Wednesday, February 6, 2008

MENJADI TUA

.
Apakah tua? Perjalanan waktu di luar manusia? ataukah bara semangat yang makin mereda?

Kutatap wajahnya. Keriput yang memenuhi tak berarti apa-apa. Tetapi sinar mata yang tak lagi terang memancar seperti dahulu membuatku tersadar; ia telah menjadi tua.

Aku merasa sudah tak lagi dibutuhkan, katanya. Ah, selama anugerah hidup masih diberikan, selalu ada tugas yang belum diselesaikan, dan itu adalah tugas mulia untuk dirasakan orang di sekitar. Aku pun tak tahu apa. Mungkin kita memang tidak diberi hak untuk mengetahui. Dan selama kesadaran masih melekat, kita ditugaskan untuk terus mencari. Begitu kataku.

Mungkin kamu benar, jawabnya setelah beberapa lama terdiam dan tetap menerawang. Aku merasa itu adalah jawaban untuk menyuruhku diam. Dan menghentikan percakapan. Aku merasa kata-kataku tak mengubahnya sedikitpun.

Akhirnya aku memilih ikut terdiam. Lalu samar-samar kulihat gambaran dirinya beberapa puluh tahun lalu. Sosok tegar yang selalu percaya diri dan penuh semangat beraktivitas. Sedangkan aku adalah bocah rapuh yang selalu membutuhkannya. Dan dia memang orang yang tepat yang selalu ada. Baginya akulah yang utama. Saat aku disingkirkan, ketakutan, jatuh terkapar, dan penuh kebimbangan, kepadanyalah aku datang. Atau lebih tepat, dia yang selalu mendatangiku. Pernah aku sakit berbulan-bulan. Ia meninggalkan seluruh kesibukannya untuk menungguiku sampai sembuh. Ia pula orang pertama yang kuberitahu dan kemudian memahami dan membelaku, saat kusampaikan niatku untuk menikahi seseorang yang memutuskan meninggalkan keluarganya demi aku.

Kemudian cerita berubah dan terpusat pada diriku sendiri. Tentu aku tak melupakannya. Tapi terasa jelas aku jarang memikirkannya. Hingga datang berita bahwa keadaan genting karena ia sedang bertaruh nyawa setelah ditemukan kanker ganas di tubuhnya. Segera aku menemuinya. Ia baru terbangun dan tersenyum. Kupegang dahinya dan tersenyum lebar seolah tak ada apa-apa. Meski aku berjuang keras mengalahkan ketakutan melihat selang-selang di sana-sini dan sebungkus plastik yang memerah karena menampung aliran darah dari dadanya yang rapat terbebat. Engkau akan segera sembuh, kataku meyakinkannya. Dan meyakinkan diriku sendiri. Ia masih tersenyum. Lalu malamnya aku berdoa. Benar-benar berdoa. Entah kapan terakhir hal ini kulakukan; berbicara pada sesuatu yang selama ini kuletakkan di tempat yang jauh. Aku meminta keajaiban, entah bagaimana caranya. Karena aku belum siap ditinggalkan. Dan mukzizat memang terjadi. Ia sembuh. Bisa jadi karena doaku yang jarang kugunakan hingga bertahan khasiatnya. Namun ternyata ia tidak sepenuhnya pulih. Setidaknya, ada yang berubah: menjadi tua. Ya, jiwanya menua dan merapuh. Seolah-olah selalu cemas bersiap menunggu berita buruk.

Aku ikut cemas. Tapi aku tahu aku tak mampu menjangkaunya. Karena aku tidak bisa berada dalam posisinya, bahkan dalam imajinasi sekalipun. Mungkin jika nanti aku mampu bertahan melayang dalam tiupan angin waktu dan aku sampai disana, aku akan bisa memahaminya. Sekarang biarkan aku lakukan dan sampaikan beberapa hal yang menurutku akan mengembalikannya. Meski sekedar menurut pendapatku sendiri, bukan dia. Tak apa. Kucoba terus saja. Atas nama penghormatan dan tulus cinta..