Tuesday, March 18, 2008

HARI-HARI BADUY

.
Senja di sudut dunia.

Matahari merendah hingga di titik akhir kehadirannya. Menaburkan redup sisa cahaya kuning aneh yang mengisi celah-celah rimbun dedaunan. Gelap beranjak meluas. Seiring dingin yang bergerak teratur menghampiri. Gemerisik pohon-pohon raksasa makin nyata terdengar bergantian dengan munculnya suara-suara binatang malam entah apa saja jenisnya.

Suasana lengang. Keramaian suara peralatan tenun sederhana dan tawa riang anak-anak bertelanjang kaki bermain bersama siang tadi hanya meninggalkan gema di rekaman ingatan. Kini manusia-manusia penghuni hutan ini nampaknya sepakat untuk diam, seolah-olah menunggu dan mempersilakan sang senja menuntaskan diri di tengah hutan yang terasa begitu berkuasa.

Aku berada di dalam rumah panggung lapang tak bersekat beralas dan berdinding kayu, menatap bayangan hitam tubuh yang bergoyang senada jilatan pijar api dari obor kecil yang terpancang di tengah ruangan. Pemandangan rumah tetangga yang berjarak sekitar seratus langkah ibarat lukisan sephia berpigura kusen pintu yang lebar menganga.

Ketika malam telah sempurna melingkupi, dan gelap hanya dilawan oleh sinar bulan temaram dan obor dari rumah-rumah yang berjarak pepohonan dan semak-semak, mulai terdengar bunyi kentongan bersahutan dari berbagai penjuru kampung. Intensitas dan frekuensi yang beraneka, dalam keteraturan ketukan yang menjadikan musik mistis menusuk kalbu dan akal.

Disini, waktu coba dilawan. Coba dihentikan. Mereka orang-orang sederhana. Namun aku yakin mereka digerakkan oleh kekuatan cerdas, dan kesadaran merdeka yang datang lebih awal dari kaum sebangsanya yang kini tinggal di lembah-lembah dan perkotaan. Mereka percaya Tuhan adalah udara. Adalah air. Adalah alam lingkungan dan kebijaksanaan nenek moyang yang menghidupi, menjaga, dan harus dijaga kelestariannya. Agamanya tak memerlukan nabi. Untuk apa? Bahkan kitab sucipun cukup dirajah dalam mental dan kesadaran. Pahala adalah kewajaran tanpa kesombongan. Dosa adalah rasa malu, dan rasa malu adalah siksaan terkejam.

Dunia disini terlalu sempurna. Seorang jaro dengan postur tubuh tegap kasar dan garis muka tajam memancar kewibawaan menjelaskan bahwa jalan hidup ini adalah pilihan. Mempertahankan prinsip dengan sebisa mungkin mengisolasi diri dari kemajuan jaman yang membawa kepongahan. Sampai kapan? Tak ada yang bisa memastikan.

Temanku bercerita, diperlukan waktu bertahun-tahun hingga akhirnya paku bisa masuk ke kampung ini, menggantikan akar-akar pohon untuk mengikat tiang-tiang rumah dari kayu dan bambu. Itu cerita 15 tahun yang lalu. Sore ini, aku lihat seorang baduy berdandan khas dengan ikat kepalanya berterima kasih kepada operator selular karena sinyal kuat di kampungnya. Dadaku berdesir. Ada rasa kehilangan. Aku tak tahu apa.



(kenangan berhari-hari menginap di kampung baduy bersama Gola Gong, Pipiet, Nanang, Iyus, Ferry (alm), Febri, dan Hera. Baduy? Teu hayang-hayang deui..!! hehehe..)