Sunday, February 17, 2008

WASPADA PERKAWINAN

.
Bilakah ikatan perkawinan berakhir? Hingga kematian memisahkan?
Kematian apa? Kematian raga? Kematian jiwa? Kematian cinta? Kematian asa?

Dua insan yang sedang jatuh cinta berada di dunia maya digiring oleh naluri dan impian berbunga-bunga untuk saling menyatukan diri. Kemudian seolah-olah lahir kesadaran baru bahwa jiwa adalah sesuatu yang ditakdirkan tak utuh dan karenanya membutuhkan pasangan setia sampai akhir tiba. Lalu janji setia menjadi begitu indah dan ideal.

Mungkin dalam suasana inilah konsep perkawinan dirumuskan. Ia selalu indah. Dan ideal. Maka sebagaimana layaknya segala hal yang indah dan ideal, ia harus berlaku universal. Namun manusia menghidupi dirinya dalam dunia yang ironis. Menjalani lakon yang tak pernah sempurna tanpa merasa perlu beradaptasi. Tak mampu menghindar dari perubahan namun selalu memuja kepastian. Mengamini konsep yang begitu mengawang lalu menjadi sinis pada kelemahan sendiri.

Beberapa waktu belakangan ini saya merasakan makna dari kisah-kisah tentang betapa rapuhnya keindahan perkawinan, dan betapa kokoh konstruksi sistemnya pada saat bersamaan. Ketika tiba saatnya cinta dan komitmen bukan lagi pernyataan hati yang paling pribadi, ia menjadi strategi untung rugi dan pemuas tuntutan sosial untuk mempertahankan sistem yang seharusnya ditujukan bagi kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Sulit saya membayangkan bagaimana rasanya hidup perkawinan dengan kesepakatan kontrak yang diperdebatkan lewat pengadilan yang sudah fitrahnya menafikan segala subyektivitas. Bukankah perkawinan seharusnya adalah harmonisasi dua subyek?

Saya tidak tahu bagaimana merumuskannya. Tetapi saya disadarkan bahwa kita kini hidup di masa dimana dogma dan ancaman dosa tak lagi mampu menghentikan daya kritis dan tawaran atas pilihan-pilihan. Maka mempertahankan perkawinanpun tak lagi serta-merta atau 'menyerahkan pada Yang Di Atas'; sesuatu yang terasa mengagumkan dan nyaman di telinga tapi sebenarnya tak memiliki nilai pragmatis solutif apapun karena sering berarti menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Perkawinan, sebagaimana tujuan manusia yang lain, harus dijaga dengan niat dan kewaspadaan. Ia layak untuk dipertahankan, justru karena selalu ada pilihan sebaliknya. Sebagaimana kedamaian yang harus dijaga dengan terus-menerus bersiap perang, menjaga perkawinan adalah keputusan untuk senantiasa meniupkan nyawa api kehidupannya. Menyadari dan mengkalkulasi kenikmatan yang diperoleh agar tetap tenang namun siaga menghadapi setiap masalah, baik yang datang perlahan-lahan maupun tiba-tiba. Atau kita akan terkejut dan tergagap. Seperti tulisan yang saya baca di pintu lintasan kereta api di satu sudut kota Depok : "Selalu waspada. Jangan sampai nyawa anda lewat saat kereta lewat.".