Saturday, March 1, 2008

TENTANG SETAN DAN SINETRON RELIGIUS

(refleksi dari film The Devil's Advocate)

.
Mengapa manusia selalu jatuh dalam dosa? Karena jebakan setan? Atau pilihannya sendiri?

Saya baru sadar bahwa sinetron-sinetron religius yang dulu diputar oleh hampir seluruh stasiun televisi, sekarang ini -- setahu saya -- hampir tak ada lagi. Tayangan dengan pola pikir yang merendahkan logika, merendahkan kemuliaan manusia, bahkan menurut saya juga merendahkan Tuhan, membuat saya tak peduli mereka masih ada atau tidak. Sampai pada malam ini setelah saya menonton kembali film "The Devil's Advocate", yang dibuat lebih dari 10 tahun yang lalu.

Film ini mengingatkan saya pada sinetron-sinetron religius kita, karena dari segi tema kurang lebih sama. Tentang manusia yang jiwanya menderita karena memilih mengikuti jalan setan, dan dibumbui visualisasi imaginasi tentang sosok setan. Tetapi jelas ada yang sama sekali berbeda. Karena saya sama sekali tak beranjak dari depan televisi menyaksikan ulangan film ini dari awal hingga berakhir, dan setelahnya masih ada yang tersisa bergetar dalam kepala.

Seorang pengacara cerdas yang selalu memenangkan kasus dalam persidangan karena nafsu kesombongan selalu mengalahkan suara hati, mengalami sukses materi dan ketenaran seiring terbentangnya jalan yang terus dibukakan oleh sang setan. Namun kesuksesan dengan mempertaruhkan kebahagiaan rumah tangganya pada akhirnya membuat si pengacara sadar bahwa ia harus mengambil keputusan antara terus bekerja pada setan atau kembali ke nurani.

Digambarkan dengan bagus bagaimana setan mengkondisikan manusia -- yang tetap memiliki kehendak bebas -- untuk memilih jalan dosa karena kecerdikan setan yang terus menawarkan kepuasan haram. Setan yang menyusup dalam segala hal, termasuk dalam identitas dan ritual agama, yang berhasil menghasut manusia untuk membangun ego semegah dan sekokoh katedral. Sedangkan Tuhan kemudian dihadirkan dalam wujud tawaran harapan, pengorbanan, dan kesempatan kedua. Manusia -- dengan kehendak bebasnya -- kembali dipersilakan memilih.

Seusai menyaksikan film tersebut, saya jadi berharap kembali pada sinetron religius kita. Karena saya kembali percaya bahwa jika dibuat dengan perenungan mendalam dan kecerdasan, tayangan seperti ini akan membawa manfaat bagi pemirsanya. Mungkin kita baru mampu menggambarkan bahwa manusia yang jahat adalah ibarat jelmaan setan sendiri dengan kelakuan super jahat dan aneh-aneh. Dan beda orang baik dan orang jahat cukup dari identitasnya. Mungkin pula kita baru bisa menggambarkan Tuhan hanya sebagai Sang Penghukum dengan azab yang mengerikan -- atau lebih tepat: menjijikkan -- dan tak kalah aneh-aneh. Namun saya tetap berharap, suatu saat pembuat film religius dalam negeri akan mampu membuat tontonan yang berbobot, asal mau merendahkan hati dan tidak sombong untuk terus belajar salah satunya dari film sejenis yang berkualitas meski dibuat oleh negara-negara barat. Ingat kata Lucifer yang diucapkan dalam penutup film ini: "kesombongan adalah dosa favorit saya..".