.
Kesewenangan tampaknya bukan hanya karena kekuatan dan ketakutan. Misi suci yang diyakini, cukup sekali telan lalu berefek mengangkat derajat beberapa level dibanding orang-orang di sekitar, kuat mendasari hingga semua polah menjadi seolah normal dan wajar. Tak perlu dibicarakan tak perlu didiskusikan, semua kebenaran terang benderang tinggal bagaimana memenangkan pertempuran.
Setelah melalui jaman kediktatoran tunggal, dimana kesewenangan mengatasnamakan stabilitas dan pembangunan, sekarang jamannya kesewenangan yang lebih beraroma spiritual namun kemudian terasa lebih miris menakutkan: atas nama Tuhan. Di televisi ditayangkan, serombongan massa berwajah keras berulang-ulang meneriakkan nama Tuhan, berjalan bergegas dengan satu tujuan: mempertobatkan kaum sesat. Pilihannya adalah patuh atau hancur! Jangan lupa, Tuhan sendiri yang berdiri di belakang semua ini.
Tuhan sang dalang, seharusnya adalah Tuhan yang sama dengan sang pencipta segala hal. Diantaranya adalah kemegahan alam semesta dan manusia-manusia penghuninya dengan berbagai macam jalan pikiran termasuk lingkungan yang membentuknya. Namun apa perlunya memikirkan itu semua? Kekaguman, penghargaan, penghormatan, rendah hati, mawas diri, dan kelembutan budi, apakah hari ini masih menjanjikan sebagai jalan utama menuju kenikmatan setelah kematian? Di era instan dimana teknologi mampu membuat segala hal bisa dijangkau dan diseleksi sesuai keinginan, manusia tak lagi perlu beradaptasi dan bertenggang rasa dengan lingkungan. Tinggal pilih golongan yang sesuai maka itulah makna identitas. Dan sang liyan jangan sampai menyentuh dan menyinggung ego kelompok. Karena ini adalah kunci ketuhanan jaman sekarang.
Dan Tuhan sang dalang agaknya membiarkan semua ini kecuali dengan hukum alamNya yang gamblang tak peduli ideologi. Manusia-manusia yang menjadikan Tuhan sebagai pembenar utama tak pernah mampu membuatNya bersuara. Sedangkan klaim bahwa tindakan mereka mencontoh sang nabi, juga tak bisa bulat diterima karena jelas tak ada saksi mata yang masih hidup hingga di jaman ini dan bisa dimintai klarifikasi. Maka semua adalah kepercayaan. Adalah interpretasi. Oleh karenanya relatif. Sayangnya relativitas hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menyadari bahwa pendapatnya setara dengan pendapat orang lain sebagai sesama mahluk ciptaan pencari kesejatian. Tidak melebihi. Di lain pihak, kenyamanan kemutlakan selalu takut kepada perbedaan. Dan ketakutan menghalalkan kesewenangan.
Kembali di televisi. Rombongan massa yang hanya bisa merusak pagar akhirnya menginjak-injak kitab yang dianggap suci oleh kelompok lain, mungkin tahu persis bagaimana rasanya jika sesuatu yang dianggap suci dihinakan sedemikian rupa. Hal itu nampak dari kepuasan yang terpancar dari wajah-wajah mereka hingga sejenak emosi mereda lalu meninggalkan tempat sembari menitipkan beberapa ancaman disertai yel-yel kemenangan. Penonton terdiam. Sebagian mungkin diam-diam membenarkan. Sebagian besar lainnya mungkin tak setuju namun kejadian yang terus berulang menjadikannya hal biasa hingga yang peduli hanya sedikit tersisa. Lalu orang lebih asyik berdebat panjang mengenai perbedaan tafsir untuk memenangkan pendapatnya dan mulai melupakan para korban yang terus berjatuhan.
Rombongan massa yang resah karena keyakinan orang lain, merasa berhak menebar keresahan dengan tindakan brutal. Demokrasi yang sering dimaki sebagai sistem yang muncul dari orang-orang yang menolak Tuhan, diterapkan mentah-mentah sebagai yang merasa berjumlah lebih banyak hingga berhak untuk membungkam yang sedikit. Meski hakekat demokrasi yang dilandasi penghormatan pada hak-hak asasi masing-masing pribadi justru diabaikan.
Kesewenangan tampaknya bukan hanya karena kekuatan dan ketakutan. Namun juga kepicikan. Karena perbedaan tak terhindarkan, maka semua orang pada akhirnya akan merasakan dampaknya. Oleh karenanya harus segera kita lawan. Mulai sekarang.
Setelah melalui jaman kediktatoran tunggal, dimana kesewenangan mengatasnamakan stabilitas dan pembangunan, sekarang jamannya kesewenangan yang lebih beraroma spiritual namun kemudian terasa lebih miris menakutkan: atas nama Tuhan. Di televisi ditayangkan, serombongan massa berwajah keras berulang-ulang meneriakkan nama Tuhan, berjalan bergegas dengan satu tujuan: mempertobatkan kaum sesat. Pilihannya adalah patuh atau hancur! Jangan lupa, Tuhan sendiri yang berdiri di belakang semua ini.
Tuhan sang dalang, seharusnya adalah Tuhan yang sama dengan sang pencipta segala hal. Diantaranya adalah kemegahan alam semesta dan manusia-manusia penghuninya dengan berbagai macam jalan pikiran termasuk lingkungan yang membentuknya. Namun apa perlunya memikirkan itu semua? Kekaguman, penghargaan, penghormatan, rendah hati, mawas diri, dan kelembutan budi, apakah hari ini masih menjanjikan sebagai jalan utama menuju kenikmatan setelah kematian? Di era instan dimana teknologi mampu membuat segala hal bisa dijangkau dan diseleksi sesuai keinginan, manusia tak lagi perlu beradaptasi dan bertenggang rasa dengan lingkungan. Tinggal pilih golongan yang sesuai maka itulah makna identitas. Dan sang liyan jangan sampai menyentuh dan menyinggung ego kelompok. Karena ini adalah kunci ketuhanan jaman sekarang.
Dan Tuhan sang dalang agaknya membiarkan semua ini kecuali dengan hukum alamNya yang gamblang tak peduli ideologi. Manusia-manusia yang menjadikan Tuhan sebagai pembenar utama tak pernah mampu membuatNya bersuara. Sedangkan klaim bahwa tindakan mereka mencontoh sang nabi, juga tak bisa bulat diterima karena jelas tak ada saksi mata yang masih hidup hingga di jaman ini dan bisa dimintai klarifikasi. Maka semua adalah kepercayaan. Adalah interpretasi. Oleh karenanya relatif. Sayangnya relativitas hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menyadari bahwa pendapatnya setara dengan pendapat orang lain sebagai sesama mahluk ciptaan pencari kesejatian. Tidak melebihi. Di lain pihak, kenyamanan kemutlakan selalu takut kepada perbedaan. Dan ketakutan menghalalkan kesewenangan.
Kembali di televisi. Rombongan massa yang hanya bisa merusak pagar akhirnya menginjak-injak kitab yang dianggap suci oleh kelompok lain, mungkin tahu persis bagaimana rasanya jika sesuatu yang dianggap suci dihinakan sedemikian rupa. Hal itu nampak dari kepuasan yang terpancar dari wajah-wajah mereka hingga sejenak emosi mereda lalu meninggalkan tempat sembari menitipkan beberapa ancaman disertai yel-yel kemenangan. Penonton terdiam. Sebagian mungkin diam-diam membenarkan. Sebagian besar lainnya mungkin tak setuju namun kejadian yang terus berulang menjadikannya hal biasa hingga yang peduli hanya sedikit tersisa. Lalu orang lebih asyik berdebat panjang mengenai perbedaan tafsir untuk memenangkan pendapatnya dan mulai melupakan para korban yang terus berjatuhan.
Rombongan massa yang resah karena keyakinan orang lain, merasa berhak menebar keresahan dengan tindakan brutal. Demokrasi yang sering dimaki sebagai sistem yang muncul dari orang-orang yang menolak Tuhan, diterapkan mentah-mentah sebagai yang merasa berjumlah lebih banyak hingga berhak untuk membungkam yang sedikit. Meski hakekat demokrasi yang dilandasi penghormatan pada hak-hak asasi masing-masing pribadi justru diabaikan.
Kesewenangan tampaknya bukan hanya karena kekuatan dan ketakutan. Namun juga kepicikan. Karena perbedaan tak terhindarkan, maka semua orang pada akhirnya akan merasakan dampaknya. Oleh karenanya harus segera kita lawan. Mulai sekarang.