Thursday, December 6, 2007

PERSEPSI

.
Dokter. Apa yang terlintas di benak saat kata itu terdengar atau terbaca? Bagi saya, segera tergambar kekaguman atas kepandaian dan kemuliaan seorang manusia untuk menjadi penolong tulus bagi sesama yang sedang sakit lemah menderita. Lalu satu lagi : Pemuka agama. Manusia pilihan berbudi pekerti menakjubkan dengan kesadaran dan kebijaksanaan melebihi orang awam. Kepadanya kebimbangan ditanyakan untuk mendapat jawaban mencerahkan tentang kemauan Tuhan. Sedangkan manusia? Untuk yang ini selalu melekat idiom lama yang masih segar bermakna. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

Dan hari-hari ini, setelah berdiskusi panjang dan mengasyikkan dengan seorang sahabat lama, ada hal yang begitu nyata namun diperlukan waktu sejenak, bahkan beberapa, untuk menyadarinya. Bahwa label tidak selamanya mampu menyatukan predikat dengan si pembawa label. Meski kadang kita terlupa. Meski sang pelaku pun kadang tak merasa.

Sulit sekali dicerna, mendengar cerita tentang seorang dokter yang marah-marah kepada dokter muda karena merasa direbut pasiennya. Lalu menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya agar si dokter muda terhalang untuk bekerja. Bahkan sang dokter jumawa juga merasa berhak mendapatkan honor dari hasil kerja si dokter muda. Atau ini yang lebih mengerikan: seorang pemuka agama panutan menikahi siri seorang istri yang bahkan belum resmi bercerai! Terperangah.. Untuk segera mengulang makna itu lagi: manusia adalah tempatnya salah dan lupa..

Tetapi persepsi bukanlah kata-kata kosong belaka. Ia menguasai. Meski pada awalnya kita merasa memperalatnya, namun perjalanan yang tak terduga ternyata menuju kekalahan akal yang memang tak mampu untuk selalu siap berlelah-lelah mempertimbangkan seluruh kemungkinan. Kebenaran menjadi kabur, bahkan kemudian menyatu dengan sang persepsi yang meraja. Karena cerita berikutnya adalah bukti bahwa sistem pun tak mampu mengatasi. Lalu kebenaran adalah fitnah dilihat dari seberang sisi. Sisi mana? persepsi kitalah -- yang biasanya sama dengan presepsi mayoritas -- yang menentukan.

Karena persepsi juga tidak turun dari langit. Ia dibentuk. Melalui proses panjang, melalui atribut dan dandanan, dengan kesadaran maupun tidak. Dan manusia, baginya ketidakpastian dan ketidaktentuan adalah kebodohan. Tak sabar untuk bergegas pada kesimpulan yang digiring oleh refleksi dan asumsi sementara yang segera mengkristal. Meski untuk itu berarti menciptakan kurungan pikiran dengan mencukupkan diri pada informasi yang tak perlu diperbaharui kecuali sejalan dengan alur persepsi yang telah keras mengendap.

Kali ini saya tak mampu mengelak dari kebenaran. Karena ia datang dari seorang sahabat yang berpuluh tahun saya kenal. Namun bagaimana kebenaran yang sejatinya sangat penting ini bisa disebarluaskan? Untuk waspada terhadap kemutlakan persepsi, atau sekedar mengingatkan bahwa semua adalah manusia yang sah untuk sekali-sekali salah dan lupa yang berada di balik semua label? Meski jika label itu adalah tentang dokter, pahlawan, atau pemuka agama sekalipun? Saya berharap untuk dapat selalu percaya pada kalimat bijaksana yang menenangkan bahwa kebohongan mungkin bisa berkuasa, namun hanya atas sementara orang dan tak akan selamanya. Semoga.