.
Monoteisme -- bertuhan satu -- lahir sebelum konsep bilangan nol ditemukan. Maka barangkali satu itu mengandung pengertian dan properti nol. Nol yang berawal dari konsep shunya, ketiadaan, kekosongan, arupa, purna, utuh, tak berbatas, serta kafi. Bilangan satu -- atau nol -- yang dihayati dengan mentalitas metaforis, bukan mentalitas matematis.
Namun kesadaran yang diwariskan mengurungnya menjadi sekedar logika. Yang dipelajari seperti memahami ilmu pasti; tanpa perlu hati. Serba matematis; bukan filosofis. Lalu kebenaran -- dan juga Tuhan -- tak lagi menjadi misteri. Ia ditumpahkan ke tanah menjadi kekuasaan dan kecongkakan. Yang membuat penganutnya merasa lebih tinggi derajatnya dari sang liyan. Yang memaksa para pengikut tunduk taat tak menghargai proses pribadi mencari pencerahan. Seperti menancapkan infus ke dalam tubuh-tubuh para pesakitan untuk memaksa metabolisme instan dan seragam. Dunia akan menjadi tampak teratur, namun kering.
Bilangan Fu memberi tawaran. Sebuah agama baru. Agama dengan keyakinan dan tata cara beribadah yang sama persis dengan masing-masing agama yang dianut sebelumnya. Hanya ditambah dengan laku baru: laku kritis. Kritis berarti tidak membabi buta. Tapi ia juga sama sekali tidak anti, apalagi membenci. Kritis terhadap ajaran-ajaran lain, mampu melihat nilai-nilai luhur pada agama bumi maupun agama liyan. Kritis terhadap agama diri sendiri untuk mencegah kesombongan dan memonopoli kebenaran.
Laku kritis memberi kesadaran untuk tidak hanya memandang ke langit dan hidup demi akhirat. Karena manusia hari ini - dan kelak anak keturunannya - tinggal di dunia. Maka yang utama adalah memelihara alam lingkungan. Demi kelangsungan hidup bumi. Demi kelangsungan hidup anak-anak generasi nanti. Agama-agama nenek moyang yang meyakini bahwa ada penunggu dalam pepohonan, ada penjaga gaib di gunung-gunung, ada penguasa di dasar samudera, harus mampu dilihat lagi secara kritis, bahwa ada nilai kebijaksanaan untuk berhati-hati mengolah alam. Untuk senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan.
Laku kritis mendakwahkan diri. Namun dengan cara satria dan wigati. Berdialog dengan sopan dan tidak memegahkan diri. Sabar menanggung segala sesuatu. Tidak dengan memaksa dan merusak, seperti cara-cara orang-orang tak beragama yang dikuasai sifat tamak dan sewenang-wenang.
Laku kritis juga menuntut untuk selalu sabar memanggul kebenaran, agar tidak jatuh menjadi ego yang mengalahkan kebaikan. Kritis untuk tidak menganggap kepercayaan orang lain sekedar dongeng dan kemusrikan . Dan sadar bahwa iman diri sendiri juga bisa berarti tak lebih dari tahyul bagi orang lain. Karena kebenaran sejati adalah misteri yang menjadi milik kala depan, bukan kala sekarang. Karena hakikat beragama adalah kebaikan. Maka, kebenaran tak perlu dipaksakan. Ia boleh tertunda esok hari nanti, asalkan kebaikan memenuhi hari ini.
Bilangan Fu menawarkan agama baru. Beranikah saya menjadi mualaf?
[Intisari kreatif dari novel "Bilangan Fu" karya Ayu Utami]
Tuesday, August 26, 2008
TAWARAN BILANGAN FU
Posted by DANIEL! at 9:50 PM
Labels: aku dan sekitarku