Monday, December 1, 2008

MENCETAK GENERASI DIGITAL

.

Hari Sabtu pagi, isteri mengajak saya untuk datang memenuhi undangan "Open House" sebuah lembaga pendidikan dasar tak jauh dari rumah. Memang anak saya tahun depan sudah usia sekolah dasar, jadi sekarang waktunya untuk mencari-cari sekolah yang tepat untuknya.

Parkir sudah lumayan penuh ketika kami sampai disana. Dari jauh nampak gedung mewah dan baru yang berdesain futuristik, terasa menyolok dibanding lingkungan perumahan yang masih dalam pembangunan. Dari halaman sudah terlihat suasana hiruk pikuk beberapa stand produk-produk komersial termasuk perbankan menyambut kehadiran kami. Beberapa teman orang tua murid TK juga sudah hadir disana. Setelah ngobrol dan tertawa-tawa sebentar, kami diundang ke lantai 2 untuk mendengarkan presentasi.

Seperti yang saya duga, ini adalah sekolah trend jaman sekarang. Temanya : "Selamat Datang Era Generasi Digital". Seorang bapak bule yang meskipun cukup lancar berbahasa Indonesia namun tetap terasa logat pemain sinetron menjadi salah satu pembicara. Sekolah ini akan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahkan para nanny yang menunggui anak sekolah akan diajari bahasa Inggris juga untuk memperlancar proses belajar anak. Ilmu yang diajarkan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, lengkap dengan fasilitas tercanggih untuk mendukungnya. Salah satu pelajaran ekstra kurikuler adalah robotika. Dan masih banyak promo-promo hebat lain untuk membuktikan bahwa sekolah ini sanggup mencetak generasi yang siap diserap era digital mendatang. Sedangkan jaminan kualitas adalah kurikulum yang kompatibel dengan sekolah-sekolah negara-negara maju.

Saya tak sanggup mengikuti presentasi sampai selesai karena rasa tak nyaman yang terus meminta untuk sesegera mungkin meninggalkan tempat duduk. Saya tinggalkan isteri saya lalu turun ke lantai dasar gedung tersebut. Di dinding sebelah tangga baru saya lihat beberapa tulisan-tulisan motivasi yang berdesain indah, bercerita tentang sukses, pencapaikan, harapan, visi, dan lain-lain. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Desain yang artistik dan cetakannya yang sempurna membuat saya menduga bahwa ini diproduksi oleh motivator terkenal yang sekarang sedang marak di media masa.

Di lantai dasar terlihat beberapa ibu sedang bernegosiasi dengan petugas pendaftaran. Saya menangkap informasi bahwa ibu-ibu itu minta waktu beberapa hari sebelum memutuskan membayar uang gedung, sedangkan petugas mengatakan bahwa mereka akan kehilangan salah satu dari diskon yang berjenjang-jenjang yaitu mulai dari 25% lalu 25% lagi kemudian 10% lagi. Sementara stand perbankan langsung menawarkan berbagai macam produk dari asuransi pendidikan anak sampai dengan kredit konsumtif tanpa agunan.

Suasana yang aneh untuk suatu lembaga pendidikan menurut saya. Namun nanti saya akan dengar beberapa orang tua murid yang juga teman-teman saya, mau tak mau menuruti tawaran pihak sekolah ini karena pertimbangan biaya masuk relatif lebih murah dibanding sekolah internasional sejenis yang sudah beroperasi beberapa tahun di lokasi tak jauh dari kompleks perumahan kami.

Sepulangnya, kami mencoba untuk mencari perbandingan dengan sekolah yang dikelola oleh yayasan yang sudah saya kenal bertahun-tahun silam. Lokasinya agak jauh, tapi bisa melalui jalan pintas dalam kompleks-kompleks perumahan. Suasana relatif sepi. Tak ada acara open house, dan pendaftaran murid baru masih beberapa bulan lagi. Namun beberapa tulisan-tulisan di dinding, yang meskipun tanpa desain yang atraktif dan tampak seperti cetakan asal jadi, mampu menentramkan hati saya. Seperti :"Hormatilah guru-gurumu dan sayangilah teman-temanmu", "Saya malu mendapat nilai jelek. Saya malu untuk mencontek", dan tulisan-tulisan tentang bagaimana cara anak dididik akan menentukan karakter si anak saat dewasa nanti. Di jendela-jendela kelas tanpa AC dengan bangku-bangku sederhana yang sudah kosong dipajang beberapa hasil karya siswanya. Tentang indahnya damai dan toleransi, tentang mengasihi sesama, yang dibuat dengan software komputer namun masih terlihat sentuhan kanak-kanak.

Saya tahu sekolah ini juga tak bebas dari sapuan badai komersialisasi pendidikan jaman sekarang. Namun saya percaya, masih ada nilai-nilai lama yang tegas diajarkan disini. Mungkin benar generasi mendatang adalah generasi robot digital yang memiliki kode binernya masing-masing, dan harus siap menjadi sekerup dan roda gigi dari mesin industri kapitalis yang berorientasi kemajuan tak mengenal kata empati. Bisa jadi nanti adalah jaman dimana kebijaksanaan masa lalu dan jati diri tergilas oleh globalisasi, kemudian moralitas dan spiritualitas tak perlu digali cukup diserahkan pada keajaiban identitas dan buku suci. Tapi sebagai manusia merdeka, saya merasa berhak untuk mengarahkan anak saya menjadi pribadi mandiri, mengenal diri sendiri, dan memiliki hati yang lapang untuk senantiasa mencintai sesama dan bumi.