Tuesday, April 15, 2008

HANNY

.
Hanny, teman yang saya kenal di tempat kos saya dulu, adalah seorang waria.

Itu jelas bukan nama sebenarnya. Tapi hanya itu yang saya ingat, sedangkan nama aslinya sudah lupa sama sekali. Badannya tinggi langsing, rambutnya sebahu berwarna terang. Kulitnya langsat khas orang seberang. Payudaranya menonjol seperti perempuan, berdandan dan berpakaian seperti perempuan. Perempuan yang seksi. "Tapi barangku masih ada lho mas.. Masih takut operasi. Bukan takut sama dokter, tapi takut sama nyokap.. hahaha..". Orangnya selalu riang. Keriangan yang membuat saya akhirnya berani ngobrol dengannya, bersama-sama teman kos yang lain. Dengan catatan, tangannya harus tetap di tempat semula, nggak boleh colak-colek. Candaannya yang sering nyerempet-nyerempet, membuat suasana sore di kos selalu meriah. Tampaknya Hanny juga bahagia bila berhasil menyenangkan teman-temannya.

Dulu waktu tinggal di Bandung, saya beberapa kali melihat waria-waria mangkal di Taman Maluku dan di jalan Sumatra. Atau bahkan sering berada dalam satu angkot dari Dago Atas. Tapi saya tak pernah memperhatikan atau mempertanyakan. Hanny yang membuat saya memikirkan tentang waria.

Pada suatu sore, ketika berkesempatan ngobrol berdua, saya bertanya kepadanya, apakah dia nggak mau berusaha mengubah orientasi seksualnya menjadi normal seperti laki-laki kebanyakan. Jawabnya, "Coba mas bayangin.. Yang serius yaa.. Coba bayangkan mas lagi begituan sama aku..". Saya terperanjat dan sedikit menggeser posisi duduk saya menjauhinya. "Kamu jangan ngomong gitu Han.. Geli aku dengernya.. ". Hanny berkata lagi, "Emang gimana perasaannya mas? Geli? Jijik? Eneg? Merinding?". "Ya iyalah.. Kamu kan tahu aku normal." jawab saya. Hanny tersenyum, katanya, "Jadi kalo mas mau tahu kenapa aku nggak mau berubah, ya karena perasaan yang sama persis dengan yang mas bayangkan sekarang..". Saya diam saja. Perasaan merinding masih belum hilang. Terdengar Hanny tertawa, "Tapi mas jangan takut.. Bukan berarti kalau aku suka sesama jenis terus sama semua cowok aku mau. Mas sih bukan tipeku. Nggak level.. hahahaha..". Saya meringis sambil garuk-garuk kepala.

Pernah saya baca dalam jurnal ilmu pengetahuan, bahwa homoseksualitas bisa dikarenakan guncangan psikologis yang hebat. Tapi banyak juga karena faktor genetis, yang berarti memang ada orang-orang yang terlahir membawa sifat homoseksual. Dan karena secara alamiah pasangan sejenis tidak memungkinkan menghasilkan keturunan, maka seleksi alam seharusnya membuat kaum homoseksual akan semakin langka dengan sendirinya karena tak bisa mewariskan sifatnya pada generasi berikutnya. Namun jurnal ilmu pengetahuan hanyalah hasil pemikiran manusia. Ia tidak suci. Tidak seperti kitab-kitab yang diyakini suci sejak dituliskan. Dalam kitab-kitab itu konon disebutkan bahwa homoseksualitas adalah perbuatan dosa yang harus diluruskan, dengan cara bertobat, menikah dengan lawan jenis, lalu beranak pinak. Itu kalau tak mau dicap layak mendapat murka Tuhan.

Saya membayangkan jika hidup dalam dunia paralel, dimana saya yang hanya menyukai lawan jenis ternyata dianggap tidak normal oleh masyarakat luas dan kitab-kitab suci. Sementara orang-orang yang merasa mendapat otoritas jadi wakil Tuhan di dunia itu menjadi semakin kuat, dan merasa berhak memaksa saya untuk berubah atau menimpakan amuk Tuhan melalui mereka. Saya bergidik lagi, sambil bersyukur bahwa Tuhan tidak memberikan cobaan seberat itu kepada saya.

Minggu ini saya membaca tulisan-tulisan yang mengecam seorang ulama karena beliau membela hak-hak kaum homoseksual. Setelah delapan tahun sejak meninggalkan tempat kos itu, kembali saya teringat Hanny.