Friday, March 28, 2008

WASPADA PERCERAIAN

.
Al dan De bercerai. Pasangan yang kemesraannya membuat iri teman-teman sejak dari kuliah, dan aroma 'til death do us apart'-nya sudah tercium jauh sebelum mereka menikah, akhirnya bersepakat memutuskan berpisah.

De sudah jadi pejabat. Mungkin malu punya suami yang lebih suka jadi pengusaha kecil yang bisnisnya supply dagangan ke pasar-pasar tradisional.

Fa dan Er juga bercerai. Er memutuskan menikah dengan janda selingkuhannya meski Fa sudah berkali-kali memaafkan Er asal dia mau berhenti selingkuh dan kembali ke keluarganya.

Fa terlalu muda dan riang untuk Er yang dewasa dan selalu serius. Mungkin juga karena situasi pekerjaan yang membuat mereka sering berjauhan.

Aku juga punya cerita. Temanku Yo menceraikan Iv begitu saja. Tanpa detail penjelasan. Yo memohon pengertian Iv untuk mau berpisah karena dia sudah capek bertahan pada sesuatu yang kian lama kian disadari bahwa ide yang mendasarinya adalah kekeliruan semata, meski dia tak mampu menjabarkan dengan jelas. Dan Iv menyetujuinya. Bisa jadi karena terpaksa pada awalnya. Tapi kini diapun akhirnya berbahagia setelah berhasil membiarkan kesadaran mencerahkannya. Setidaknya begitu ceritanya kepadaku.

"Kenapa ya kok jadinya pada begitu?"

Demikian pertanyaan teman saya, saat kita ngobrol berdua tentang masa lalu dan hari ini. Mungkin dia sebenarnya bertanya pada dirinya sendiri. Tapi saya merasa perlu menjawab.

"Ya harus gimana lagi.. Perkawinan, sebagaimana keputusan-keputusan lain yang tiap kali harus kita ambil, juga bisa salah. Kita tak akan pernah tahu persis apa masalah mereka. Tapi mungkin mereka sudah sangat yakin akan kesalahan keputusannya lalu menguatkan diri untuk memilih jalan yang dirasa lebih benar. Hidup cuma sekali toh?"

"Bukankah perceraian dibenci? Bahkan ada yang mengharamkan?"

"Mungkin saja. Tapi gimana kalo pasangan kita sudah jelas-jelas nggak berminat lagi dengan kita? Atau sebaliknya? Dan apa gunanya janji akan surga, yang masih berupa harapan tanpa kepastian, sementara neraka yang dihadirkan saat ini begitu nyata?"

Lalu perdebatan-perdebatan kecil terjadi. Kadang-kadang karena memang ada perbedaan pemikiran dan cara pandang terhadap kehidupan dan aturan-aturannya, tapi lebih sering malah prinsip asal beda supaya suasana menjadi lebih riuh.

"Ah, sudahlah.. Bosan aku membicarakan perkawinan nggak ada ujungnya. Yang penting ada keterbukaan sama pasangan, trus hubungan dibawa asyik terus, menurutku sudah cukup. Eh, gimana kalo kita kumpul-kumpul lagi sama temen-temen lama? Kita undang aja ketemuan di Bandung gitu. Setuju nggak?"

"Ayo.. Aku mau banget! Kalo perlu bawa juga pasangan masing-masing biar saling kenal."

"Gak usah! Malah nggak asik!"

"Hmm.. Tanda-tanda nih.."

"Hahaha.."


Pertemuan sore itu lumayan menyegarkan pikiran. Bertemu dan ngobrol dengan teman lama memang selalu membawa kegairahan tersendiri, meski topiknya sedikit menjadi ganjalan dan membuat tercenung. Saya berniat langsung kembali ke Jakarta seusai pertemuan tersebut, saat dering telepon mengagetkan lamunan. Ternyata anak saya yang menelepon.

"Cepet pulang ya Paaak.. Nanti Bapak pasti kaget.. hihihi.."


Sambil berbisik di telepon istri saya menjelaskan bahwa anak saya hari ini berlatih keras melancarkan permainannya 'Ode to Joy' dan 'Good Morning' untuk dipamerkan ke bapaknya. Terbayang wajah anak saya yang bulat dengan mata nakal berkilat. Dan isteri saya yang meski sering tak sabar menghadapi anaknya namun begitu jelas cintanya. Saya tak bisa menggambarkan perasaan apa yang muncul dalam hati, tapi segera saya balik lagi masuk kota untuk membeli oleh-oleh.

"Tumben banget perhatian.. Nggak dipesenin tetep beli oleh-oleh. Biasanya dipesenin aja nggak pernah inget.."

Istri saya mengucapkan terima kasih dengan gaya bercanda. Saya diam saja. Memang biasanya sejauh apapun saya pergi, tak pernah saya membeli oleh-oleh kalau tidak ada pesanan yang jelas. Tapi hari ini saya sedang waspada akan bahaya kehilangan. Dan saya tak mau menunggu itu benar-benar terjadi sebelum bisa menghargai dan mempertahankan apa yang telah saya miliki. Jadi perhatian kecil ini bukan buat kamu. Ini adalah pamrih untuk sedikit menambah sisi baikku. Untuk jadi sekedar tambahan bahan pertimbangan, jika nanti -- aku belum bisa membayangkan apa itu tapi tetap saja mungkin terjadi -- suatu saat kamu berada pada posisi kebimbangan untuk melanjutkan perkawinan ini atau meninggalkanku..