Monday, February 11, 2008

PERJAMUAN TERAKHIR SOEHARTO

.

Mantan presiden Soeharto pasti akan meninggal. Orang-orang membayangkan bahwa saat masih cukup sehat, dia mengumpulkan anak-anaknya dan memberi wejangan-wejangan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan setelah dia meninggal. Peristiwa ini lebih enak jika digambarkan dilakukan sambil santap makan bersama.

Kemudian Soeharto benar-benar meninggal. Dan majalah Tempo menggambarkan perjamuan terakhirnya dengan mengadopsi lukisan perjamuan terakhir Yesus bersama para muridnya sebelum ia meninggal yang direka oleh Leonardo Da Vinci, dengan mengganti tokoh Yesus dengan Soeharto dan para murid digantikan anak-anaknya.

Sudah. Itu saja yang saya tangkap ketika melihat cover majalah Tempo terbaru. Tidak terpikir untuk menyamakan kisah hidup Soeharto dengan riwayat Yesus, sebagaimana saya percaya hal itu juga tidak terpikirkan oleh para redaktur majalah Tempo.

Namun ternyata beberapa orang marah. Mungkin ada dalam perasaan dan egonya yang tertohok oleh rasa tersinggung, dan ajaibnya -- atau konyolnya -- serta merta menyamakan bahwa ego Yesus sang anak manusia pasti akan terguncang juga. Saya tersenyum. Tetapi ini nyata. Kemarahan dan protes itu berhasil memaksa Tempo untuk harus meminta maaf.

Seorang di mailing-list yang merasa heran berteori tentang kecurigaan bahwa protes ini didalangi keluarga cendana yang tidak suka dengan pemberitaan majalah Tempo. Kembali saya tersenyum. Mengapa tidak sekalian mencurigai Amerika atau Yahudi sebagaimana biasa? Keheranan mungkin adalah alat untuk segera berkaca. Bagaimana ajaran lebih mudah dan praktis untuk menjadi ego daripada dilaksanakan. Bagaimana hari ini masih banyak orang lebih meyakini bahwa identitaslah yang menjamin kelapangan jalan menuju kenikmatan abadi, dibanding perenungan dan kesadaran senantiasa. Maka oleh karenanya harus dibela dengan segala cara.

Dan agaknya konsep manusia tentang Tuhan, semaha apapun kasih dan ampunNya, tak akan pernah bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Bukan Tuhan jika kekuasaanNya tak mutlak dan lalu pengikutnya tak merasa berhak menikmati tetesan-tetesan kemutlakan kekuatanNya. Bahkan Tuhan yang didaku oleh sesosok manusia lemah sekalipun. Seorang pria muda yang getaran cemas tubuhnya melinangkan darah dari pori-pori kulitnya saat berperang melawan keakuan dan ketakutan, kemudian mati hina dirajam cambukan dalam tusukan paku dan tombak di tubuhnya. Dari sudut pandang ini, parodi Tempo yang membandingkan Soeharto dengan Yesus memberi makna lain. Kali ini saya -- yang mengaku melihat Tuhan dalam diri manusia yang teraniaya itu -- ikut tersindir..