Monday, April 28, 2008

TOLERANSI ITU

(Untuk Anis, tanda terima kasih dan balasan atas sharingnya yang indah..)

.
Lebaran pertama pasangan beda agama.

Malam itu, malam lebaran pertama setelah kami menikah, terasa begitu biasa seperti malam-malam sebelumnya. Karena kami tinggal di kompleks perumahan baru yang masih sepi dan masjid terdekat terletak cukup jauh, tak terdengar suara-suara takbir. Tak ada masalah bagi saya, namun istri saya terlihat begitu gelisah. Kemudian ia mengajak untuk berkeliling di sekitar-sekitar kompleks. Mencari suasana, katanya. Saya menuruti saja apa kemauannya. Akhirnya suara takbir kami dengar cukup jelas setelah berjalan sekitar 4-5 km dari rumah.

Saya rasa istri sudah merasa puas saat ia mengajak pulang. Sampai di rumah, suasana sepi kembali menyelimuti. Saya mulai mengantuk lalu masuk kamar sambil membaca bacaan ringan pengantar tidur. Istri tampaknya masih di ruang tengah menonton TV karena saya dengar suara channel TV yang berubah-ubah. Tak lama ia menyusul masuk ke kamar. Tapi bukannya langsung tidur, ia menyetel radio, mencari-cari dan akhirnya menemukan salah satu stasiun radio yang terus menerus mengalunkan gema takbir.

Saya mulai terganggu. Mencari suara takbir di luar rumah, atau bahkan dari TV di ruang tengah, saya masih bisa terima. Tapi ini di kamar, ruang paling pribadi, saya juga harus terpaksa mendengarkannya? Kemana lagi saya harus menghindar? Saya tutup telinga saya dengan bantal, tak peduli apakah istri tersinggung karenanya. Dan begitu ia keluar untuk ke kamar kecil, segera radio saya matikan.

Sekembalinya dari kamar kecil, istri saya marah. Tak tahukah kamu betapa sepinya perasaanku di malam lebaran ini? Belum pernah aku merasakan malam lebaran sekosong ini, dan ketika suara takbir dari radio itu sedikit menenangkanku, malah kau matikan juga? Tidakkah sedikitpun kamu bisa mengerti? Katanya penuh emosi. Saya jawab dengan segera: Kamu mau keluar aku antar. Kamu mau setel TV silakan. Tapi sampai di kamarpun masih kau setel radio, tidakkah itu sudah berlebihan?

Istri saya menangis membelakangi saya yang mendadak merasa sesak dan berkecamuk tak menentu. Tak tahu lagi apakah saya harus tetap merasa benar atau menyesal dan membenarkan kata-katanya. Akhirnya saya mencoba untuk tidur, meskipun sama sekali tak mudah karena suara isak tangis yang tak juga reda. Seperti apa nanti sisa hidup yang akan kujalani? Apakah aku benar-benar siap menghadapinya?

***

Pagi hari saya sudah berdandan rapi lalu duduk di ruang tamu menunggu istri saya yang sedang sholat Id di halaman sport center kompleks perumahan, sambil merenungkan kejadian semalam. Saya merasa sudah cukup banyak bertoleransi. Sebagai orang yang menyembah patung, saya membayangkan suatu saat jika punya rumah sendiri maka saya akan pasang salib di seluruh ruangannya, dan patung Bunda Maria di beberapa sudutnya, sebagaimana dulu di rumah orang tua tempat saya dibesarkan dan selalu merasa aman dalam lindungan Tuhan. Tetapi nyatanya itu tak saya lakukan, hanya ada satu salib kecil di ruang kerja saya. Itu karena saya menenggang perasaan dia. Saya juga selalu mendukung dan menemani sebisanya untuk semua ritual keagamaan yang dia lakukan. Maka jika semalam sesekali saya merasa terganggu, tak perlulah ia sedemikian marah.

Lalu saya mulai memikirkan pengorbanannya untuk bisa menjalani pernikahan seperti ini. Istri saya adalah seorang yang tegar dan rela meninggalkan keluarganya demi keyakinan bahwa keputusan untuk menikah dengan saya adalah keputusan yang benar. Saya yakin bukan sekedar karena cinta, tapi karena keyakinannya bahwa hanya ada satu Tuhan untuk semua, dan Dia yang paling mengetahui niat seseorang. Jelas saya mengagumi dan berdiri di sampingnya. Karena jiwa yang telah bebas tidak bisa dikurung oleh pemahaman manusia-manusia lain dalam hubungannya dengan Sang Pemilik Segala Jiwa.

Saya menjadi malu. Jika saya mengaku sebagai pengikut seorang manusia yang memancarkan cahaya Tuhan, dan Dia sendiri selalu mengingatkan untuk mampu melihat Allah dalam segala hal: dalam diri raja yang bijaksana, orang tua yang welas asih, petani yang tekun, gembala yang penuh cinta, juga pada kaum musafir dan fakir miskin, kemudian bahkan akhirnya saya merasa bisa merasakan kehadiranNya pada patung-patung itu, mengapa saya tidak mampu melihat Tuhan dalam diri istri saya dan gema doa-doa yang memuliakan namaNya?

Saya yang selalu mengaku pluralis dan toleran, pagi ini merasa masih harus banyak belajar tentang toleransi. Dalam ilmu metrologi yang pernah saya pelajari, toleransi berarti kesalahan pengukuran yang masih bisa diterima. Tetapi dalam kasus kami, toleransi seperti itu tidaklah cukup. Diperlukan toleransi tingkat tinggi yang berarti menerima dan menghargai keindahan dari keyakinan orang lain. Sebagaimana sebuah sabda yang seharusnya menjadi dasar pluralisme dan penghormatan tulus: Mereka yang tidak memusuhiKu, maka mereka bersamaKu.

Di pintu pagar saya lihat istri saya baru pulang. Ia tampak cantik sekali dengan celana jeans dan baju lengan panjang warna biru berselempang selendang warna biru muda. Mungkin karena potongan rambutnya yang baru. Mungkin pula karena dia sedang berbahagia. Ia tertawa saat saya minta untuk mencium lutut saya. Kami berpelukan sebentar lalu bersiap-siap mengunjungi rumah orang tuanya, dengan harapan lebaran ini menjadi awal hubungan silaturahmi keluarga yang hangat seperti dulu. Namun jika belum sekarang, mudah-mudahan masih ada lebaran-lebaran mendatang untuk kami coba lagi. Dan ada yang lebih penting. Banyak yang harus kami pelajari dan coba lagi dalam menjalani rumah tangga kami sendiri. Semoga setiap peristiwa adalah pelajaran-pelajaran kecil yang bisa kami lewati untuk semakin mampu menjadi dewasa dan bahagia. Toh, apapun jalan yang kita pilih, hidup seharusnya selalu dibuat indah dan membahagiakan bukan?