.
Sudah sangat lama saya mengenalnya. Mungkin sejak saya mengenal diri saya sendiri. Ia ada dalam diri kawan-kawan kecil sepermainan, ada juga sebagian saudara. Tapi seingat saya, saat itu tak pernah saya serius memikirkan perbedaan itu kecuali dalam kacamata riang. Bermain air wudu bersama, tidur-tiduran di masjid yang adem, sewa komik ramai-ramai sambil menunggu buka, dan ikut-ikutan antri kolak. Tak ada yang bertanya. Dan tak ada pula yang saya tanyakan.
Hingga saat SMA, sahabat saya seorang arab keturunan Yaman bertanya. "Menurut agamamu, aku bisa masuk surga nggak?". Saya jawab bercanda,"Asal kamu nggak kebanyakan baca cerita porno dan nonton BF, ya aman lah..". Tapi dia masih serius. "Sebaiknya kamu masuk Islam." katanya setelah beberapa saat. "Kenapa?". "Karena dengan beragama Islam, kedua agama akan menyetujui kamu bisa masuk surga". Saya bingung. Logika yang aneh. Tapi saya tak sempat memikirkannya. Waktu itu saya belum tertarik surga akhirat. Surga buat saya adalah liburan atau bolos sekolah, main basket, genjrang-genjreng main gitar ramai-ramai, boncengan naik motor bersama teman perempuan, nonton bioskop, dan sesekali nonton BF, ramai-ramai juga. Kelak saya akan mengetahui bahwa keraguan sahabat saya itu tak akan pernah mampu mengubah pikiran keagamaannya yang moderat dan tidak sekaku itu. Demikian juga banyak teman-teman muslim yang lain. Disisi lain, nanti saya akan menyadari bahwa logika tersebut ternyata sama sekali tidak lebih aneh dari logika sebagian umat yang berkeyakinan sama dengan saya.
Dalam proses menuju pendewasaan, saya mulai mengamati bahwa perdebatan-perdebatan soal agama memang riuh adanya. Sesekali saya tertarik mengikuti. Ikut belajar. Kadang-kadang merenung mengapa bisa saya tetap yakin dua-duanya benar, jika beberapa perbedaannya nampak begitu nyata? Meski akhirnya saya bosan. Terutama karena perdebatan tanpa akhir tersebut tidak ada relevansinya dengan perjalanan hidup saya yang mengajarkan bahwa kebenaran ada pada perbuatan, bukan sekedar hapalan atau identitas si pelaku.
Namun yang mengharukan, beberapa sahabat benar-benar menaruh perhatian kepada saya, dan mengajak saya mengikuti agamanya. Bukan karena ego dan kesombongan. Saya yakin sama sekali bukan. Melainkan benar-benar atas dasar rasa sayang dan cinta, untuk menyelamatkan saya dari api neraka. Ada yang meminta saya membaca buku Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, ada yang sesekali ngomong terang-terangan "Jadi Islam itu enak lho Niel..". Tapi yang paling berkesan adalah gadis SMA yang tinggal di depan kos saya waktu saya mahasiswa, yang beberapa kali mengirim surat cinta untuk saya. Saat perpisahan tiba, dia berkata bahwa setiap kali mendengar ajaran tentang non-muslim yang dipastikan akan berakhir di neraka, ia selalu mengkhawatirkan saya. "Memang kamu nggak punya teman lain yang non-muslim?". "Ada. Tapi aku nggak peduli. Mas aja yang aku pikirin..". Ingin sekali rasanya saya memeluknya erat-erat. Tapi percakapan itu berlangsung di teras depan rumahnya. Saya tidak mau menanggung resiko tiba-tiba ayahnya keluar sambil mengacungkan parang..
Hari ini saya sampai pada kesimpulan bahwa perdebatan agama tak akan pernah berakhir, karena memang tidak ada agama yang sempurna. Ia bisa dimaknai dari berbagai sisi, dan semuanya tidak bisa dibilang disalahpahami, karena saya tidak pernah yakin ada yang bisa setepat-tepatnya paham benar dan tak terbantah oleh semua orang. Ketidaksempurnaan membuat debat tak kunjung henti. Bandingkan dengan derajat kesempurnaan dari keindahan matahari pagi di lereng gunung dingin dimana kilau sinarnya terpantul dari bunga-bunga warna-warni yang berhias bening titik-titik embun, siapa yang akan mendebat keindahannya? Bandingkan pula dengan derajat kesempurnaan esensi udara segar dan air jernih yang menyehatkan sekaligus menyejukkan jiwa raga setiap umat manusia yang menghirup dan menikmatinya, siapa yang tidak akan bersepakat?
Antony de Mello pernah menulis, ada dua metode manusia belajar agama. Yaitu seperti belajar ilmu psikologi, dan ilmu kesehatan. Saat mempelajari sifat-sifat manusia, orang yang sedang belajar ilmu psikologi akan serta merta mencari orang-orang di sekitarnya yang sifatnya sesuai dengan yang dia pelajari. Berbeda dengan mempelajari ilmu kesehatan, orang yang belajar tersebut terutama akan melihat ke diri sendiri, apakah dia juga merasakan gejala-gejala sakit sebagaimana tertuang dalam informasi tentang penyakit yang ia baca.
Maka belajar agama, sebaiknya adalah seperti belajar ilmu kesehatan. Membandingkan dengan diri sendiri akan lebih bermanfaat daripada sibuk menuding orang lain. Jika ada ayat tentang ciri-ciri orang kafir, maka yang penting adalah bagaimana diri kita sendiri bisa senantiasa waspada dari perilaku kekafiran. Karena kitab suci selayaknya adalah panduan untuk mengenal apa kemauan Tuhan, bukan panduan untuk menjadi Tuhan atas orang lain.
Dalam suatu diskusi agama di sebuah milis, ada seorang yang tampak begitu membenci umat lain karena dia yakin telah digariskan Tuhan bahwa umat tersebut tidak akan pernah ridha sebelum orang lain mengikuti agama mereka. Menganalogikan dengan kebijaksanaan nabi yang paling saya teladani, saya berkomentar. Siapa yang sudah benar-benar yakin dirinya seratus persen ridha dengan perbedaan, silakan menjadi orang pertama yang menuding orang lain.
Salam damai.
Wednesday, March 19, 2008
AGAMA PARA SAHABAT
Posted by DANIEL! at 5:24 PM
Labels: kekagumanku