Monday, December 3, 2007

SANG PEJABAT

.
Laporan kekayaan seorang pejabat di awal masa tugasnya : Rp 5,3 miliar.

Enam tahun kemudian sejak berikrar untuk menjadi pejabat yang bersih dari korupsi, berikut temuan sementara tentang kekayaannya:
Rumah mewah di Jakarta Selatan dengan nilai sekitar 10 miliar. Rumah mewah di lokasi tak berjauhan masih di Jakarta Selatan, diperkirakan nilai setara. Di dalamnya ditemukan seember uang ditutupi pakaian basah. Lalu sejumlah aset berupa tanah, rumah, dan sejumlah perusahaan (yang tentu saja bergerak di bidang yang sesuai dengan lembaga negara yang dipimpinnya). Sebuah pom bensin di pinggir tol, tanah super luas di Bekasi senilai Rp 20 miliar, sebuah gedung pertemuan di kawasan asri Bogor.
Kemudian di kota kelahiran sang pejabat, rumah dan tanahnya tersebar dengan total luas mencapai 11 ribu meter persegi, dimana salah satunya adalah rumah kuno tradisional yang belum selesai dipugar senilai sekitar Rp 17 miliar. Konon, dipajang kereta kencana seharga Rp 2 miliar..


Bahkan seekor ular pun tahu arti kenyang dan kapan saatnya berhenti makan (Emha Ainun Najib).


Aku membayangkan jika keajaiban memberiku kesempatan untuk bertukar tempat dengan sang pejabat. Mampukah aku tampil beda dengan penuh idealisme menjalankan ikrar jabatan? Atau malah lebih licin mengalahkan segala belut dan tak mampu menghentikan nafsu bagai kecanduan akut? Mungkin pada awalnya terjadi pertempuran nurani yang menarik. Segunung beban moral setara dengan segenggam korupsi. Lalu neraca terus menerus bergeser setelah kenikmatan mulai menyodok menjadi penimbang rasa peringkat pertama. Dan gunungan moral terlalu cepat menjadi rata sementara kenikmatan berlipat-lipat tak juga membuahkan kepuasan. Ketagihan yang meningkatkan kadar kerakusan entah sampai kapan.


Manusia berubah. Dengan pola yang bisa dibaca dari sejarah.


Terdengar kabar sang pejabat mendadak pingsan di persidangan setelah tuntutan 20 tahun hukuman dibacakan. Pengacara mewah teramat mahal namun terkenal banyak akal tergopoh-gopoh menghampiri cemas. Kecemasan tulus atau profesional? Entahlah..

Dan keajaiban tak juga datang. Aku masih tetap tak bertukar tempat menjadi pejabat. Aku yang dididik untuk mencintai negeri ini tetap menjadi aku yang masih berhak marah namun hanya bisa mencemaskan kelakuan para pengambil keputusan. Dan aku tidak pingsan. Hanya baru bangun tidur karena mendengar istri dan anakku bercanda tertawa dan bernyanyi lalu aku ditarik-tarik untuk segera mandi. Pak pejabat, menurut ukuran anda, berapa miliar rupiah yang harus anda bayar untuk membeli sepenggal keriangan hati di pagi hari?