.
Apa definisi susila? Bisakah ia disepakati bersama dan diseragamkan antar kelompok masyarakat dengan ideologi berbeda?
Draft terbaru dari rancangan undang-undang tentang pornografi -- meskipun tak lagi mengatur secara eksplisit cara berpakaian tiap-tiap warga negara -- menegaskan bahwa ruang publik harus steril dari segala sesuatu yang dapat disugestikan sebagai hal-hal membangkitkan hasrat seksual; karena itulah pornografi. Artinya, setiap orang harus tunduk pada aturan tersebut bahkan sejak dari pikiran, yaitu pikiran yang harus seragam mengenai mana saja yang diasosiasikan dan dikategorikan sebagai pornografi.
Ada perkecualian. Pornografi dibolehkan untuk pertunjukan seni budaya maupun adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual. Artinya, pembuat draft undang-undang ini menganggap seni budaya dan adat istiadat bukanlah sesuatu yang menyatu dan tumbuh berakar dalam masyarakat. Mereka sekedar pertunjukan atau peristiwa, yang harus dilokalisir karena berpotensi mengandung hal-hal yang bisa disugestikan porno.
Wajar jika timbul kecurigaan bahwa perdebatan tentang rancangan undang-undang pornografi adalah lebih kepada pertarungan ideologi dibanding ketulusan niat mencegah dampaknya. Benar bahwa ada generasi yang harus dilindungi. Ada anggota-anggota masyarakat dengan cara pandang moral masing-masing yang harus dihormati. Namun memusnahkan segala sesuatu dengan penyamarataan standar susila, adalah pengingkaran nilai-nilai sejarah, budaya, keberagaman, dan toleransi hidup bersama.
Pertunjukan Sidang Susila yang dimainkan teater Gandrik berdasarkan naskah karya Ayu Utami dan Agus Noor menampilkan kemungkinan paling absurd dari pelaksanaan undang-undang pornografi tersebut, yang ngerinya, tetap saja mungkin terjadi. Seorang tukang balon bertubuh gemuk dan berpayudara subur yang ndilalah suka ngomong jorok, menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi, bahkan termasuk mainan dagangannya.
Sepanjang pertunjukan yang bertaburan kata-kata tentang aurat dan adegan yang bisa disugestikan sebagai perilaku seksual, ternyata hanya membangkitkan hasrat tertawa yang mengejek pikiran cabul. Sebagaimana disimpulkan oleh Utami -- tokoh pengacara perempuan yang dimainkan Butet Kartaredjasa -- bahwa payudara menjadi berasosiasi cabul jika ia diumbar dan dieksploitasi berlebihan, atau sebaliknya, jika ia disembunyikan dan ditutupi dengan ketakutan berlebihan.
Oleh karenanya, saya dukung Ayu Utami yang menyatakan bahwa ini tak sekedar seni, melainkan perjuangan untuk Indonesia yang lebih toleran. Entah bagaimana bentuk dukungannya..
Apa definisi susila? Bisakah ia disepakati bersama dan diseragamkan antar kelompok masyarakat dengan ideologi berbeda?
Draft terbaru dari rancangan undang-undang tentang pornografi -- meskipun tak lagi mengatur secara eksplisit cara berpakaian tiap-tiap warga negara -- menegaskan bahwa ruang publik harus steril dari segala sesuatu yang dapat disugestikan sebagai hal-hal membangkitkan hasrat seksual; karena itulah pornografi. Artinya, setiap orang harus tunduk pada aturan tersebut bahkan sejak dari pikiran, yaitu pikiran yang harus seragam mengenai mana saja yang diasosiasikan dan dikategorikan sebagai pornografi.
Ada perkecualian. Pornografi dibolehkan untuk pertunjukan seni budaya maupun adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual. Artinya, pembuat draft undang-undang ini menganggap seni budaya dan adat istiadat bukanlah sesuatu yang menyatu dan tumbuh berakar dalam masyarakat. Mereka sekedar pertunjukan atau peristiwa, yang harus dilokalisir karena berpotensi mengandung hal-hal yang bisa disugestikan porno.
Wajar jika timbul kecurigaan bahwa perdebatan tentang rancangan undang-undang pornografi adalah lebih kepada pertarungan ideologi dibanding ketulusan niat mencegah dampaknya. Benar bahwa ada generasi yang harus dilindungi. Ada anggota-anggota masyarakat dengan cara pandang moral masing-masing yang harus dihormati. Namun memusnahkan segala sesuatu dengan penyamarataan standar susila, adalah pengingkaran nilai-nilai sejarah, budaya, keberagaman, dan toleransi hidup bersama.
Pertunjukan Sidang Susila yang dimainkan teater Gandrik berdasarkan naskah karya Ayu Utami dan Agus Noor menampilkan kemungkinan paling absurd dari pelaksanaan undang-undang pornografi tersebut, yang ngerinya, tetap saja mungkin terjadi. Seorang tukang balon bertubuh gemuk dan berpayudara subur yang ndilalah suka ngomong jorok, menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi, bahkan termasuk mainan dagangannya.
Sepanjang pertunjukan yang bertaburan kata-kata tentang aurat dan adegan yang bisa disugestikan sebagai perilaku seksual, ternyata hanya membangkitkan hasrat tertawa yang mengejek pikiran cabul. Sebagaimana disimpulkan oleh Utami -- tokoh pengacara perempuan yang dimainkan Butet Kartaredjasa -- bahwa payudara menjadi berasosiasi cabul jika ia diumbar dan dieksploitasi berlebihan, atau sebaliknya, jika ia disembunyikan dan ditutupi dengan ketakutan berlebihan.
Oleh karenanya, saya dukung Ayu Utami yang menyatakan bahwa ini tak sekedar seni, melainkan perjuangan untuk Indonesia yang lebih toleran. Entah bagaimana bentuk dukungannya..