Sunday, March 16, 2008

10,000 BEFORE GOD VERSES

(refleksi setelah nonton film Ayat-Ayat Cinta dan 10,000 BC)

.
Apakah seluruh keputusan dalam hidup harus selalu memenangkan ayat dari rasa? Benarkah suara Tuhan hanyalah apa yang didengar dan dibaca dari luar? Tidakkah seharusnya bisikanNya senantiasa hadir di dalam lubuk hati setiap manusia?

Fahri, tokoh utama dalam film Ayat-Ayat Cinta, yang harus mengutip ayat-ayat suci untuk membela orang kafir di angkutan umum, bisa tiba-tiba memutuskan menikah dengan perempuan yang baru dilihat wajahnya dalam acara taaruf tanpa merasa wajib memberitahu Maria, teman yang mencintainya. Mungkin mahluk sepolos dan sealim Fahri tak mampu mengenali sinyal asmara yang dikirim oleh Maria. Atau mungkin asmara baginya terlalu duniawi yang merendahkan nilai-nilai Illahi.

Kemudian ketika datang keadaan yang diyakini sebagai kehendak Tuhan memantapkannya untuk menikahi Maria (dalam film itu diceritakan bahwa Maria sakit keras dan hanya bisa sembuh bila disentuh Fahri sementara Fahri hanya bisa menyentuh jika sudah menikah. Aisha istri pertamanya pun ikhlas Fahri menikahi Maria karena kesembuhan Maria akan menyelamatkan Fahri dari ancaman penjara), lalu hadir begitu saja rasa cinta Fahri kepada Maria yang menyembuhkan perempuan itu. Mungkin karena ayat-ayat cinta. Demi ayat-ayat Tuhan.


Bandingkan dengan 10.000 tahun sebelum nabi Isa ketika ayat-ayat Tuhan belum ada. Setidaknya di peradaban-peradaban muda dimana manusia masih sangat bergantung pada alam, dan Tuhan hanya hadir melalui harapan yang diraba dari ramalan-ramalan takdir. Pengalaman hidup melahirkan nilai-nilai moralitas sederhana. Kesetiaan, keberanian, pengorbanan, kejujuran, dan cinta. Diceritakan dalam film 10,000 BC, D'leh, seorang pemuda yang mencintai gadis cantik bernama Evolet, bersandar pada kekuatan cinta dan nilai-nilai moral sukunya untuk menyatukan segenap bangsa membebaskan diri dari penindasan oleh suatu peradaban lebih maju yang merasa menjadi Tuhan penguasa umat lain.

Saya terpesona dengan film 10,000 BC yang indah mengolah nilai-nilai kemanusiaan untuk merasakan hal-hal adi kodrati, tetapi tak juga mampu memahami film Ayat-Ayat Cinta, yang saya anggap menertawakan rasa manusia demi tafsir ayat-ayat suci. Mungkin karena saya belum membaca novelnya. Mungkin pula benar kata istri saya yang memaksa saya menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta karena dia yang lebih dahulu nonton terharu biru dengan keikhlasan Aisha untuk dimadu. "Kamu kafirun sih ya jadinya nggak ngerti.." katanya sambil tertawa puas. Saya lempar bantal kepalanya tapi tak juga berhenti tawanya. Memang nasib saya berjodoh dengan perempuan kurang ajar. Segera saya jawab "Kasih aku kesempatan kawin lagi, mungkin aku baru bisa ngerti.."

Lalu gelap datang sesaat ketika bantal yang tadi saya lempar kembali ke wajah saya dengan kecepatan melebihi ukuran bercanda. Kali ini giliran saya yang tertawa lebih keras..