Sunday, April 20, 2008

MATEMATIKA DAN KEHIDUPAN

.
Apakah logika matematika mampu menjawab seluruh problematika hidup?

Siang itu sekitar jam satu, anak saya yang belum genap berumur lima tahun baru pulang dari sekolah TK A. Setelah salin baju, segera ia membuka tasnya, mengambil buku, lalu duduk serius di meja belajarnya. Saya yang kebetulan hari itu sedang bekerja di rumah, bertanya apa yang ia kerjakan. Dan saya sungguh terkagum-kagum: anak itu tak sabar ingin mengerjakan PR matematika.

Ibunya menjelaskan, memang anak saya sering terlihat sangat menikmati belajar matematika, melebihi pelajaran-pelajaran lain. Saya tersenyum bangga. Semoga anak ini akan jauh lebih hebat dari orangtuanya.

"Dua ditambah tiga berapa Pak?"
"Eee.. Sebelas!"
"Hahaha.. salah! Lima!"
"Masa sih? Oo.. iya ya.."

"Kalo enam ditambah tiga?"
"Hmm.. Dua belas?"
"Hahahaha.. salah lagi! Sembilan dong yang bener.."
"Bentaaar.. Tujuh.. Delapan.. Sembilan.. Oo iya sembilan.. Hehehe.."
"Hahaha.."

Sewaktu kecil, saya juga termasuk penggemar pelajaran matematika diantara rata-rata teman sekelas. Saya memang menikmati belajar matematika. Mulai dari pelajaran sekolah, sampai buku-buku kakak tentang teka-teki angka dan logika, metode-metode untuk menghitung cepat, game-game tentang matematika, dan lain-lain. Hasilnya juga lumayan. Nilai Ebtanas Murni saya untuk mata pelajaran matematika sepuluh koma nol nol. Meski masih jauh dari level luar biasa, saya sependapat dengan jawaban Will Hunting dalam film Good Will Hunting ketika ia ditanya pacarnya mengapa ia suka memecahkan penurunan rumus-rumus rumit. Jawabnya -- mengambil contoh dari kegemaran sang pacar bermain piano -- ia beranalogi bahwa meski bagi sebagian orang piano hanyalah deretan kayu-kayu berwarna putih dan hitam, bagi pianis dan pemusik ia tampak seperti benda yang merangsang, menggelitik, dan menantang untuk memainkan atau membuat komposisi musik yang indah.

Saya mengalami bahwa kegemaran pada matematika mampu membangkitkan percaya diri. Bahkan waktu itu saya yakin, hidup akan lebih mudah dengan kemampuan logika matematika yang tinggi. Meski hal itu ada benarnya, namun perjalanan waktu menyadarkan bahwa itu hanyalah sebagian kecil dari ilmu kehidupan yang harus dipelajari. Logika matematika belum juga mampu menjelaskan hal-hal seperti sifat-sifat manusia yang begitu beragam, sejarah dan masa depan yang tak pernah terang benderang, keindahan alam semesta, puisi, dan lukisan, atau rasa jatuh cinta dan cemburu yang seringkali tak masuk akal. Logika matematika tak juga sanggup menjabarkan dengan gamblang tentang Tuhan. Tuhan yang berwujud Dewa-Dewa, Tuhan yang beranak maupun tak beranak, Tuhan yang menjadi awal dan akhir dari segala hal. Semua tak ada yang masuk akal jika dibandingkan dengan logika matematika. Kecuali hanya didekati dengan asumsi, kesepakatan bersama, dan terkadang dengan kekuasaan. Entahlah jika nanti akan tiba suatu masa dimana segala aspek kehidupan dan keterkaitannya bisa diuraikan dengan rumus-rumus matematika yang super kompleks. Namun hari ini dan beberapa tahun mendatang, hal itu barulah sekedar imaginasi yang melampaui logika matematika termutakhir.

"Pak, tujuh ditambah tiga berapa? Tahu nggak?"
"Gampaaang.. Dua belas kaaan.."
"Salah! Sepuluh dong! Bapak ini iseng atau beneran nggak tahu sih??"

Hahahaha... Saya benar-benar tertawa geli. Bisa jadi bapakmu ini memang iseng. Tapi jawaban itu bisa benar bila menggunakan sistem bilangan tertentu. Kamu tak akan pernah tahu pikiranku. Masih banyak yang harus kamu pelajari nak. Dan jika nanti logika matematika tak juga mampu menjawab dan memuaskan persoalan-persoalanmu, beri sedikit waktu untuk merenung, meresapi, dan berempati. Hingga muncul jawaban dari hatimu -- entah benar atau salah, entah logis atau tidak, entah permanen atau sementara -- yang akan menuntun perjalanan hidupmu menjadi manusia yang sebenar manusia. Yang konon katanya berbudi, selain berakal.