Tuesday, January 6, 2009

MALAM NATAL DUA RIBU DELAPAN

.

Natalku tak selalu berkesan. Terkadang bahkan tak kunantikan. Tapi, tanpa jemu ia selalu datang memberi tawaran..

Dan malam natal kali ini aku memilih untuk sendiri duduk memandangi kerlip dan denyut senja kota asing di negeri yang jauh, dari ketinggian dalam bingkai jendela kamar hotel. Meski aku berencana mudik untuk berkumpul dengan keluarga di hari natal, namun undangan untuk berlibur bersama seluruh perwakilan kantor pusat ini terlalu penting dan bermanfaat untuk ditolak.

Ternyata kesendirian memberi waktu untuk merenung. Tentang natal di masa kecil yang berarti baju baru, menghias pohon natal mungil sederhana, menata patung-patung di gua buatan. Juga tentang lomba paduan suara di sekolah. Kemudian setelah aku meninggalkan rumah, natal menjadi identik dengan pulang kampung. Sendiri. Lalu bersama keluarga kecilku.

Benarkah Tuhan hadir di setiap hari natalku? Hari jumat siang kemarin ketika sedang bekerja di rumah, terdengar suara lantang melalui pengeras suara dari masjid di kompleks perumahan. Sang imam dengan tegas mengingatkan kembali kepada umatnya bahwa haram hukumnya mengucapkan selamat natal kepada kaum nasrani, karena natal adalah perayaan kelahiran nabi Isa yang dituhankan oleh kaum kafir, dan mengucapkan selamat berarti mengamini dan menyeret diri dalam kekafiran. Suara itu begitu nyaring dan membahana menembus dinding-dinding dan pintu rumah semua orang di dalam kompleks tanpa permisi. Seperti bunyi geludug kilat yang menggelegar tak memilih jendela kaca mana yang ia pecahkan dan pepohonan yang ia tumbangkan. Istriku sewot dan menggerutu. Aku lebih tertarik membayangkan mimik dan bahasa tubuh sang imam. Seorang setengah baya sedang berkotbah dengan meyakinkan dan dagu tegak. Jarinya menunjuk-nunjuk untuk menegaskan kata-katanya tentang iman yang mantap tanpa setitik celah. Bisa jadi ia benar-benar mau menyelamatkan umatnya. Atau mungkin ia dengan sengaja bersuara lantang agar kata-katanya terdengar oleh semua orang tanpa terkecuali. Mungkin pula ia yakin ia adalah corong bagi Tuhan yang menurutnya hanya mencintai umat seagamanya.

Aku tersenyum. Sayang pak imam tidak mengenal bapakku, salah satu umat yang ia kafirkan. Seorang suami yang begitu tulus mencintai istrinya dan membungkus cinta itu dalam doa kepasrahan dan harapan yang tak mengenal putus, yang didaraskan disamping sang istri tanpa henti pada pagi dan malam di setiap hari-harinya. Lalu Tuhan menjawab dengan mengulurkan tanganNya dan secara ajaib istrinya -- ibuku -- terbebas dari keharusan cuci darah tiap minggu yang sudah berbulan-bulan dijalaninya, mementahkan vonis kerusakan permanen dari dokter sang ahli. Dan masih ada berjuta-juta lagi kisah-kisah dari setiap sudut dunia tentang Tuhan yang membukakan pintu bagi umat manusia yang penuh kesabaran dan iman mengetuknya, dengan beraneka cara dan keyakinan mereka masing-masing. Mungkin sang imam tak sempat merenungkannya. Sayang..

Dan malam ini aku masih duduk sendiri. Membaca sms-sms selamat natal dari para sahabat yang beriman lebih matang dari sang imam. Sambil sesempatnya membalas. Perlahan-lahan aku merasakan Tuhan hadir sebagaimana natal-natalku yang lalu. Dalam kehangatan persaudaraan, dalam terang lampu-lampu kota yang meriah. Natal tanpa pengakuan mukjijat hanyalah peristiwa kelahiran seorang tokoh dunia. Namun dengan kesadaran akan mukjijat Tuhan, natal berarti kehadiran Tuhan yang lembut, mau menderita bersama-sama, dan memberi harapan bagi kaum yang lemah, kalah, takut, putus asa, sendiri, terpinggirkan.

Natal kali ini, aku menerima tawarannya untuk kembali percaya bahwa masih ada keajaiban natal, kehadiran Tuhan dalam kesembuhan, ketabahan, dan persaudaraan. Selamat natal..