Sunday, March 23, 2008

BUMI DAN MANUSIA



.
Manusia -- meski cepat atau lambat akan menemui ajalnya -- selalu berusaha memanjangkan usia. Tidakkah demikian pula kewajibannya terhadap bumi?

Seiring waktu yang berjalan lurus tak terbengkokkan oleh kesadaran, iman, agama, pemikiran, maupun imajinasi, bumi terus menua. Dan merenta. Sebagaimana penghuninya, ia adalah bagian dari kehidupan fana yang harus berujung pada kematian. Maka kecemasan, jika ada, seharusnya bukanlah sekedar naluri survivalitas, tetapi adalah bagian dari moralitas yang didasari keyakinan bahwa kematian semesta bukanlah akhir perjalanan.

Bumi semakin rapuh. Potensi energinya diubah menjadi tenaga penghancur yang membakar dirinya sendiri. Kesuburannya merosot eksponensial terhadap waktu disesap akar-akar tanaman yang dikonsumsi kerakusan manusia baik secara langsung maupun melalui binatang ternak dan produksi energi alternatif. Pembabatan hutan besar-besaran menurunkan tajam produksi oksigen bersamaan dengan suhu yang memanas terjebak dalam atmosfer yang kian tercemar. Manusia mempercepat kematian bumi. Namun bisakah ini semua dihentikan? Ketika Thomas Alfa Edison -- penemu listrik -- wafat, dan dunia berniat sejenak berhenti memakai listrik untuk menghormatinya, mereka baru sadar bahwa listrik kini bukan lagi sekadar temuan melainkan alat pacu jantung bagi kehidupan masyarakat modern agar tetap bisa selalu berdenyut.

Maka bumi dan manusia memang hanya sedang menjalani takdirnya, meski ini adalah kenyataan yang tidak nyaman. Namun toh takdir tak seluruhnya misteri. Hukum Tuhan terbuka atas kemungkinan disingkap helai demi helai untuk mengintip secuil kemungkinan masa depan. Bahkan anjingpun bisa lebih dulu lari sebelum anak-anak mengayunkan batu ke arahnya, dan monyet bisa menghindarkan kepalanya dari buah kelapa yang jatuh ditarik gravitasi ke tanah. Oleh karenanya manusia -- saya dan anda --berkewajiban untuk terus berupaya menawar takdir waktu kematian. Baik kematian diri maupun generasi penerus. Juga kematian bumi yang diinjak bersama. Bukan untuk keabadian, sama sekali bukan. Tapi lebih kepada mengejawantahkan dan mengoptimalkan rasa syukur atas segala kenikmatan, dan pertanggungjawaban iman kalau-kalau nanti Sang Pencipta mempertanyakan.

Stop global warming. Keep mother nature green. For our children.