.
Mantan presiden Soeharto wafat.
Bukan kabar yang terlalu mengejutkan, meski tetap membuat terdiam sejenak. Dan kemudian, dari berita liputan dan tayangan penghormatan yang tak kunjung henti, tak lagi terasa bahwa Beliau adalah mantan presiden. Mungkin rasa di hati dan ingatan saya (dan mungkin pula banyak pejabat serta sebagian anak bangsa), Soeharto memang masih presiden. Boleh saja gelar legalnya adalah mantan. Tapi ini bukan masalah legal, ini soal perasaan.
Ada seseorang mengatakan kepada saya, bahwa Soeharto menderita di penghujung perjalanan hidupnya. Dan kematian akan mengantarnya pada siksa. Mulai dari 7 langkah pelayat terakhir yang meninggalkan kuburnya, sejak itu ia harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Saya terdiam. Tidak mengiyakan karena saya tidak mau bersepakat, namun tidak pula membantah karena tak merasa ada manfaatnya untuk berbantah tentang sesuatu yang jelas tak akan ada ujungnya. Saya lebih suka terdiam dan membayangkan versi personal saya sendiri. Betapa beruntung Soeharto bahwa di hari-hari terakhirnya, setelah menjalani umur panjang dan menyenangkan, semua orang begitu tampak mencintai dia, mengupayakan sekuat tenaga dan doa agar yang terbaiklah yang diterimanya. Ketika akhirnya nyawa benar terpisah dari raga, Soeharto melihat jasadnya dikerubungi anak cucu dan sanak saudara yang menangis. Dan tampak cahaya putih terang bersinar dari satu sudut yang hanya bisa dilihatnya, dari sana muncul malaikat yang tak kalah terang siap menjemput. Suharto minta waktu sejenak. Ia berusaha menjelaskan pada anak-anaknya, bahwa ia tak perlu ditangisi karena telah terbebas dari penderitaan raga. Meski akhirnya dia sadar bahwa lain dunia membuatnya tak lagi bisa berkomunikasi dengan mereka. Dia tersenyum kepada sang malaikat dan meraih uluran tangannya, terbang menuju ke suatu tempat antah berantah yang sangat indah dengan nuansa cerah warna bunga beraneka, gemericik sungai anggur beraroma. Puluhan bidadari cantik menyambut, namun Soeharto segera menemukan istrinya, dan berpelukan erat bahagia untuk beberapa lama. Kemudian ia tertawa bersalam-salaman dengan para sahabat yang terlebih dahulu disana. Lalu datang sesosok gagah berwibawa, yang membuatnya sedikit terkejut. Sosok Soekarno. Tetapi senyum hangat membuatnya segera berlari mendekat dan mencium tangannya dan dibalas dengan tepukan lembut dipundaknya..
Baiklah sekarang lupakan sejenak masalah kehidupan setelah kematian. Di dunia fana ini, masih ada pertanyaan-pertanyaan yang tertinggal. Bagaimana bangsa ini akan mencatat Soeharto? Bagaimana perkara-perkara yang ditudingkan kepadanya bisa dibuka terang-benderang dan menjadi pelajaran kita bersama? Bukankah sejarah yang ditutupi cenderung terulang kembali?
Mendadak entah apa sebabnya saya memikirkan kembali tentang kematian yang membuat saya ketakutan. Bagaimana kalau ternyata kehidupan setelah kematian jauh dari yang saya bayangkan? Bagaimana kalau ternyata nanti roh saya hanya bertemu sepasang mata yang menyorot tajam memandang penuh duka dan tanya hingga menusuk jantung hati saya yang terdalam dan memburai seluruh penyesalan hidup? Dan saya hanya bisa menangis tersedu-sedu tanpa henti di hadapan sepasang mata itu sambil membenamkan wajah di lautan sesal yang sangat luas...
(PS. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik bagi Pak Harto di sisi-Nya)