Wednesday, February 20, 2008

KEMENANGAN DAUD

(refleksi dari film In the Valley of Elah)

.
Apa yang membuat Daud remaja berhasil mengalahkan Goliath sang raksasa?
Kecerdikan? Tidak cukup. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengeraskan hati.

Seorang tua veteran perang AS bersemangat menceritakan kisah Daud dan Goliath kepada seorang anak kecil bernama David. Orang tua itu -- Hank Deerfield, seorang militer sejati, ayah dari seorang prajurit yang belum juga pulang ke rumah sekembalinya dari tugas di Iraq -- meyakini bahwa terlebih dahulu harus mengalahkan ketakutan, untuk bisa dengan gagah memenangkan pertarungan.

Namun alur cerita berjalan muram. Saya terbawa rasa getirnya mengikuti perjalanan sang ayah mencari tahu mengapa anaknya belum juga pulang yang membuatnya perlahan-lahan mulai menyadari bagaimana perang telah mengubah jiwa sang anak. Ayah yang malu mendengar anaknya menangis saat menelpon untuk mengadu dan minta pertolongan karena baru mengalami peristiwa yang mengguncang nurani, ternyata sebenar-benarnya tak mengenali anaknya lagi. Suasana perang berkepanjangan membentuk jiwa prajurit-prajurit belia menjadi mahluk bengis dan beringas yang tak punya empati apalagi sopan santun, lari dari kenyataan dengan mabuk minuman dan narkoba, bangga dan tertawa menikmati penderitaan dan jerit kesakitan.

Hank terlambat untuk menyelamatkan anaknya. Ia hanya menjadi sadar, bahwa negaranya yang memilih jalan perang dengan alasan menyebar demokrasi demi perdamaian dunia, adalah bangsa yang sakit dan membutuhkan pertolongan segera.

Lalu siapa yang salah? Ketika Hank baru selesai menceritakan kepada David bagaimana Daud berhasil membunuh Goliath di lembah Elah hanya dengan bersenjata ketapel, ibunda David mengatakan bahwa kisah itu tak mungkin benar-benar terjadi. Tetapi Hank segera membantah. Katanya, kisah ini ada dalam kitab-kitab suci. Injil dan Qur'an.

Mungkin pilihan untuk berperang maupun menebar teror memang benar dilandasi keyakinan restu Tuhan. Mungkin gambaran Tuhan dalam agama Ibrahimi memang Tuhan yang sering menunjukkan kuasa dan eksistensi diri dengan memberi kemenangan bertempur kepada umat pilihanNya. Lalu terngiang kuat di kepala saya tentang nasehat guru SD saya, seorang jawa tulen beragama abangan. "Tuhan itu bersemayam di dalam setiap hati nurani. Tugas manusia adalah menjaga hati nuraninya agar selalu peka, lembut, dan tidak dikaburkan oleh nafsu dan angkara murka.."