.
Di ujung pagi pada suatu hari di kota kelahiranku, dari ruang tamu aku mendengar sayup suara berteriak menawarkan dagangan. Aku buka pintu lalu kulihat di luar pagar seorang ibu menawarkan jenang grendul - salah satu jajanan yang selalu aku suka.
Astaga! Wajah yang sama yang kukenal bertahun-tahun silam! Aku tak ingat berapa lama tepatnya malah kurasa dialah orang pertama dan satu-satunya yang aku kenal sebagai penjual jenang grendul. Seorang ibu berkebaya berselendang mengikatkan di punggungnya dagangan dan semua perlengkapannya, termasuk kursi kecil untuk dia duduk saat ritual meramu bubur digelar. Benar-benar wajah yang sama, bahkan tak terbaca perubahan usia. Seingatku ya dari dulu tetap begitu saja.
Astaga! Wajah yang sama yang kukenal bertahun-tahun silam! Aku tak ingat berapa lama tepatnya malah kurasa dialah orang pertama dan satu-satunya yang aku kenal sebagai penjual jenang grendul. Seorang ibu berkebaya berselendang mengikatkan di punggungnya dagangan dan semua perlengkapannya, termasuk kursi kecil untuk dia duduk saat ritual meramu bubur digelar. Benar-benar wajah yang sama, bahkan tak terbaca perubahan usia. Seingatku ya dari dulu tetap begitu saja.
Eee.. ini yang ragil ya? wah lha kok tau-tau udah jadi bapak-bapak..
Mangga silakan masuk Bu..
Sambil memesan beberapa, aku mulai tak tahan untuk tak mewawancarainya.
Udah berapa tahun ya Bu, dagang jenang grendul?
Duuh.. nggak inget mas.. Lebih kali kalo cuman 30 tahun.
Wah, dulu sepincuk berapa harganya ya Bu? hehehe..
Hahaha.. blas nggak inget saya mas. Pokoknya asal ada untung dan bisa masak lagi ya sudah cukup to.
Emang tiap hari selalu habis?
Ya nggak tentu.. Kalau nggak habis ya besok bikinnya dikurangi. Nanti kalau habis besoknya ditambahi. Gitu aja terus mas.
Untungnya lumayan kan Bu..
Ya nggak tentu mas. Yang jelas selama masih bisa dagang ya dagang. Wong rejeki sudah ada yang ngatur. Iya to mas?
Ya iya Bu.. Nggak cuma rejeki, semua apa-apa juga ada yang ngatur. Tapi ngaturnya gimana kan kita nggak dikasih tahu to Bu. Jadi mau nggak mau ya terpaksa kita lagi yang harus berusaha ngatur sendiri.. hehehe..
Ah masnya ini kok malah bikin pusing. Pokoknya jalani saja sekuatnya kan pasti nanti rejeki datang sendiri.
Iya Bu. Matur nuwun ya..
Saya yang matur nuwun. Pareeng..
Mangga..
Aku perhatikan ibu itu memberesi dagangannya dan berjalan lagi. Lalu tiba-tiba otakku memaksa untuk berfikir. Begitu terkesan aku pada ibu itu hingga hanya tersisa ruang sedikit di kepala untuk menerima sinyal dari lidah tentang nyamannya jenang grendul.
Kesetiaan dan kepasrahannya luar biasa. Bisa jadi mengalahkan para konglomerat dan pengusaha sukses lainnya. Namun mengapa hasilnya berbeda? Tak ada tanda-tanda peningkatan kesejahteraan yang menyolok. Tak ada tanda-tanda usaha yang membaik dan membesar. Ajeg saja. Dan bisa jadi segera surut disapu perubahan jaman.
Apakah ada yang salah dengan kesetiaannya? Sia-siakah kepasrahannya pada Sang Maha Pengatur Rejeki? Aku terngiang jawaban-jawaban 'nggak inget' dan 'nggak tentu' yang sering dia berikan. Andaikan si Ibu punya waktu barang sejenak untuk memahami pola usahanya, struktur biaya dan keuntungan, kriteria pelanggan, dan parameter-parameter ilmu-ilmu bisnis dasar lainnya, bisa jadi dia akan mendapatkan ide bagaimana mengembangkan usaha. Lalu kesetiaan dan kepasrahan membaja sebagai modal dasar utama yang dia dimiliki berubah menjadi senjata hebat untuk mendukung rencana pengembangan bisnisnya.
Dan ibu itu tidak sendiri. Di lingkungan rumah orang tuaku ini saja, bisa kusebut beberapa. Penjual krupuk, tahu, bubur kacang ijo, penjual bakso keliling, ayam tenongan.. Banyak sekali! Dan mungkin hanya satu dari sekian banyak pengusaha-pengusaha super kecil itu yang bisa mengembangkan usahanya.
Para rakyat pengusaha yang menjadi tiang penunjang kehidupan masyarakat, mereka sangat layak mendapat perhatian dan bimbingan. Jadi harus ada yang memulai..
Eits.. jangan jangan jangan! Aku belum bisa.. Mending berhenti mikirnya dan nikmati jenang grendul yang tersisa.. Emang asli nikmat..