Friday, January 11, 2008

BELAJAR MORAL

.
Moral seperti apa yang ingin kau ajarkan pada anakmu?

Aku sendiri menginginkan anakku memiliki kepekaan yang tinggi. Bisa merasakan hal-hal yang tak harus dialaminya sendiri. Hingga mampu menghargai sesama, alam sekitar, yang juga berarti menghargai diri sendiri dan penciptaNya.

Aku merasakan bahwa itu tidak mudah. Hal ini terutama karena aku ternyata lebih pandai menilai orang lain tapi tidak diriku sendiri. Sedangkan aku mulai menyadari bahwa anakku belajar secara alamiah. Dengan naluri, ia meniru dan mengembangkan gerakan dunia. Dan dunianya saat ini adalah bersama kami orang tuanya.

Aku tak ingin anakku tak peka dengan penderitaan sesama di sekitarnya. Namun aku sering menolak pengemis yang mengetok-ngetok mobilku di kaca jendela. Kugerakkan tangan sekedarnya yang segera dipahami oleh si pengemis sebagai penolakan lalu ia berpaling dan berjalan menjauh. Beberapa kali tak sengaja kulihat anakku memandangi pengemis-pengemis itu hingga menghilang. Tetapi yang membuatku tersentak, saat ada seorang pengemis yang bahkan belum sempat menyentuh jendela mobil, tangan anakku bergerak persis mengikuti kebiasaanku..
Duh Gusti.. Pelajaran dariku telah sempurna ia terima..

Hal yang lain adalah sulitnya membahasakan rasa. Suatu ketika temanku datang ke rumah meminjam mobil. Kata anakku, Oom nggak punya mobil sendiri ya? Kok pinjem mobil bapak Daniel sih?
Kukatakan padanya untuk tak perlu bicara begitu. Kenapa? tanyanya. Karena itu mengisyaratkan sifat sombong. Apa itu sombong? Lalu aku membuat kalimat yang tak bisa dibilang singkat untuk mendefinisikan arti sombong. Anakku terdiam. Dan aku mengerti bahwa dia tidak mengerti. Hingga akhirnya lagi-lagi kukeluarkan senjata pamungkas tepa selira warisan kakek leluhurku yang entah siapa namanya. Kalau dik Fynca dibilang gini -- Fynca kok ikut mobil Bapak Daniel terus sih? Nggak punya mobil sendiri ya? -- Senang atau sedih dibilang begitu? Sedih, katanya. Ya sudah jangan bikin Oom itu sedih juga ya..
Kembali dia terdiam. Tapi kali ini aku yakin kalau diam itu berarti memahami.

Aku tak begitu ingat bagaimana kedua orang tuaku dulu mengajariku. Yang kuingat tak terlalu sering aku mendengar semburan nasehat kata-kata. Dan rasanya tak juga mereka mengandalkan agama. Semua mengalir saja. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Yang tiap pucuk-pucuknya ada nilai-nilai dan keindahan yang kita petik bersama. Anakku belum aku ajari satupun hafalan doa. Kuminta dia berdoa mengucapkan apa saja yang dia rasa. Aku percaya bahwa agama lebih bermanfaat untuk mengkonfirmasi pengalaman hidup dan hati. Nanti akan tiba saat yang tepat kapan agama bisa menguatkan kelembutan hatinya, bukan malah mengeraskan.

Ada kejadian kemarin sore. Malam-malam temanku semasa aku masih kos datang ke rumahku, mau menumpang memeras cucian karena harus dipakai pagi-pagi keesokan harinya. Anakku bilang, Tante nggak punya mesin cuci sendiri siiih..
Sepulangnya temanku, aku bisikkan ke telinga anakku. Dik, kalau dik Fynca nggak punya mesin cuci terus dibilangin -- nggak punya mesin cuci siiih -- rasanya seneng apa sedih?
Terlihat dia agak kaget, dan merenung beberapa saat. Lalu katanya, sedih.. Pak, dik Fynca sebenernya udah tahu nggak boleh ngomong begitu tadi. Tapi bapak Daniel ngasih tahunya udah lama sih.. Jadi dik Fynca lupa deh..

Malaikatku, engkau selalu mempesonaku.. Aku tahu engkau baru belajar menjadi anak. Tahukah engkau bahwa aku juga baru belajar menjadi bapak dan engkau yang mengajari aku?
Aku yang selalu mencintaimu..