Wednesday, January 21, 2009

LOGIKA HUKUM

.

"Ceritakan tentang Jakarta dan Indonesia.. Saya tertarik untuk berbulan madu di sana." kata teman Sudan saya di suatu pagi keperakan. Saat itu kami sedang duduk bersebelahan dalam sebuah perjalanan menggunakan bus yang lapang dan nyaman. Udara di luar yang dingin dan menusuk tak terasa di kabin bus yang hangat ini.

Wah.. sebelumnya selamat ya.. Kapan rencana menikah?

Tahun depan. Saya mau lihat dulu sebelum saya bawa istri saya.

Benar-benar kamu pria yang baik. So ceritakan dulu tentang pacarmu..

Pacar? Ya saya punya pacar. Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan. Dia bukan calon istri saya.

Lhoh? Maksudnya?

Saya punya pacar. Kami sering jalan bareng, nonton, makan, tidur bareng. Tapi dia nggak mungkin jadi istri saya.

Saya belum mengerti..

Dalam budaya masyarakat kami, seorang perempuan yang sudah terlihat berpacaran dengan laki-laki, tak layak lagi untuk dinikahi oleh lelaki manapun.

O ya? Jadi dengan siapa kamu akan menikah?

Anak dari teman ayah saya. Saya sudah pernah melihatnya sekali, dan saya merasa cocok.

Trus bagaimana dengan pacarmu sekarang? Apakah dia nggak memintamu untuk menikahinya?

So many times! Dan saya tahu bahwa dia benar-benar mencintai saya. Tapi sesungguhnya dia juga tahu bahwa saya nggak mungkin menikahinya.

Hmm..

Saya tahu ini nggak masuk dalam logikamu. Even tidak juga dalam logika saya. Tapi begitulah tradisi masyarakat kami..

Percakapan terhenti. Kami telah tiba di tujuan. Pemandangan di luar yang begitu mengagumkan dan tidak ada di negara kami masing-masing membuat kami lebih tertarik untuk menikmatinya. Serpihan salju yang berjatuhan dengan kecepatan lebih rendah dibanding air hujan biasa, pohon-pohon memutih yang ditinggalkan dedaunannya, dan warna perak yang mendominasi dan menyelimuti matahari sehingga ia tampak seperti bola perak besar, terlalu indah untuk dilewatkan.

Namun tak lama saya kembali merenungkan pembicaraan kami. Betapa anehnya cerita teman saya. Saya tahu ia bukan orang jahat atau tidak taat aturan. Bahkan di negeri ini dia hanya mau makan daging ikan karena ia tidak yakin daging binatang yang lain telah disembelih dengan tata cara yang menurutnya benar. Namun toh ia tak juga mampu mengatasi keanehan logika masyarakatnya.

Di tempat kami berada ini, perempuan begitu kuat kedudukannya. Mereka punya rentang hak yang sangat luas tentang kepantasan berdandan, dan hukum akan melindunginya dengan mengganjar keras para laki-laki tak beradab yang tak mampu menahan diri. Sementara di masyarakat lain, hukum lebih suka mengurung penampilan si perempuan daripada menghukum reaksi hasrat rendah para laki-laki tak sopan. Anehnya, kedua  tersebut berasal dari moralitas yang sama yaitu bahwa perempuan perlu dilindungi.

Saya percaya bahwa semua hukum masyarakat beradab didasari pada nilai-nilai moralitas yang baik. Namun hukum yang dihasilkan oleh nilai-nilai baik ternyata hanyalah benda mati. Yang tak punya mata. Dan tak lagi punya hati. Ia tak peduli bagaimana manusia menyikapi. Tak lagi mampu merefleksi situasi dan menerima umpan balik. Masih selalu diperlukan manusia-manusia baik dan mau berfikir kritis, untuk senantiasa merevisi hukum itu sehingga sesuai dengan keadilan dan niatan baik yang melahirkannya.

Sesampai di hotel saya pandangi foto anak-anak perempuan saya, Fynca dan Neofa. Tak ada hal lain di dunia ini selain senyum keduanya yang membuat hidup saya bermakna. Dan malam ini betapa saya merasa sangat ingin mencemaskan masa depan mereka. Tapi itu tidak terjadi. Saya tak mampu mencemaskan hari-hari mendatang yang bukan milik saya, bahkan tak tersentuh oleh imaginasi saya. Saya hanya bisa mengingatkan diri sendiri, untuk senantiasa membekali mereka dalam menghadapi dunia dengan rasa percaya diri dan harga diri, dan pikiran yang mau terbuka atas nilai-nilai diri sendiri dan orang lain.