah TK A. Setelah salin baju, segera ia membuka tasnya, mengambil buku, lalu duduk serius di meja belajarnya. Saya yang kebetulan hari itu sedang bekerja di rumah, bertanya apa yang ia kerjakan. Dan saya sungguh terkagum-kagum: anak itu tak sabar ingin mengerjakan PR matematika.

Ibunya menjelaskan, memang anak saya sering terlihat sangat menikmati belajar matematika, melebihi pelajaran-pelajaran lain. Saya tersenyum bangga. Semoga anak ini akan jauh lebih hebat dari orangtuanya.

"Dua ditambah tiga berapa Pak?"
"Eee.. Sebelas!"
"Hahaha.. salah! Lima!"
"Masa sih? Oo.. iya ya.."

"Kalo enam ditambah tiga?"
"Hmm.. Dua belas?"
"Hahahaha.. salah lagi! Sembilan dong yang bener.."
"Bentaaar.. Tujuh.. Delapan.. Sembilan.. Oo iya sembilan.. Hehehe.."
"Hahaha.."

Sewaktu kecil, saya juga termasuk penggemar pelajaran matematika diantara rata-rata teman sekelas. Saya memang menikmati belajar matematika. Mulai dari pelajaran sekolah, sampai buku-buku kakak tentang teka-teki angka dan logika, metode-metode untuk menghitung cepat, game-game tentang matematika, dan lain-lain. Hasilnya juga lumayan. Nilai Ebtanas Murni saya untuk mata pelajaran matematika sepuluh koma nol nol. Meski masih jauh dari level luar biasa, saya sependapat dengan jawaban Will Hunting dalam film Good Will Hunting ketika ia ditanya pacarnya mengapa ia suka memecahkan penurunan rumus-rumus rumit. Jawabnya -- mengambil contoh dari kegemaran sang pacar bermain piano -- ia beranalogi bahwa meski bagi sebagian orang piano hanyalah deretan kayu-kayu berwarna putih dan hitam, bagi pianis dan pemusik ia tampak seperti benda yang merangsang, menggelitik, dan menantang untuk memainkan atau membuat komposisi musik yang indah.

Saya mengalami bahwa kegemaran pada matematika mampu membangkitkan percaya diri. Bahkan waktu itu saya yakin, hidup akan lebih mudah dengan kemampuan logika matematika yang tinggi. Meski hal itu ada benarnya, namun perjalanan waktu menyadarkan bahwa itu hanyalah sebagian kecil dari ilmu kehidupan yang harus dipelajari. Logika matematika belum juga mampu menjelaskan hal-hal seperti sifat-sifat manusia yang begitu beragam, sejarah dan masa depan yang tak pernah terang benderang, keindahan alam semesta, puisi, dan lukisan, atau rasa jatuh cinta dan cemburu yang seringkali tak masuk akal. Logika matematika tak juga sanggup menjabarkan dengan gamblang tentang Tuhan. Tuhan yang berwujud Dewa-Dewa, Tuhan yang beranak maupun tak beranak, Tuhan yang menjadi awal dan akhir dari segala hal. Semua tak ada yang masuk akal jika dibandingkan dengan logika matematika. Kecuali hanya didekati dengan asumsi, kesepakatan bersama, dan terkadang dengan kekuasaan. Entahlah jika nanti akan tiba suatu masa dimana segala aspek kehidupan dan keterkaitannya bisa diuraikan dengan rumus-rumus matematika yang super kompleks. Namun hari ini dan beberapa tahun mendatang, hal itu barulah sekedar imaginasi yang melampaui logika matematika termutakhir.

"Pak, tujuh ditambah tiga berapa? Tahu nggak?"
"Gampaaang.. Dua belas kaaan.."
"Salah! Sepuluh dong! Bapak ini iseng atau beneran nggak tahu sih??"

Hahahaha... Saya benar-benar tertawa geli. Bisa jadi bapakmu ini memang iseng. Tapi jawaban itu bisa benar bila menggunakan sistem bilangan tertentu. Kamu tak akan pernah tahu pikiranku. Masih banyak yang harus kamu pelajari nak. Dan jika nanti logika matematika tak juga mampu menjawab dan memuaskan persoalan-persoalanmu, beri sedikit waktu untuk merenung, meresapi, dan berempati. Hingga muncul jawaban dari hatimu -- entah benar atau salah, entah logis atau tidak, entah permanen atau sementara -- yang akan menuntun perjalanan hidupmu menjadi manusia yang sebenar manusia. Yang konon katanya berbudi, selain berakal.

Thursday, April 17, 2008

IMAGINE


.

bayangkan jika ternyata keyakinan kita sama sekali tidak lebih benar dari mereka
bayangkan jika kebencian kita tak lolos dari kewajiban pertanggungjawaban
apa yang akan kita katakan pada Sang Hakim nanti di pengadilan final?

untuk mereka yang keyakinannya dikriminalkan
oleh saudara-saudara sebangsanya
bahkan juga oleh pemerintahnya

Tuesday, April 15, 2008

HANNY

.
Hanny, teman yang saya kenal di tempat kos saya dulu, adalah seorang waria.

Itu jelas bukan nama sebenarnya. Tapi hanya itu yang saya ingat, sedangkan nama aslinya sudah lupa sama sekali. Badannya tinggi langsing, rambutnya sebahu berwarna terang. Kulitnya langsat khas orang seberang. Payudaranya menonjol seperti perempuan, berdandan dan berpakaian seperti perempuan. Perempuan yang seksi. "Tapi barangku masih ada lho mas.. Masih takut operasi. Bukan takut sama dokter, tapi takut sama nyokap.. hahaha..". Orangnya selalu riang. Keriangan yang membuat saya akhirnya berani ngobrol dengannya, bersama-sama teman kos yang lain. Dengan catatan, tangannya harus tetap di tempat semula, nggak boleh colak-colek. Candaannya yang sering nyerempet-nyerempet, membuat suasana sore di kos selalu meriah. Tampaknya Hanny juga bahagia bila berhasil menyenangkan teman-temannya.

Dulu waktu tinggal di Bandung, saya beberapa kali melihat waria-waria mangkal di Taman Maluku dan di jalan Sumatra. Atau bahkan sering berada dalam satu angkot dari Dago Atas. Tapi saya tak pernah memperhatikan atau mempertanyakan. Hanny yang membuat saya memikirkan tentang waria.

Pada suatu sore, ketika berkesempatan ngobrol berdua, saya bertanya kepadanya, apakah dia nggak mau berusaha mengubah orientasi seksualnya menjadi normal seperti laki-laki kebanyakan. Jawabnya, "Coba mas bayangin.. Yang serius yaa.. Coba bayangkan mas lagi begituan sama aku..". Saya terperanjat dan sedikit menggeser posisi duduk saya menjauhinya. "Kamu jangan ngomong gitu Han.. Geli aku dengernya.. ". Hanny berkata lagi, "Emang gimana perasaannya mas? Geli? Jijik? Eneg? Merinding?". "Ya iyalah.. Kamu kan tahu aku normal." jawab saya. Hanny tersenyum, katanya, "Jadi kalo mas mau tahu kenapa aku nggak mau berubah, ya karena perasaan yang sama persis dengan yang mas bayangkan sekarang..". Saya diam saja. Perasaan merinding masih belum hilang. Terdengar Hanny tertawa, "Tapi mas jangan takut.. Bukan berarti kalau aku suka sesama jenis terus sama semua cowok aku mau. Mas sih bukan tipeku. Nggak level.. hahahaha..". Saya meringis sambil garuk-garuk kepala.

Pernah saya baca dalam jurnal ilmu pengetahuan, bahwa homoseksualitas bisa dikarenakan guncangan psikologis yang hebat. Tapi banyak juga karena faktor genetis, yang berarti memang ada orang-orang yang terlahir membawa sifat homoseksual. Dan karena secara alamiah pasangan sejenis tidak memungkinkan menghasilkan keturunan, maka seleksi alam seharusnya membuat kaum homoseksual akan semakin langka dengan sendirinya karena tak bisa mewariskan sifatnya pada generasi berikutnya. Namun jurnal ilmu pengetahuan hanyalah hasil pemikiran manusia. Ia tidak suci. Tidak seperti kitab-kitab yang diyakini suci sejak dituliskan. Dalam kitab-kitab itu konon disebutkan bahwa homoseksualitas adalah perbuatan dosa yang harus diluruskan, dengan cara bertobat, menikah dengan lawan jenis, lalu beranak pinak. Itu kalau tak mau dicap layak mendapat murka Tuhan.

Saya membayangkan jika hidup dalam dunia paralel, dimana saya yang hanya menyukai lawan jenis ternyata dianggap tidak normal oleh masyarakat luas dan kitab-kitab suci. Sementara orang-orang yang merasa mendapat otoritas jadi wakil Tuhan di dunia itu menjadi semakin kuat, dan merasa berhak memaksa saya untuk berubah atau menimpakan amuk Tuhan melalui mereka. Saya bergidik lagi, sambil bersyukur bahwa Tuhan tidak memberikan cobaan seberat itu kepada saya.

Minggu ini saya membaca tulisan-tulisan yang mengecam seorang ulama karena beliau membela hak-hak kaum homoseksual. Setelah delapan tahun sejak meninggalkan tempat kos itu, kembali saya teringat Hanny.

Friday, April 11, 2008

DUNIA MATRIX

.
Apa makna waktu, jika ia tak lagi membagi peristiwa menjadi kenangan, kenyataan, dan harapan?

Hukum alam adalah hukum tentang keteraturan. Buah apel yang jatuh dari pohon dan lintasan gerak peluru adalah serepih keteraturan yang telah mampu diurai. Akurasinya akan terus meningkat dengan terus mencermati lebih detail faktor-faktor lain yang sedikit banyak mempengaruhi. Viskositas dan perubahan tekanan udara, kepresisian pengukuran konstanta gravitasi, kecepatan awal, sudut elevasi, dan sebagainya.

Kemudian bagaimana peristiwa jatuhnya buah apel dari tangkainya adalah akibat dari akumulasi hukum keteraturan. Tentang peningkatan berat dan kematangan melalui proses faal tumbuhan, kecepatan angin yang menggerakkan buah tersebut lalu menghasilkan gaya inersia yang ditambahkan pada beratnya, proses penuaan dan titik lelah tangkai pengikat yang terlampaui oleh beban, dan beberapa faktor lainnya.

Secuil ilmu akan menggugah kesadaran atas kuasa manusia menyingkap rahasia setiap peristiwa. Diawali dari pertanyaan demi pertanyaan, semua menuju pada satu kesimpulan: hukum alam -- atau hukum Tuhan -- adalah kumpulan rumus-rumus yang membuat segala sesuatu berjalan sedemikian runut, tanpa terkecuali, tanpa anomali. Saksikan keindahan container yang hancur terlipat karena benturan teramat keras. Meski nampak berantakan, dalam adegan lambat akan terlihat bahwa semua adalah proses mekanika, dimana energi impak mendeformasi plastis bagian-bagian container secara serempak. Perhatikan pula bagaimana keputusan seseorang untuk pergi ke kamar kecil, adalah ujung dari mata rantai peristiwa reaksi atas rangsangan terhadap makanan dan minuman yang menyebabkan kandung kemih dipenuhi cairan dan memberikan sinyal ke otak melalui syaraf. Dimana letak pembenar bahwa keputusan untuk buang air adalah pilihan?

Segala sesuatu adalah runtutan sebab akibat. Meski tidak selalu segaris dan paralel, meski kadang saling bertumpukan dan saling berkaitan dalam kompleksitas. Tak ada lagi kebetulan, tak ada lagi kehendak bebas. Tak ada lagi penyesalan, tak ada lagi harapan. Tak ada pilihan, tak ada keteracakan. Semua rahasia terpapar jelas. Semua hal telah selesai, tunak, mutlak, dan diam. Umat manusia adalah boneka-boneka dengan setetes anugerah maya yaitu akal budi dan kuasa yang memabukkan. Pencerahan membuat manusia semakin menjadi Tuhan; jikalau Ia adalah benar penyebab segala awal. Dan sedikit demi sedikit mulai menguak tabir pekerjaanNya: menakjubkan, sekaligus membosankan.




(The Matrix: Trilogy; salah satu trilogi film terbaik sepanjang sejarah umat manusia)

BANTUAN IYUL

.
Iyul, pembantu di rumah saya, pamit berhenti bekerja karena akan menikah.

Malam itu istri saya marah-marah. Gara-garanya Iyul, pembantu rumah kami, mendadak pamit berhenti bekerja karena akan menikah dengan tukang sayur keliling setelah berpacaran hampir setahun. Dulu memang Iyul pernah berjanji baru akan berhenti setelah lebaran tahun ini. Tapi ternyata calon suaminya sudah tidak sabar ingin cepat kawin bulan depan dan diam-diam mereka berdua sudah mengurus surat-suratnya.

"Aku benci banget sama si tukang sayur itu. Soalnya Iyul tuh selalu nurut kalo aku bilangin. Tapi setelah ketemu pacarnya, pasti berubah pikiran. Nyebelin banget tuh tukang sayur!"

Saya diam mendengarkan. Tepatnya, pura-pura mendengarkan. Karena berdasarkan pengalaman, jika terpancing untuk berkomentar, pasti istri akan berbalik memarahi saya. Kamu enak aja ngomong! Kamu kan nggak tahu urusan rumah! Akhirnya saya hanya mengingatkan. Pertama, kita tidak boleh menghalangi hak dia. Dan kedua, perpisahan ini harus baik-baik, mengingat jasa Iyul selama ini kepada keluarga kita.

Istri masih nerocos saat saya mulai memikirkan tentang Iyul. Waktu pertama dia datang, anak saya baru berumur beberapa bulan. Itu kira-kira empat tahun yang lalu. Sebelum mulai bekerja, istri menasehati Iyul agar bekerja dengan rajin dan jujur. Dan ia menjawab, "Iya Bu saya tahu. Saya kan lulusan pesantren.". Dan ternyata itu bukan sekedar jawaban. Selain terbukti bahwa kejujurannya tidak perlu diragukan, ia juga selalu bekerja dengan gembira, terlihat dari hasil pekerjaannya yang rapi bahkan kadang-kadang mengejutkan karena waktu luangnya sering diisi dengan merapikan sudut-sudut dan barang-barang yang sering terabaikan.

Selain itu ia juga suka dengan anak kecil, pintar mengambil hati dan bermain-main dengan anak saya. Meskipun anak sepenuhnya tanggung jawab istri, namun Iyul banyak sekali membantu mengurusi. Tidak seperti anak tetangga yang sering menangis teriak-teriak jika sesekali ditinggal orang tuanya, anak saya gampang sekali ditinggal jika sedang bermain dengan Iyul. Di hari minggu Iyul libur. Tapi hanya sesekali ia keluar rumah berkunjung ke saudaranya atau jalan-jalan dengan temannya. Lebih sering ia di rumah. Membaca atau menulis entah apa. Memang tidak semua saya saksikan sendiri, melainkan cerita dari istri. Tapi saya juga merasakan suasana rumah yang selalu rapi dan sering melihat anak saya bercanda dengan pembantu kami ini.

Kemudian saya membayangkan, jika saya menjalani hidup seperti Iyul. Meskipun saya menyukai pekerjaan saya, pasti akan terasa bahwa segala sesuatu menjadi datar dan membosankan. Seperti berjalan menyusuri rel tak berujung. Oleh karena itu saya sangat memahami ketika seorang tukang sayur mengajaknya menikah dan membina rumah tangga baru, Iyul serta-merta mengiyakan dengan bersemangat. Tawaran petualangan yang menggairahkan! Iyul belum genap berusia 20 tahun. Si tukang sayur juga baru 22 tahun (ini saya lihat dari fotokopi KTP-nya saat istri melakukan fit and proper test). Terasa ada yang aneh, ketika saya sedikit mengkhawatirkan masa depannya. Akankah harapannya tentang kehidupan yang lebih indah, yang disambut dengan penuh hasrat, akan berjalan sesuai rencana? Akankah calon pasangan muda itu berhasil mengatasi dan memahami persoalan-persoalan yang akan muncul dalam mengarungi hidup berumah tangga?

Pagi itu sang calon suami sudah menunggu di depan rumah. Ia akan mengantar Iyul pulang kampung untuk mempersiapkan pernikahan bulan depan. Saya lirik penampilan mas tukang sayur: datang dengan sepeda motor dan menggenggam handphone. Mudah-mudahan ini menggambarkan tingkat kesejahteraannya. Saya lihat Iyul menciumi anak saya, yang tiba-tiba terlihat menjaga jarak. Mungkin anak kecil ini sedang merasakan suasana perpisahan yang belum pernah ia alami. Istri saya berlinang air mata sambil menyalami. (Mengenai istri saya, dia memang cengeng, gampang sekali menangis). Kemudian Iyul berpamitan dan mohon maaf kepada saya jika selama bekerja ia melakukan kesalahan (mendadak terlintas peristiwa bertahun lalu ketika ia merendam handphone baru saya yang ada di kantong celana.. Ah, sudahlah..). Begitu banyak kalimat di mulut yang ingin saya sampaikan, tapi hanya terima kasih dan permintaan agar sering-sering memberi kabar dan menengok anak saya yang saya ucapkan. Saya baru sadar bahwa memang selama ia tinggal disini, saya hampir tidak pernah berbicara dengannya.

Selamat menempuh hidup baru Yul.. Semoga bahagia dan selalu diberkahi Tuhan. Terima kasih atas bantuanmu yang tak terkira selama ini. Dari yang sudah saya ketahui, sampai yang baru saya rasakan setelah kamu pergi (beberapa hari ini saya tidak ganti kaos kaki karena pembantu yang baru tak merasa harus mengganti kaos kaki dekil di sepatu saya dengan kaos kaki bersih..).