Wednesday, January 23, 2008

SELANCAR

.
Kematian adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana dengan asa? Apakah ia harus dan niscaya ada hingga kematian tiba? Seseorang memutuskan untuk mempercepat pertemuannya dengan sang ajal, saat tiba kandasnya harapan yang habis terkikis seiring deraan dan hempasan gelombang bertubi-tubi yang tak lagi mampu ditaklukkan. Dan cerita kali ini adalah tentang seorang penjual gorengan yang terlilit hutang karena harga-harga bahan baku yang melonjak dahsyat menghantam secuil asanya yang tersisa. Bisa jadi ia tahu bahwa tidak semua adalah kesalahannya. Tidak semua keputusan ada di tangannya. Bisa jadi iapun menyadari dan memaki keadaan terkutuk yang bergerak sendiri tak memperdulikannya. Namun ini bukan tentang salah benar. Ini tentang bobolnya benteng pertahanan bernama harapan. Dan ini membalik – atau setidaknya membutakan – kesadaran wajar yang dahulunya begitu gampang ditelan, bahwa persoalan adalah bagian dari penggerak anugerah hidup yang selalu harus dirayakan.

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah: apakah dia manusia lemah yang harus kalah melawan alam yang terus menyeleksi? Ataukah ia adalah wajah kita, jika kita berada di situasi yang sama? Mungkin pikiran untuk bunuh diri tidak akan pernah (atau pernah?) terlintas dalam diri kita. Mungkin situasi dan kondisi pak Slamet – demikian ia bernama yang sekali lagi menambah ironi – terasa begitu absurd dibanding kenyataan kita yang nikmat-nikmat saja melakoni hidup di sekelilingnya. Tetapi kematiannya tak seharusnya hanya menghentak sekilas lalu berlalu begitu saja tanpa makna. Seharusnya kematiannya menggugah kesadaran para pemimpin bangsa yang diserahi kewajiban paling tinggi akan kesejahteraan rakyat. Dan kitapun harus segera tersadar sebagai bagian dari sistem yang mengantarnya pada keputusan kematian. Dan satu lagi, akankah kita setabah pak Slamet dalam mengulur takdirnya jika kita berada dalam posisinya?

Seorang pemusik dan penyair besar namun rendah hati pernah mengingatkan saya dengan lagunya. Dan peristiwa ini kembali mengiangkan dendangnya di kepala. Terus berselancar di atas ombak kehidupan. Atau tenggelam.


"Persoalan hidup kalau diikuti tak ada habisnya
Soal lama pergi soal baru datang
Bagai ombak bergulung sepanjang waktu
Kita mesti berselancar diatasnya atau tenggelam

Tak bisakah kita menerimanya
Sebagai satu kenyataan yang harus dihadapi
Tak bisakah kita bergembira karenanya
Agar hidup yang singkat ini jadi berarti

..
Selancari hidup sepanjang hari
Tarian maut bermahkota matahari
Menuju pantai kebahagiaan
Bersama hati yang suci
Kita rindukan ini semua
Lantas kenapa kita mesti bersedih
Bukankah ini yang kita cari
Semenjak purba hingga kini"

(Iwan Fals – Selancar)