.
Banjir sudah dua kali mengunjungi rumah kami. Yang pertama adalah awal tahun 2002. Saat itu saya belum mengerti apa itu banjir. Terlebih saya juga belum memahami bagaimana itu mengurus rumah tangga sendiri. Yang saya tahu, saya sudah menikah, jadi mau tak mau harus meninggalkan kamar kos ternyaman yang sudah 7 tahun memeluk saya dan pindah ke rumah baru bersama istri. Saya kuras isi kamar kos dan dipindah dalam beberapa kardus kemudian saya sebar di lantai rumah baru. Karena biasa tinggal di kos yang semua sudah tersedia, kami jadi belum punya perabot sama sekali, bahkan lemari pakaian sekalipun. Rencananya setiap akhir minggu atau kapan ada kesempatan, kami berniat merapikan rumah sedikit demi sedikit.
Seolah membaca rencana kami, tamu itu bergegas datang. Mungkin di siang atau sore hari. Kami tak tahu karena kami masih di kantor. Dan tetangga juga belum ada yang kenal apalagi bertukar nomer telepon. Pulang dari kantor, keadaan gelap gulita karena listrik mati. Dengan lampu senter kami menyaksikan barang-barang terendam dan sebagian terapung-apung dalam genangan air setinggi kira-kira 30 cm di dalam rumah. Setelah kaget dan bengong beberapa saat, akhirnya kami tertawa-tawa. Geli sejadi-jadinya dan makin jadi ketika ternyata masing-masing tak tahu apa pula yang ditertawakan. Akhirnya saya bilang, terima kasih.. sudah bantuin jadi kami nggak repot-repot memilih barang-barang mana yang harus dibuang..
Kunjungan kedua adalah di tahun 2007, pada bulan yang sama. Kali ini kami lebih siap. Meskipun tetangga -- banyak tetangga baru karena penjualan rumah di kompleks kami meningkat pesat sejak ada pengembang baru -- begitu percaya pada janji pengembang yang bilang sudah mengantisipasi puncak curah hujan. Tapi apalah artinya bersiap-siap. Keadaan sudah berbeda. Manusia ternyata seperti burung yang menyusun sarangnya. Hari demi hari satu demi satu barang-barang dimasukkan dan ditumpuk di dalam rumah meski banyak yang tak jelas gunanya. Dan saat badan sudah capek mengangkat-angkat dan menyelamatkan yang terutama, sisanya serahkan pada sang tamu yang sudah tak sabar hendak melahap. Lebih enak ngumpul bersama tetangga membahas bagaimana seharusnya mencegah banjir yang begitu asyik didiskusikan tapi sayangnya kesimpulannya tidak pernah disampaikan kepada sang banjir jadi tetap saja ia datang.
Awal tahun 2008 ini, semua orang kembali bersiap. Tapi rupanya pengembang kami sudah jauh lebih waspada. Tampaknya mereka tak mau lagi rugi karena penjualan jatuh gara-gara banjir. Sudah disiapkan tembok pembendung di sekeliling kompleks dan 2 buah pompa kapasitas besar untuk membuang air dari waduk buatan ke sungai belakang kompleks. Dan benar saja, ketika hujan sangat deras tumpah dalam jangka waktu melebihi sehari semalam, kompleks kami masih kering. Saya dengan tenang berangkat ke kantor meski agak siang karena memantau proses pembuangan air waduk.
Di tengah jalan, di depan kompleks perumahan sebelah, saya bertemu teman saya. Tangannya kanan kiri menjinjing tas-tas besar dan celananya digulung ke atas dengan ketinggian melebihi ukuran kepantasan. Saya berhenti. Dia duluan yang bertanya.
Ngungsi Pak..?
Eeee.. sebentar lagi mungkin Pak.
Iya nih.. Biasanya hujan segini air belum naik tuh.. Kok sekarang udah tinggi ya?
Eeee.. mungkin gara-gara air dari waduk kompleks saya yang dipompa ke sungai belakang perumahan kita ya Pak?
Dia diam saja tak menjawab. Saya juga tak menunggunya. Karena pertanyaan terakhir saya ucapkan hanya dalam hati saja. Lalu saya berpamitan. Dia susah payah melambaikan tangan karena terganggu barang bawaannya. Saya berjalan pelan sambil terus memperhatikannya melalui kaca spion. Ada rasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Solusi banjir seharusnya dipikirkan bersama, dari hulu ke hilir. Tapi kalo tak ada yang memikirkan secara komprehensif, apakah tidak boleh masing-masing kelompok mencari selamat sendiri? Meski mau tak mau harus di atas penderitaan orang lain.
Beberapa hari yang lalu,seorang teman lain dari sebelah kompleks dengan girang bercerita. Calon walikota Bekasi berkampanye di perumahannya. Kalau menang di perumahan ini dan jadi walikota, dia akan buatkan solusi banjir disini. Saya langsung dag-dig-dug. Wah, jangan-jangan gantian dia pompa airnya masuk ke kompleks kami. Diam-diam saya berdoa. Dan seperti yang selalu saya percaya, doa yang jarang dipakai ternyata awet khasiatnya. Sang calon walikota kalah telak meski menang di kompleks tetangga..