.
Ibrahim mengangkat tangannya yang memegang pisau menganga. Anak yang terikat dihadapannya mungkin tak jelas terproses citra dan jeritnya oleh mata dan telinga. Karena rasa dan pikiran ditutup dan dikosongkan kecuali untuk dengung suara-suara yang terus bergaung sejak beberapa hari silam dan tegas diyakini tanpa tanya itulah Tuhan yang bersabda..
Sepersekian detik kemudian, di sela kilat pisau yang bersiap menghunjam, suara itu datang lagi menggema memukau menghentikan! Hanya kali ini terasa lebih damai dan lembut. "Hentikan Ibrahim.. Sekarang Aku tahu kau mencintai Aku melebihi segala yang kau cinta.. Lepaskan anakmu dan gantilah dengan seekor domba yang sudah Kupersiapkan.."
Cerita keberanian dan pengorbanan yang mencengangkan. Tersebar ke penjuru daerah dan jaman, dari mulut ke mulut lalu diabadikan dalam tulisan. Di loh batu dan kertas-kertas generasi awal.
Kemudian kubayangkan kejadian imaginer beberapa ribu tahun berselang..
"Daniel, sembelih anak sulungmu sebagai tanda kesetiaanmu padaKu"
"Hei.. Suara apa ini? Mendengung serasa memecahkan gendang entah dari mana.. Oh sungguh mengagumkan.. Akan tetapi betapa permintaan tak masuk akal dan mengerikan.."
"Akulah Tuhan yang menuntut kesetiaan iman.."
"Hahaha.. Kuakui kau punya keajaiban.. Menggemakan permintaan di telinga tanpa terlihat mulut yang mengucapkan. Tapi kau bukan Tuhan! Atau mungkin saja, meski jelas bukan Tuhan yang selama ini aku takjubkan"
"Menyembelih anak sendiri untuk membuktikan kesetiaan? Hahaha.. Sudah sering kudengar keanehan atas nama iman kepadaMu. Dan kali ini adalah yang paling bodoh dan menggelikan! Jika Kau memang Tuhan, mengapa Kau tak juga mengenal aku si secuil ciptaan? Atau mengapa tak Kau cabut sendiri nyawanya lalu Kau tersenyum puas melihat aku menderita sementara hanya pasrah yang kubisa karena aku bukanlah tandingan? O ya, mengapa tak Kau cabut nyawaku saja sekalian?
Silakan Kau cari orang lain yang cukup naif untuk menuruti permintaanMu menyembelih anak kandungnya sendiri. Dan Kau juga harus melumpuhkan aku, karena aku akan sekuat tenaga mencegahnya menurutiMu. Kegilaan yang tak akan kuat kutahan.."
Kisah Abraham -- atau Ibrahim -- yang berniat menyembelih anaknya atas permintaan Tuhan, sampai hari ini masih mengguncangkan pikiran dan hatiku. Tuhan beribu tahun yang lalu seharusnya tak perlu beradaptasi dengan waktu untuk tetap sama dengan Tuhan di hari ini. Namun agaknya Dia harus tunduk pada persepsi manusia di masing-masing jamannya. Apa yang hari ini bisa dianggap kelainan jiwa yang sesat, dahulu ternyata adalah bukti kekuatan iman. Meski keduanya dalam namaNya. Aku tak hendak mempertanyakan kebenaran. Dongengkah atau sejarah beratus abad silam. Pencarian kepastian yang absurd kecuali dari kacamata kepercayaan. Aku hanya tertarik pada pembenaran. Bahwa kisah tersebut pantas untuk diabadikan.
Beberapa hari lagi, beribu-ribu kilo daging kambing dan sapi akan dicincang lalu dibagi-bagi. Terutama kepada jutaan saudara-saudara yang bisa dibilang sangat jarang menikmati. Semua orang berpesta. Bergembira dalam suasana ikhlas berbagi menyambut janji Tuhan yang indah membalas kesetiaan. Ingatan menayang rekaman masa kecil, berkumpul bersama teman tertawa mengelilingi api membakar potongan-potongan daging yang bumbunya tak karuan tapi entah mengapa daging yang alot masih saja bisa terasa nikmat dan nyaman. Mendadak aku menjadi malu dan sendirian merasa terkucil. Mengapa keindahan dan kemesraan harus dipertanyakan? Adakah yang perlu diluruskan dari empati dan keikhlasan?
Orang bijak menyimpulkan bahwa ayat tidak berdiri sendiri. Gunakan nurani untuk menafsir teks-teks suci. Lalu kutinggalkan Tuhan sendiri, dan kunikmati misteriNya memberkahi bumi.
Sepersekian detik kemudian, di sela kilat pisau yang bersiap menghunjam, suara itu datang lagi menggema memukau menghentikan! Hanya kali ini terasa lebih damai dan lembut. "Hentikan Ibrahim.. Sekarang Aku tahu kau mencintai Aku melebihi segala yang kau cinta.. Lepaskan anakmu dan gantilah dengan seekor domba yang sudah Kupersiapkan.."
Cerita keberanian dan pengorbanan yang mencengangkan. Tersebar ke penjuru daerah dan jaman, dari mulut ke mulut lalu diabadikan dalam tulisan. Di loh batu dan kertas-kertas generasi awal.
Kemudian kubayangkan kejadian imaginer beberapa ribu tahun berselang..
"Daniel, sembelih anak sulungmu sebagai tanda kesetiaanmu padaKu"
"Hei.. Suara apa ini? Mendengung serasa memecahkan gendang entah dari mana.. Oh sungguh mengagumkan.. Akan tetapi betapa permintaan tak masuk akal dan mengerikan.."
"Akulah Tuhan yang menuntut kesetiaan iman.."
"Hahaha.. Kuakui kau punya keajaiban.. Menggemakan permintaan di telinga tanpa terlihat mulut yang mengucapkan. Tapi kau bukan Tuhan! Atau mungkin saja, meski jelas bukan Tuhan yang selama ini aku takjubkan"
"Menyembelih anak sendiri untuk membuktikan kesetiaan? Hahaha.. Sudah sering kudengar keanehan atas nama iman kepadaMu. Dan kali ini adalah yang paling bodoh dan menggelikan! Jika Kau memang Tuhan, mengapa Kau tak juga mengenal aku si secuil ciptaan? Atau mengapa tak Kau cabut sendiri nyawanya lalu Kau tersenyum puas melihat aku menderita sementara hanya pasrah yang kubisa karena aku bukanlah tandingan? O ya, mengapa tak Kau cabut nyawaku saja sekalian?
Silakan Kau cari orang lain yang cukup naif untuk menuruti permintaanMu menyembelih anak kandungnya sendiri. Dan Kau juga harus melumpuhkan aku, karena aku akan sekuat tenaga mencegahnya menurutiMu. Kegilaan yang tak akan kuat kutahan.."
Kisah Abraham -- atau Ibrahim -- yang berniat menyembelih anaknya atas permintaan Tuhan, sampai hari ini masih mengguncangkan pikiran dan hatiku. Tuhan beribu tahun yang lalu seharusnya tak perlu beradaptasi dengan waktu untuk tetap sama dengan Tuhan di hari ini. Namun agaknya Dia harus tunduk pada persepsi manusia di masing-masing jamannya. Apa yang hari ini bisa dianggap kelainan jiwa yang sesat, dahulu ternyata adalah bukti kekuatan iman. Meski keduanya dalam namaNya. Aku tak hendak mempertanyakan kebenaran. Dongengkah atau sejarah beratus abad silam. Pencarian kepastian yang absurd kecuali dari kacamata kepercayaan. Aku hanya tertarik pada pembenaran. Bahwa kisah tersebut pantas untuk diabadikan.
Beberapa hari lagi, beribu-ribu kilo daging kambing dan sapi akan dicincang lalu dibagi-bagi. Terutama kepada jutaan saudara-saudara yang bisa dibilang sangat jarang menikmati. Semua orang berpesta. Bergembira dalam suasana ikhlas berbagi menyambut janji Tuhan yang indah membalas kesetiaan. Ingatan menayang rekaman masa kecil, berkumpul bersama teman tertawa mengelilingi api membakar potongan-potongan daging yang bumbunya tak karuan tapi entah mengapa daging yang alot masih saja bisa terasa nikmat dan nyaman. Mendadak aku menjadi malu dan sendirian merasa terkucil. Mengapa keindahan dan kemesraan harus dipertanyakan? Adakah yang perlu diluruskan dari empati dan keikhlasan?
Orang bijak menyimpulkan bahwa ayat tidak berdiri sendiri. Gunakan nurani untuk menafsir teks-teks suci. Lalu kutinggalkan Tuhan sendiri, dan kunikmati misteriNya memberkahi bumi.